Perubahan iklim (climate change) saat ini menjadi permasalahan utama di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Guna menanganinya, Indonesia sebagai anggota United Nations (UN) turut serta menyepakati Sustainable Developement Goals (SDGs) pada UN Sustainable Development Summit New York 2015. SDGs dapat dimaknai sebagai gagasan pembangunan multisektoral yang mengutamakan aspek keberlanjutan dimana salah satu topik didalamnya adalah penanganan perubahan iklim yakni pada aspek ke-13.
Paris Climate Agreement 2016 sebagai salah satu rangkaian kegiatan SDGs melahirkan program Nationally Determined Contributions (NCDs) dan Indonesia menjadi salah satu di antara 195 negara yang menandatangani perjanjian tersebut. NCDs adalah komitmen negara-negara untuk mengurangi gas emisi rumah kaca dan melakukan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim. Indonesia telah meratifikasinya pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (UU No. 16/2016).
Dalam UU No. 16/2016 disebutkan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim yang ada di NCDs tidak hanya pada tindakan aktual, tetapi juga melalui kebijakan pemerintah dan insentif positif guna memberdayakan kepentingan lingkungan, terutama pada sektor tambang. Hal ini terjadi karena total emisi pada sektor tersebut mencapai 7% dari total emisi gas rumah kaca yang ada di seluruh dunia. Namun, tantangan yang dihadapi program NCDs adalah kenyataan bahwa Indonesia mengandung sumber daya alam yang luar biasa sehingga nilai investasi dari sektor pertambangan pada tahun 2022 dan 2023 masing-masing mencapai USD 5,69 milyar dan USD 7,7 milyar, mengindikasikan bahwa sektor pertambangan menjadi pilihan favorit investor asing maupun domestik.
Walau demikian, Indonesia juga negara kedua penghasil karbon terbesar di dunia yakni 930 juta ton CO2 per tahun. Hal ini disebabkan karena tingginya angka kerusakan alam, sebagaimana data dari laman Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, 104 ribu hektar deforestasi telah terjadi pada periode 2021 hingga 2022, sedangkan data terbaru yang dilansir dari laman global forest watch mengungkapkan bahwa pada tahun 2023 terjadi deforestasi 144 ribu hektar atau terdapat peningkatan sekitar 38,46. Hal ini sejalan dengan peningkatan nilai investasi di Indonesia yakni senilai 1.207 triliun pada tahun 2022 menjadi 1.418,9 triliun pada tahun 2023. Data ini mengindikasikan bahwa seiring dengan ekosistem investasi yang terus didorong oleh pemerintah terutama di sektor pertambangan maka angka kerusakan lingkungan mengalami tren kenaikan.
Investasi pertambangan di Indonesia saat ini didominasi oleh jenis logam, dengan produk utama nikel. Institute for Development of Economycs and Finance (INDEF) menyatakan Indonesia adalah penghasil nikel terbesar di dunia dengan produksi sebesar 100 juta megaton pada tahun 2022, menjadikan Indonesia pemasok nikel utama dunia. Hal ini juga dikuatkan dengan data yang diterbitkan oleh US Geological Survey (USGS) di mana Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar dunia yakni 21 juta ton atau 22% dari nikel dunia. Konsekuensinya adalah pemerintah terus melakukan usaha untuk dapat mendorong produksi melalui eksplorasi, eksploitasi, dan pembuatan sarana produksi baru setiap tahunnya sehingga menghasilkan total 111 pabrik nikel di seluruh Indonesia dengan angka investasi nikel tahun 2023 saja mencapai 39 triliun rupiah dan diproyeksikan terus mengalami kenaikan.
Namun ada permasalahan di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Pulau Halmahera dikenal sebagai tambang nikel terbesar di Indonesia dan dunia. Eksplorasi nikel yang ada di Pulau Halmahera telah masuk pada kategori yang mengkhawatirkan, sebab eksplorasi yang dilakukan tidak dibarengi dengan pengaturan pasca tambang yang berkelanjutan sehingga warga sekitar, yakni suku Umera yang menetap sulit untuk mendapatkan akses air bersih. Lebih dari itu, eksplorasi dan eksploitasi yang secara konstan dilakukan mengakibatkan deforestasi besar-besaran di mana menurut data Climate Rights International (CRI), lebih dari 5.300 hektar hutan tropis di Pulau Halmahera hilang, padahal hutan tropis tersebut berfungsi sebagai habitat keanekaragaman hayati dan tempat penampungan 2,04 juta metrik ton gas emisi rumah kaca (CO2).
Lalu, bagaimanakah solusi dari adanya perusakan lingkungan yang masif karena tambang logam seperti yang telah penulis paparkan di atas? Jawabannya ialah dengan mengimplementasikan konsep green mining. Green mining sebenarnya telah diakomodasi melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada Pasal 8A tentang pengelolaan pertambangan, dimana rencana pertambangan harus memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Namun, penerapan green mining di Indonesia belum maksimal karena tidak dijelaskan secara detail mengenai aspek apa saja yang harus ada di dalamnya. Manajemen dan kualitas standar operasional lingkungan yang rendah juga menjadi hambatan di mana dibuktikan dengan hanya terdapat beberapa perusahaan tambang yang tersertifikasi ISO 14001. ISO 14001 adalah sertifikat standar operasional lingkungan guna mendorong pelaku pertambangan untuk aktif dalam pelestarian lingkungan. Oleh karenanya, guna mewujudkan konsep green mining, penulis telah mengkonseptualisasikan Sustainable Framework of Investment Regulation (SFIR). SFIR nantinya terbagi menjadi beberapa aspek yaitu: Pertama, Environment Law Engineering Aspect, berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) melalui pendefinisian ulang lingkungan sebagai subjek hukum parsial (partial legal subject). Subjek hukum parsial dapat dimaknai sebagai subjek hukum yang tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga memerlukan perantara untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dalam konstruksi regulasi baru melalui SFIR, lingkungan akan dijadikan sebagai subjek hukum parsial yang memiliki haknya sendiri. Hak dari lingkungan tidak dapat diganggu dan diterobos oleh kepentingan lain. Hal ini didasarkan atas komparasi di negara lain, seperti Ekuador yang bahkan memasukkan perlindungan terhadap lingkungan sebagai subjek hukum pada amandemen konstitusinya yang disebut sebagai rights of nature (BAB VII Pasal 71, 72, 73, dan 74 ‘Constituscional Del Ecuador’). Tak hanya Ekuador, New Zealand juga telah memasukkan sungai sebagai partial legal subject guna memberikan perlindungan hukum terhadap sungai melalui Te Awa Tupua Act 2017.
Kedua, Environment Control Aspect, yaitu aspek yang berkaitan dengan substansi hukum (legal substance) melalui usaha untuk mengendalikan seluruh proses produksi pertambangan melalui dua pendekatan yakni Legal Approach dan Practical Approach. Pada legal approach, nantinya akan dibangun konstruksi regulasi yang baru terkait dengan memasukkan beberapa prinsip pelestarian lingkungan. Beberapa prinsip yang ada dalam regulasi baru yakni: 1) Public Environment Principle, di mana regulasi yang baru nantinya harus memuat tentang kewajiban para pengelola tambang untuk dapat memperhatikan lingkungan hidup yang ada di sekitar area pertambangan; 2) Sustainability of Environment Principle, dimana regulasi yang baru harus dapat mengatur secara detail terkait dengan keberlanjutan lingkungan dalam hal penggunaan teknologi yang rendah emisi dan meminimalkan risiko pertambangan terhadap lingkungan; dan 3) Value of Nature Principle, lingkungan sebagai habitat makhluk hidup dan salah satu penyokong utama kehidupan haruslah dipertimbangkan dalam proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan sehingga mendorong terwujudnya proses eksplorasi dan eksploitasi yang tetap tidak mengganggu nilai dan fungsi dari lingkungan itu sendiri. Sedangkan pada practical approach, terdapat beberapa hal yang harus dimasukkan ke dalam regulasi baru yakni: 1) standarisasi internasional pengelolaan pertambangan dengan ISO 14001; dan 2) peningkatan kesadaran investor terhadap tiga aspek utama dalam pengelolaan tambang yakni Environment, Social and Governance (ESG) melalui konstruksi regulasi guna memberikan kepastian hukum.
Ketiga,Environment Dispute Settlement Aspect, yakni aspek yang berkaitan dengan struktur hukum (legal structure) melalui pembentukan peradilan lingkungan (environment judiciary) sebagai proses penegakan hukum (law enforcement). Hal ini didasarkan pada pembentukan kamar baru dalam Mahkamah Agung yakni kamar hukum lingkungan, karena kekhususan hukum lingkungan sebagai subjek hukum yang berbeda dengan subjek hukum lain, sehingga memerlukan metode khusus dalam pemecahan masalah lingkungan. Pada peradilan lingkungan yang termasuk peradilan khusus, nantinya akan diterapkan dua pendekatan hukum, yakni hukum pidana lingkungan (Environment Penal Law) dan hukum perdata lingkungan (Environment Civil Law). Dengan adanya peradilan lingkungan akan meningkatkan jaminan perlindungan lingkungan pada fase pra dan pasca tambang.
Krisna Eka
Penulis
Krestiana Yuli Astutik
Sayyidi Fajri Ahmad
Arsyda Naya Soesanto
Rozin Falih Alify (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)