Dalam sistem ketenagakerjaan modern, outsourcing atau alih daya menjadi fenomena yang semakin umum diterapkan oleh perusahaan. Outsourcing memberikan fleksibilitas bagi perusahaan dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, namun pada saat yang sama menimbulkan kekhawatiran terhadap pemenuhan hak-hak dasar pekerja. Dalam konteks ini, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut sebagai PP 35/2021) hadir sebagai regulasi yang mengatur ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, alih daya, waktu kerja dan istirahat, serta pemutusan hubungan kerja. Artikel ini mengkaji bagaimana perlindungan bagi pekerja outsourcing diterapkan dalam praktik, dengan studi kasus PT. X.
Konsep pasar kerja fleksibel, yang menjadi latar belakang berkembangnya praktik outsourcing, bertujuan meningkatkan efisiensi pasar tenaga kerja. Di Indonesia, pengaturan mengenai outsourcing dimulai dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Ketenagakerjaan), meskipun tidak secara eksplisit menyebut istilah "outsourcing" tetapi menggunakan frasa “alih daya”. Undang-undang Ketenagakerjaan ini membatasi praktik alih daya hanya pada pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan proses produksi. Meskipun demikian, pelaksanaan outsourcing atau alih daya seringkali menghadapi berbagai polemik, mulai dari ketidakpastian status kerja hingga minimnya perlindungan hukum bagi pekerja.
Seiring waktu, regulasi ini mengalami berbagai perubahan. Salah satu tonggak penting adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2011 yang menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dapat digunakan secara sembarangan dalam konteks outsourcing. Perubahan besar terjadi saat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada tahun 2020, yang kemudian diperkuat oleh PP 35/2021 sebagai aturan pelaksana. Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, pengaturan teknis mengenai outsourcing tetap berlaku melalui PP 35/2021 karena belum ada peraturan pengganti yang mencabut aturan tersebut. Peraturan ini hingga sekarang masih menjadi rujukan utama dalam mengatur hak dan kewajiban pekerja outsourcing saat ini.
PT. X merupakan salah satu perusahaan penyedia jasa outsourcing. Perusahaan ini memiliki mitra dari berbagai perusahaan besar dan menyediakan tenaga kerja untuk sektor non-produksi seperti keamanan, kebersihan, dan pengemudi. Sertifikasi dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang layak. Namun, ulasan publik menunjukkan adanya perbedaan antara citra perusahaan dan kenyataan di lapangan, terutama terkait pemenuhan hak-hak pekerja.
Implementasi Perlindungan Hak Pekerja di PT. X
- Jenis Pekerjaan dan Sistem Kerja.
PT. X hanya menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan inti produksi, seperti satpam, pengemudi, dan petugas kebersihan. Sistem kerja ditentukan oleh kebutuhan perusahaan user, tetapi tetap dalam batasan waktu kerja sesuai PP No. 35/2021, yaitu maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam per hari untuk 5 hari kerja. - Upah dan Transparansi.
Upah pekerja outsourcing di PT. X mengikuti UMP/UMK sesuai lokasi perusahaan user. Slip gaji diberikan setiap bulan, mencantumkan potongan seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Hal ini sesuai dengan prinsip transparansi dalam hubungan kerja dan memberikan kepastian kepada pekerja. - Jaminan Sosial.
PT. X menyediakan BPJS untuk semua pekerja, dengan skema pembayaran 60% oleh perusahaan dan 40% oleh pekerja. Jaminan sosial ini menjadi instrumen penting dalam perlindungan ketenagakerjaan, terutama dalam mengantisipasi kecelakaan kerja dan menjamin akses layanan kesehatan. - Cuti dan Waktu Istirahat.
Cuti tahunan diberikan 12 hari per tahun sesuai ketentuan PP 35/2021 dan hukum ketenagakerjaan. Namun, cuti khusus untuk pekerja perempuan hamil dan melahirkan tidak diakomodasi penuh. Perusahaan memilih menghentikan sementara pekerjaan dan tidak membayar upah selama masa cuti tersebut. - Perlindungan Pekerja Perempuan.
Praktik PT. X terkait pekerja perempuan belum sepenuhnya selaras dengan peraturan, khususnya mengenai hak cuti haid, hamil, dan menyusui. Dalam praktiknya, pekerja perempuan yang hamil tidak mendapat cuti melahirkan dengan bayaran. Hal ini bertentangan dengan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan. - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
PT. X melakukan PHK berdasarkan peringatan bertahap. Namun, kompensasi hanya diberikan dalam bentuk uang pisah, bukan dalam tiga komponen sebagaimana diatur dalam Pasal 40 PP 35/2021 bahwa “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Ini menimbulkan kekhawatiran akan ketidakadilan terhadap pekerja. - Akses untuk Menyampaikan Aspirasi.
Pekerja dapat menyampaikan keluhan melalui koordinator lapangan, namun sistem ini kurang ideal. Tanpa saluran langsung ke manajemen, efektivitas penanganan keluhan diragukan. Ini menunjukkan perlunya mekanisme komunikasi dua arah yang lebih transparan dan efisien. - Ketenagakerjaan Inklusif
PT. X belum mengakomodasi penyandang disabilitas, dengan alasan sifat pekerjaan yang dominan di sektor keamanan. Padahal, UU No. 8 Tahun 2016 mewajibkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan minimal 1% tenaga kerja penyandang disabilitas. Alasan kualifikasi kerja tidak seharusnya menghapus kewajiban inklusivitas.
Tantangan dan Evaluasi
Meskipun secara umum PT. X telah melaksanakan ketentuan normatif seperti upah minimum, jam kerja, jaminan sosial, dan cuti tahunan, ada beberapa catatan penting yang menjadi tantangan:
- Diskriminasi Gender: Penolakan atas hak cuti hamil atau pengalihan upah ke pekerja pengganti merupakan bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hak pekerja perempuan dan dapat dikategorikan sebagai diskriminasi gender terselubung.
- Minimnya Partisipasi Pekerja dalam Proses Keputusan: Sistem penyampaian aspirasi melalui koordinator lapangan bisa menghambat keterbukaan. Diperlukan lembaga bipartit atau serikat pekerja yang kuat agar suara pekerja dapat diakomodasi secara institusional.
- Kompensasi PHK Tidak Sesuai Regulasi: Pemberian uang pisah sebagai satu-satunya bentuk kompensasi ketika PHK dilakukan karena pelanggaran kontrak belum sejalan dengan aturan pemerintah. Tindakan ini dapat merugikan pekerja secara ekonomi.
- Kurangnya Kepatuhan terhadap Prinsip Inklusivitas: Tidak adanya pekerja penyandang disabilitas menunjukkan kurangnya kesadaran akan tanggung jawab sosial dan keberagaman tenaga kerja. Padahal, inklusi disabilitas adalah aspek penting dari prinsip kesetaraan dalam dunia kerja.
Rekomendasi
- Penyesuaian Peraturan Perusahaan
Perusahaan perlu meninjau ulang kebijakan internalnya agar selaras dengan peraturan perundang-undangan. Terutama dalam hal cuti hamil, perlindungan perempuan, serta kompensasi PHK. Revisi kebijakan harus berbasis pada prinsip non-diskriminasi dan hak asasi manusia. - Penguatan Mekanisme Pengawasan
Pemerintah daerah maupun pusat perlu meningkatkan pengawasan implementasi PP 35/2021, termasuk audit terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing. Pelibatan serikat buruh dan LSM juga bisa memperkuat sistem pengawasan berbasis masyarakat. - Peningkatan Kapasitas Pekerja
PT. X dapat menyediakan pelatihan reguler tentang hak-hak tenaga kerja kepada karyawannya. Dengan demikian, pekerja lebih sadar dan mampu memperjuangkan haknya secara prosedural tanpa konflik. - Kebijakan Inklusif dan Aksesibilitas
Perusahaan dapat mulai membuka lini pekerjaan alternatif yang memungkinkan keterlibatan tenaga kerja disabilitas, seperti posisi administratif atau operasional ringan, demi memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk pemenuhan kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam aspek ketenagakerjaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 35/2021 telah memberikan kerangka hukum yang cukup komprehensif untuk melindungi pekerja outsourcing. Namun, implementasinya di lapangan, seperti yang terlihat dalam praktik di PT. X, masih menyisakan sejumlah persoalan. Pemenuhan hak pekerja, terutama pekerja perempuan dan penyandang disabilitas, perlu ditingkatkan agar tercapai keseimbangan antara fleksibilitas pasar tenaga kerja dan perlindungan hak-hak pekerja sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan manusiawi. Dengan pengawasan dan evaluasi yang konsisten, sistem outsourcing di Indonesia dapat tetap berjalan efisien tanpa mengabaikan hak-hak fundamental para pekerja.