Konsepsi pembangunan yang memikirkan perlindungan alam merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kehidupan manusia di semesta ini. Berbagai instrumen dan mekanisme perlindungan alam dihadirkan semata-mata untuk menciptakan pengawasan bagi manusia dalam memanfaatkan lahan yang ada. Instrumen dan mekanisme itu dituangkan salah satunya dengan instrumen hukum di masing-masing negara. Dimulai dari peraturan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang diawali dari wacana konstitusi hijau serta ekokrasi. Konsep konstitusi hijau di Indonesia telah telah diakomodir melalui konstitusi, yang mana tercermin dalam gagasan tentang kekuasaan dan hak asasi manusia serta konsep demokrasi ekonomi dalam UUD RI 1945.
Konsep hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28H ayat (1) UUD RI 1945 serta tercermin pula dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD RI 1945. Dengan diangkatnya persoalan hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD RI 1945 dan dengan diadopsinya prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ke dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) tersebut, sudah tergambar bahwa Undang-Undang Dasar negara kita dewasa ini memang sudah bernuansa hijau (green constitution) (Asshiddiqie: 2016).
Sumber daya alam di Indonesia memiliki keberagaman, tidak terkecuali sumber daya alam hutan. Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove). Ekosistem mangrove merupakan ekosistem perairan dengan sejumlah jasa lingkungan, fungsi, dan kondisi ekologi yang spesifik (Krisnawati: 2017). Mangrove memiliki nilai ekonomi dan ekologis yang tinggi namun rentan terhadap kerusakan jika kurang bijaksana dalam memanfaatkannya. Berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove Indonesia 3,5 juta hektare yang terdiri dari 2,2 juta hektare di dalam kawasan dan 1,3 juta hektare di luar kawasan mangrove.
Permasalahan yang sekarang terjadi, beberapa daerah di Indonesia adalah fungsi sosial ekonomi dan fungsi ekologis hutan mangrove tidak seimbang. Di mana di satu tempat terjadi eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran tanpa memperdulikan fungsi ekologisnya dan di sisi lain hutan mangrove tidak dikelola sehingga tidak memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar (Lugina: 2019). Terhadap perekonomian ini, muncul skema perdagangan emisi karbon, yang mana skema ini muncul dari inisiatif negara berkembang sebagai bentuk pemberian intensif bagi negara yang berhasil menekankan laju deforestasi bagi negaranya. Busch (2012) menyimpulkan bahwa mekanisme transaksi pembayaran karbon dipercaya mampu menyediakan insentif untuk menurunkan emisi yang paling efisien dan efektif.
Sebagai sebuah negara maritim, keberadaan hutan mangrove bagi Indonesia menjadi suatu kekayaan alam yang bernilai sangat tinggi. Manfaat hutan mangrove yang begitu besar bagi wilayah pesisir dapat berfungsi untuk banyak hal, baik fungsi alamiah maupun fungsi ekonominya. Hutan mangrove berperan sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai dan pesisir mulai dari habitat flora dan fauna pesisir, sampai pada peran mangrove sebagai pemecah ombak alami dan penahan abrasi air laut. Di samping segudang manfaat dan fungsi hutan mangrove, pelestarian hutan mangrove juga menjadi salah satu janji Indonesia kepada komunitas dunia. Keterlibatan aktif Indonesia dalam upaya penanggulangan perubahan iklim global di tingkat internasional yang ditandai dengan ratifikasi deklarasi United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim) dan Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Acuan PBB tentang Perubahan Iklim) telah membawa konsekuensi logis terhadap komitmen pelestarian lingkungan hidup.
Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove tidak hanya berhenti sebagai kewajiban semata bagi Indonesia. Pelestarian yang diikuti dengan pengelolaan yang baik juga membawa manfaat ekonomi bagi negara secara langsung. Hal itu dapat terlihat dengan jelas melalui valuasi (penilaian) ekonomi hutan mangrove, terutama terhadap nilai jasa yang didapat dari hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem bernilai ekonomis. Valuasi ekonomi merupakan salah satu instrumen penilaian kuantitatif yang diberikan terhadap barang (good) dan jasa (service) yang diperoleh atau dihasilkan dari suatu sumber daya alam dan lingkungan. Nilai ekonomi dapat didefinisikan sebagai nilai tertinggi yang akan dikorbankan dari sebuah barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penilaian ekonomi terhadap hutan mangrove merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa besar nilai kegunaan sumber daya alam hutan mangrove dalam perspektif ekonomi.
