Pada Pasal 1 Nomor 10 KUHAP dijelaskan secara umum bahwa praperadilan merupakan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi atas perkara yang tidak diajukan ke pengadilan. Hakikatnya, pembentukan praperadilan bertujuan untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dalam keberjalanan KUHAP saat ini, objek praperadilan diperluas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam hal ini, Bachtiar Abdul Fatah, selaku pemohon, menganggap bahwa penetapan tersangka tanpa adanya mekanisme pengujian keabsahan perolehan alat bukti merupakan pelanggaran hak konstitusional. Berangkat dari hal demikian, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan memperluas ruang lingkup objek praperadilan dengan menambahkan tiga aspek atau unsur, yaitu “a. sah tidaknya penetapan tersangka; b. sah tidaknya penggeledahan; c. sah tidaknya penyitaan.” dari yang sebelumnya hanya mengakomodasi “a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” melalui Pasal 77 KUHAP.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yaitu KUHAP, ada beberapa kelemahan pada implementasinya, aparat penegak hukum yang menjalankan proses beracara dari proses awal hingga akhir masih banyak oknum yang melakukan penyimpangan. Dari hal tersebut, muncul kekhawatiran terkait pelanggaran HAM di proses peradilan. Proses praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan dan alat bukti yang ada, terutama dalam proses upaya paksa. Sejauh ini upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya masih menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak dan tidak mengedepankan prinsip fair trial serta cenderung mengesampingkan presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kekerasan yang terjadi pada tersangka, misal peristiwa penyiksaan dalam kasus narkotika Muhammad Arfandi Ardiansyah, 16 Mei 2022 yang dinyatakan meninggal dunia dalam proses penyidikan dan ditemukan banyak luka di sekujur tubuhnya (ICJR, 2022). Wewenang yang diberikan negara pada aparat penegak hukum menimbulkan kesewenang-wenangan para oknum dan prakteknya cenderung bersifat diskresioner. Hal tersebut terjadi karena kurang efektifnya sistem pra peradilan dalam KUHAP untuk menjadi sistem check and balances, bahkan KUHAP sekarang dianggap tidak relevan lagi, salah satunya penyebabnya sistem praperadilan yang tidak memberikan solusi atas keterbutuhan masyarakat serta memiliki beberapa kelemahan.
Meskipun KUHAP telah mengakomodasi praperadilan sebagai lembaga untuk menguji atas sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, nyatanya mekanisme ini masih memiliki kelemahan. Dalam riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebelumnya, terdapat beberapa kelemahan praperadilan yang berhasil diidentifikasi, di antaranya: (Eddyono & Napitupulu, 2022 : 17)
Selain itu, menurut analisis ICJR dari 80 perkara praperadilan, hanya terdapat dua kasus yang putusannya dimenangkan pemohon, terungkap fakta bahwa pertimbangan hakim praperadilan lebih banyak berfokus pada pemeriksaan dokumen formal, seperti surat perintah penangkapan, penahanan, pemberitahuan kepada keluarga, dan beberapa dokumen pendukung lainnya (Napitupulu, 2024). Sebagai langkah solutif untuk mengatasi permasalahan tersebut, RKUHAP 2012 menghadirkan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menggantikan lembaga praperadilan. Apabila dilakukan perbandingan antara praperadilan pada KUHAP jo. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP 2012. Pertama, terkait dengan kedudukan dan kewenangan, praperadilan dalam KUHAP belum termasuk pada kegiatan peradilan itu sendiri atau masuk kepada substansi perkara pidana. Hal ini disebabkan oleh praperadilan yang pada setiap tahapannya hanya melakukan review terhadap syarat administratif dan juga disebabkan oleh kewenangan hakim praperadilan yang hanya dapat digunakan apabila ada permohonan, sehingga hakim praperadilan menjadi pasif dalam melaksanakan tugas dari praperadilan itu sendiri. Hal ini berbeda dengan HPP, kedudukan HPP terletak di antara penyidik dan penuntut umum. Kemudian, wewenang HPP juga lebih luas dan lebih lengkap daripada lembaga praperadilan. HPP memiliki tugas untuk menilai jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenang lain yang ditentukan dalam RKUHAP 2012. Pada Pasal 111 ayat (1) RKUHAP 2012, diuraikan bahwa HPP berwenang untuk menetapkan atau memutuskan: “a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. pembatalan atau penangguhan penahanan; c. keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; g. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; h. layak atau tidak layak suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; i. pelanggaran terhadap hak tersangka ataupun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.”
