Raja Ampat, sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya, dikenal baik secara nasional maupun internasional karena kekayaan biodiversitas laut dan warisan budayanya. Namun di pertengahan tahun ini, wilayah ini menarik perhatian publik bukan karena signifikansi ekologisnya, tetapi karena permasalahan terkait aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. Adanya aktivitas penambangan (meskipun saat ini beberapa IUP tambang telah dicabut) di kawasan tersebut telah menimbulkan berbagai pertanyaan hukum dan lingkungan, terutama terkait titik temu antara pemanfaatan sumber daya dan perlindungan ekologi.
Nikel memegang peran penting dalam transisi global menuju energi ramah lingkungan, khususnya dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik dan teknologi energi terbarukan. Di tengah meningkatnya permintaan global akan logam ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan cadangan nikel yang signifikan. Total sumber daya nikel di tanah air diperkirakan mencapai 17,7 miliar ton bijih, dengan kandungan logam sekitar 177,8 juta ton. Dari angka tersebut, sekitar 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam masuk dalam kategori cadangan yang dapat ditambang. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga berperan besar dalam rantai pasok global, dengan produksi nikel mencapai 1,8 juta metrik ton—sekitar setengah dari total produksi dunia (Purwanto, 2024). Menyadari keunggulan strategis ini, sebenarnya ada potensi bahwa nikel dapat menjadi komoditas utama dalam kebijakan industri hilirisasi, dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan mendorong pengolahan bernilai tambah di dalam negeri.
Arah kebijakan ini pun sejalan dengan ASTA CITA, agenda pembangunan nasional delapan poin yang digagas oleh Presiden Prabowo, khususnya pada tujuan memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia melalui industrialisasi dan pengelolaan bahan mentah. Kebijakan hilirisasi yang didukung oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) serta berbagai regulasi lainnya, bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global komponen baterai dan kendaraan listrik. Namun, pelaksanaan kebijakan ini di wilayah-wilayah seperti Raja Ampat memerlukan analisis hukum yang lebih mendalam terutama terkait prosedur perizinan, penilaian dampak lingkungan, dan perlindungan terhadap wilayah konservasi serta masyarakat adat.
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap kebijakan hilirisasi sejalan dengan poin ke-5 ASTA CITA, yang menekankan kemandirian ekonomi melalui optimalisasi pengolahan bahan mentah dan industrialisasi di dalam negeri. Visi ini memiliki dasar hukum dalam UU Minerba, yang mewajibkan perusahaan pertambangan untuk mengolah hasil tambangnya di dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah sebelum diekspor. Instrumen hukum ini secara konkret mengoperasionalisasikan agenda hilirisasi sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan berintegrasi ke dalam rantai pasok energi bersih global.
Pada dasarnya, seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia tunduk pada sistem perizinan yang diatur terutama melalui UU Minerba. Perusahaan tambang nikel wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk wilayah umum, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk wilayah bekas Wilayah Pencadangan Negara. Ketentuan teknis dan prosedural perizinan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mencakup ketentuan mengenai zona pertambangan, tanggung jawab lingkungan, dan kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian (smelter). Kerangka hukum ini dijalankan di bawah mandat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, keputusan perizinan harus mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan ekonomi nasional dan kepentingan sosial serta ekologi.
Kegiatan pertambangan nikel di wilayah seperti Raja Ampat mencerminkan interaksi hukum yang kompleks antara kepentingan pembangunan ekonomi dan kewajiban perlindungan lingkungan. Di satu sisi, UU Minerba serta kebijakan hilirisasi dalam rencana pembangunan nasional, mendorong pemanfaatan sumber daya mineral strategis. Namun, di sisi lain, regulasi lingkungan seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap mewajibkan setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan untuk terlebih dahulu menjalani proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 serta Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025, dokumen AMDAL dan persetujuan lingkungan menjadi prasyarat mutlak dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Apabila tahapan ini diabaikan, dilakukan tanpa partisipasi masyarakat terdampak, atau tidak sesuai prosedur, maka izin tambang yang diterbitkan dapat dibatalkan melalui jalur hukum. Hal ini menegaskan pentingnya kepatuhan prosedural dalam menjaga keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan pelestarian lingkungan.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa wilayah Raja Ampat merupakan kawasan yang dihuni oleh komunitas hukum adat dengan hak ulayat yang telah diakui dalam sistem hukum nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 memperkuat posisi hukum masyarakat adat dengan menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Pengakuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menekankan bahwa pembangunan di wilayah adat harus memperhatikan dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Dalam konteks ini, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) menjadi mekanisme penting untuk menjamin keterlibatan masyarakat adat secara aktif dan bermakna dalam proses pengambilan keputusan. Kegagalan memenuhi prinsip FPIC dalam penerbitan izin tambang berpotensi memicu sengketa hukum dan sosial, terutama ketika masyarakat tidak dilibatkan secara layak dalam konsultasi dan penilaian dampak proyek terhadap wilayah adat mereka.
Sebagai bagian inti dari kawasan Coral Triangle, Raja Ampat mengikat Indonesia pada sejumlah komitmen lingkungan internasional, termasuk Convention on Biological Diversity (CBD) dan Coral Triangle Initiative (CTI). Kedua kerangka kerja ini mewajibkan negara anggota untuk melindungi kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan mendukung pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Kegiatan pertambangan di wilayah seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan hukum internasional, terutama jika menyebabkan degradasi habitat, kepunahan spesies langka, atau pelanggaran terhadap target perlindungan kawasan laut. Selain itu, kegiatan tersebut juga berpotensi berdampak terhadap komitmen Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 14 (Ekosistem Laut) dan SDG 15 (Ekosistem Darat).
Pada akhirnya, kasus pertambangan nikel di Raja Ampat menggambarkan pertemuan kompleks antara kebijakan ekonomi nasional, tanggung jawab lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam kerangka hukum Indonesia. Di satu sisi, kebijakan hilirisasi yang tercantum dalam ASTA CITA dan didukung oleh berbagai instrumen hukum seperti Minerba serta peraturan presiden mencerminkan komitmen kuat Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya secara optimal demi ketahanan ekonomi jangka panjang dan daya saing global. Di sisi lain, keberadaan wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi dan komunitas adat di dalam zona pertambangan menuntut pelaksanaan kebijakan yang cermat, taat hukum, dan menghormati ketentuan lingkungan serta perlindungan konstitusional.
Dari sudut pandang hukum, situasi ini menekankan pentingnya harmonisasi antara berbagai rezim pengaturan—baik ekonomi, lingkungan, konstitusional, maupun internasional—dalam memastikan bahwa pembangunan berlangsung secara sah dan berkelanjutan. Kepatuhan terhadap persyaratan AMDAL, prosedur perizinan yang transparan, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, serta keselarasan dengan komitmen internasional bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan fondasi utama bagi legitimasi tata kelola sumber daya.
Alih-alih dipandang sebagai kontradiksi hukum, kondisi ini dapat dilihat sebagai peluang untuk memperkuat institusi hukum dan sistem tata kelola di Indonesia. Melalui penegakan hukum yang konsisten dan perumusan kebijakan yang inklusif, tujuan ASTA CITA dapat dicapai dengan cara yang tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga melestarikan kekayaan alam dan budaya yang menjadikan wilayah seperti Raja Ampat sangat bernilai.
Krestiana Yuli Astutik
Penulis
Sayyidi Fajri Ahmad
Krisna Eka
Arsyda Naya Soesanto
Rozin Falih Alify (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)