Bagi Indonesia hal ini merupakan salah satu peluang dalam pelestarian lingkungan yang linier dengan pemanfaatan potensi ekonomi sumber daya alam Indonesia terutama kawasan hutan. Dengan pelestarian hutan, Indonesia dapat memaksimalkan keuntungan ekonomi jasa lingkungan kawasan hutan yang dimiliki. Mekanisme pasar dalam perdagangan emisi karbon dibentuk dengan memberikan kewenangan kepada negara yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas maksimal yang ditetapkan PBB untuk membayar biaya jasa kepada negara penghasil emisi karbon kecil dan/atau negara yang memiliki fungsi penyerapan emisi karbon. Kegiatan jual beli emisi karbon ini dinilai sebagai cara terbaik untuk mengurangi penyebaran gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu, melalui perdagangan karbon maka terdapat pula keuntungan secara ekonomi yang langsung dapat dirasakan oleh negara-negara pemilik hutan yang luas.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi kawasan hutan mangrove yang sangat besar. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2021 Indonesia memiliki hutan mangrove dengan luas 3.364.080 ha. Luas ini mengisi sekitar 24% luas hutan mangrove yang ada di dunia. Hutan mangrove memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan vegetasi hutan jenis lainnya, karena cadangan karbon yang dimiliki hutan mangrove lebih tinggi dari kemampuan jenis hutan lain. Menurut Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Republik Indonesia, hutan mangrove memiliki 4-5 kali lipat cadangan karbon lebih besar dari jenis hutan daratan. Berdasarkan hasil penelitian dari LIPI rata-rata hutan mangrove di Indonesia dapat menyerap 52,85 ton CO2/ha/tahun. Jika dihitung berdasarkan rata-rata tersebut maka ekosistem mangrove Indonesia memiliki potensi cadangan penyerapan gas karbon sebesar 177.8 Mt CO2/tahun.
Cadangan gas karbon yang dimiliki Indonesia tersebut merupakan komoditas yang sangat menjanjikan bagi pemasukan devisa negara. Karena, nilai ekonomis dari cadangan gas karbon tersebut dapat dinilai dengan uang. Merujuk pada harga perdagangan karbon Norwegia dan Uni Eropa terdapat variasi harga pasar untuk setiap ton karbon yang diperdagangkan. Norwegia menetapkan harga baku dalam perdagangan karbon di negaranya, sebesar USD 5 per ton. Sementara itu, Uni Eropa menerapkan harga variasi (Variable Price) untuk perdagangan karbon dengan harga terakhir 2019 sebesar 24.64 Euro atau USD27.71 (kurs 1 Euro = USD1,12). Jika dikalkulasikan dengan kedua data tersebut dengan menjadikan harga karbon di Norwegia sebagai batas bawah dan harga karbon di Uni Eropa sebagai batas atas maka secara ekonomi cadangan karbon hutan mangrove Indonesia memiliki nilai berkisar antara USD 888.958.140 sampai 4.926.606.012 per tahunnya (Irama: 2020). Nilai ekonomi tersebut kemudian dapat digolongkan menjadi valuasi ekonomi jasa hutan mangrove di Indonesia. Artinya mempertahankan eksistensi hutan mangrove yang ada sudah cukup untuk memberikan pemasukan bagi Indonesia.
Indonesia telah menahbiskan diri untuk selalu berpartisipasi dalam upaya global demi menciptakan dunia yang bebas polusi karbon pada tahun 2050. Upaya yang serius perlu terus dilakukan untuk merealisasikan rencana perlindungan lingkungan hidup dari kerusakan dan pembangunan yang terus terjadi. Hutan, terutama hutan mangrove, menjadi garda terdepan yang wajib untuk dilindungi dan dikelola sebagai sebuah investasi jangka panjang yang dimiliki Indonesia. Sebagai negara yang dijuluki paru-paru dunia, Indonesia memerlukan kerangka hukum yang ramah lingkungan dan mengedepankan pelestarian alam dibandingkan pembangunan yang merusak. Tulisan ini hadir sebagai bentuk kritik dan gagasan yang ditawarkan untuk membuka kesadaran akan potensi ekonomi yang terkandung dalam hutan, walaupun dikelola melalui konservasi.