Berdasarkan kewenangan tersebut, HPP memiliki tugas dan wewenang yang lebih luas dan komprehensif pada tahapan praajudikasi. Berbeda dengan praperadilan yang cenderung pasif, HPP secara aktif dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) RKUHAP 2012 atas inisiatifnya sendiri, kecuali pada Pasal 111 ayat (1) huruf i yang hanya dapat diajukan oleh penuntut umum. Secara konseptual, dapat dikatakan bahwa HPP lebih mengakomodasi jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi tersangka/terdakwa dibandingkan dengan lembaga praperadilan dalam KUHAP yang saat ini berlaku. Kewenangan HPP yang besar dan bersifat aktif juga menunjukkan bahwa HPP memiliki tanggung jawab yang besar pada tahapan praajudikasi. Kedua, proses beracara praperadilan tidak diatur secara rinci dan tegas dalam KUHAP, sedangkan proses beracara HPP telah diatur secara lebih rinci dalam Pasal 112 RKUHAP 2012 yang menyatakan bahwa “(1) Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2); (2) Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, atau catatan lainnya yang relevan; (3) Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum; (4) Apabila diperlukan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan; (5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses penyidikan.”
Melihat kewenangan HPP, sekilas memang lebih baik daripada praperadilan karena, selain meneliti dokumen dalam rangka mencari kebenaran materiil, dapat juga meminta keterangan dari tersangka atau penasihat hukum, penyidik, atau penuntut umum bahkan juga dapat meminta keterangan di bawah sumpah kepada saksi yang relevan. Dengan demikian, HPP dapat memberikan perlindungan kepada tersangka/terdakwa yang lebih baik dibanding praperadilan. Namun, karena durasi waktu yang diberikan hanya 2 (dua) hari akan menjadi kendala bagi HPP, apabila benar-benar ingin melakukan proses pencarian kebenaran materiil melalui alat bukti lain. Akibat batas waktu yang hanya 2 (dua) hari, maka kemungkinan yang akan terjadi HPP akan mengandalkan berkas formil untuk melakukan penilaian keabsahan tindakan aparat penegak hukum, karena alih-alih mencari alat bukti yang relevan justru HPP akan terkendala akibat batas waktu yang diberikan. Ketiga, mengenai putusan dan upaya hukum. Putusan yang dimiliki HPP adalah putusan yang bersifat final dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal ini berbeda dengan putusan hakim praperadilan yang dalam praktiknya masih dapat dilakukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun, penetapan atau putusan HPP tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi menurut pasal 122 draft KUHAP 2012. Hal ini dapat menjadi sebuah kelemahan bagi HPP, melihat kewenangannya yang besar sehingga rawan untuk disalahgunakan dan juga tanpa adanya lembaga yang mengawasi HPP tentunya dapat menimbulkan pro dan kontra.
Meskipun praperadilan dalam RKUHAP 2012 diganti menjadi HPP karena dianggap lebih mengakomodasi HAM bagi para tersangka dan lebih menjamin perlindungan terhadap kewenangan penyidik. Kendati demikian, hal ini masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Menurut Prof. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum seorang pakar hukum Universitas Gajah Mada, HPP hanya memeriksa dan mengesahkan penyidik polisi melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan tanpa menangani perkara karena posisinya memang diluar pengadilan umum (Djatmika & Sulistio, 2019 : 18). Mantan ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa juga berpendapat bahwa diperlukan tiga rambu dalam membentuk HPP dalam RKUHAP 2012. Pertama, kesiapan lembaga peradilan khususnya pengadilan negeri yang melaksanakan ketentuan itu. Kedua, persyaratan menjadi hakim HPP. Ketiga, harus dihindari adanya benturan antara penegak hukum itu sendiri yang dapat mengakibatkan saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, konsep praperadilan masih belum dapat dimaksimalkan. Terutama, sikap hakim yang masih pasif membuat tidak efektif dalam memberikan perlindungan bagi para tersangka, karena hakim dapat melakukan praperadilan apabila ada permohonan sehingga dapat dipastikan perlindungan bagi tersangka tidak berjalan dengan baik. Intinya, konsep praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum, masih jauh dari kata sempurna. HPP ini diharapkan dapat lebih menjamin HAM warga negara yang berhadapan dan atau yang berkonflik dengan hukum di masa mendatang.
Ilman Nurfathan
Penulis
Yudistira Nurchairiaziz Simbolon
Ahmad Arifin
Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) Pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai)
Indah Rahayu (Penyuluh Hukum Ahli Pertama Pada Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional)