Upaya mewujudkan visi Indonesia Maju Tahun 2045 sebagai negara hukum yang maju, adil, modern, serta demokratis, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mencanangkan delapan program prioritas yang disebut sebagai Asta Cita. Dua di antara delapan cita tersebut, khususnya pada Cita Kesatu dan Cita Ketujuh sangat relevan untuk menyoroti permasalahan hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu perpanjangan penahanan berdasarkan Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Cita Kesatu “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM)”, mendorong transformasi karakter bangsa agar menjadi lebih berintegritas, bertanggung jawab, serta menjunjung tinggi keadaban hukum”. Pada ranah hukum, hal ini menuntut adanya perubahan paradigma dari sekadar penegakan hukum secara teknis menjadi penegakan hukum yang bernilai etik dan menjunjung hak asasi manusia. Penerapan Pasal 29 KUHAP yang adil, transparan, dan rasional bukan hanya soal prosedur hukum, melainkan juga soal pembentukan karakter hukum nasional yang menghargai manusia sebagai subjek hukum. Mengedepankan “alasan patut” sebagai prinsip moral bukan sekadar dalih administratif merupakan bagian dari revolusi karakter bangsa dalam dunia hukum.
Cita Ketujuh menekankan memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba, di mana lembaga penegak hukum harus menjalankan tugas berdasarkan hukum, bukan tekanan atau kepentingan institusi tertentu. Dalam konteks ini, implementasi Pasal 29 KUHAP yang tidak terstandarisasi justru berpotensi melanggengkan praktik penyalahgunaan kewenangan, terutama dalam bentuk perpanjangan penahanan yang tidak disertai alasan sah. Praktik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai yang dikandung dalam Cita Ketujuh, karena menempatkan tersangka dalam posisi lemah secara hukum dan rentan mengalami ketidakadilan prosedural. Jika dibiarkan, ketidakpastian ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan merusak martabat institusi hukum itu sendiri.
Penahanan dalam proses hukum pidana merupakan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang demi kepentingan penyidikan dan penegakan hukum. KUHAP telah mengatur secara rinci prosedur dan syarat penahanan, namun penerapan Pasal 29 KUHAP mengenai perpanjangan penahanan karena "alasan patut" menyisakan ruang tafsir dan kekosongan pengaturan yang berpotensi mengabaikan hak-hak tersangka. Pasal 29 KUHAP membuka peluang untuk memperpanjang masa penahanan dalam situasi tertentu, yakni apabila tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik/mental berat yang dibuktikan secara medis, atau jika perkara yang ditangani diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Namun dalam praktiknya, implementasi dua alasan ini kerap menimbulkan persoalan karena alasan yang digunakan oleh aparat penegak hukum seringkali tidak didasarkan pada prinsip yang kuat dan cenderung mengaburkan batas antara keperluan penyidikan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tulisan ini menyoroti dua permasalahan utama: bagaimana implementasi “alasan patut” dalam perpanjangan penahanan menurut Pasal 29 KUHAP, dan bagaimana hak-hak tersangka dipenuhi dalam proses tersebut. Tujuannya adalah untuk menjabarkan landasan normatif dari konsep “alasan patut” serta menilai apakah pelaksanaannya di lapangan telah selaras dengan prinsip kepastian dan keadilan hukum.
Gustav Radbruch (Dalam Rahardjo, 2012: 19) menyatakan bahwa hukum harus memenuhi tiga nilai dasar: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kepastian hukum menghendaki norma hukum yang jelas dan konsisten, sementara keadilan menuntut kesetaraan perlakuan bagi semua warga negara. John Rawls (Dalam Terjemahan Fauzan dan Prasetyo, 2011: 12-13 dan 122-124) menambahkan bahwa keadilan tidak hanya soal distribusi, tetapi juga tentang fairness dan kebebasan dasar yang harus dijamin bagi semua. Dalam konteks perpanjangan penahanan, nilai-nilai ini menjadi tolok ukur utama dalam menilai apakah penahanan masih dalam koridor keadilan atau telah melampaui batas dan menindas.
Pasal 29 KUHAP pada dasarnya memberikan pengecualian terhadap batas waktu penahanan biasa jika terdapat “alasan patut”. Sayangnya, dalam praktik banyak ditemukan penyidik dan penuntut umum memperpanjang penahanan bukan karena alasan sebagaimana ditentukan pasal, melainkan karena keterbatasan internal seperti belum lengkapnya berkas atau kebutuhan menjaga citra institusi. Contohnya, penahanan tetap diperpanjang meski dakwaan primer yang menjadi dasar perpanjangan justru tidak dilanjutkan oleh jaksa penuntut umum.
Selain itu, dalam kasus-kasus narkotika yang tergolong extraordinary crime, perpanjangan penahanan dianggap sebagai keniscayaan. Padahal, penyamarataan terhadap semua pelaku baik penyalahguna pemula maupun bandar besar, tidak sesuai dengan asas keadilan substantif. Hal ini mengaburkan urgensi dari perpanjangan penahanan yang seharusnya bersifat kasuistik dan berbasis alasan yang tidak dapat dihindarkan. Riset ini merumuskan bahwa “alasan patut” harus dibatasi pada dua hal utama: (1) gangguan fisik atau mental berat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan (2) perkara berat dengan ancaman pidana sembilan tahun atau lebih, khususnya kejahatan yang bersifat mala in se seperti pembunuhan atau kejahatan seksual, serta kejahatan terorganisir yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Hak-hak tersangka selama dalam penahanan harus tetap dijamin meskipun ia sedang dalam proses hukum. KUHAP secara eksplisit mengatur hak atas perawatan medis, perlakuan adil, kunjungan keluarga, serta pengajuan keberatan atas perpanjangan penahanan. Namun, dalam praktik, hak tersebut seringkali hanya dipenuhi secara formalitas tanpa substansi. Penahanan dijalankan seolah-olah sebagai hukuman praperadilan, bukan sebagai upaya prosedural untuk mempercepat penyidikan. Hal ini bertentangan dengan asas “praduga tak bersalah” dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana. Rawls (Dalam Terjemahan Fauzan dan Prasetyo, 2011: 294) menyatakan bahwa kebebasan dasar dapat dibatasi hanya demi menjamin kebebasan dasar lain.[1] Maka, pembatasan kebebasan tersangka melalui perpanjangan penahanan seharusnya tidak boleh semata-mata demi efisiensi birokrasi atau citra kelembagaan, melainkan harus betul-betul berdasarkan urgensi substantif yang tidak dapat dielakkan.
Penelitian ini mengusulkan tiga hal pokok sebagai solusi atas persoalan implementasi Pasal 29 KUHAP:
Pasal 29 KUHAP semestinya menjadi instrumen luar biasa untuk kondisi luar biasa, bukan menjadi “jalan pintas” bagi penyidik atau jaksa yang menghadapi hambatan teknis. Perpanjangan penahanan harus bersandar pada alasan yang betul-betul “patut” secara hukum dan kemanusiaan, bukan karena tuntutan administratif atau tekanan lembaga. Untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang berkeadilan dan pasti, perumusan dan pelaksanaan hukum harus senantiasa diawasi, dikritisi, dan diperbarui. Tanpa itu, hukum akan kehilangan rohnya sebagai penjaga hak, bukan penindas kebebasan.
Yudistira Nurchairiaziz Simbolon
Penulis
Ahmad Arifin
Ilman Nurfathan
Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) Pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai)
Indah Rahayu (Penyuluh Hukum Ahli Pertama Pada Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional)