Di balik gemerlap dunia kerja yang semakin dinamis dan kompetitif, ada sekelompok pekerja yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan namun tetap berada di pinggir, tidak mendapat pengakuan layak, dan terus dihantui ketidakpastian. Mereka adalah para pekerja outsourcing, bagian dari sistem ketenagakerjaan yang sering disebut efisien, tetapi kerap mengorbankan hak-hak dasar pekerja. Outsourcing telah menjadi fenomena global, tetapi di Indonesia, praktik ini menimbulkan banyak kontroversi. Di tengah tuntutan efisiensi operasional, perlindungan terhadap hak pekerja sering kali menjadi korban. Artikel ini mencoba menelisik lebih jauh praktik outsourcing di Indonesia, dari kerangka hukum, implementasi di lapangan, hingga tanggapan dunia internasional, serta menawarkan alternatif kebijakan yang lebih berkeadilan.
Apa Itu Outsourcing, dan Bagaimana Aturannya di Indonesia?
Outsourcing, atau yang sering disebut alih daya, adalah praktik di mana suatu perusahaan menyerahkan sebagian jenis pekerjaan kepada pihak ketiga. Tujuannya? Efisiensi. Tapi efisiensi ini datang dengan harga yang tidak murah terutama bagi para pekerjanya. Di Indonesia, sistem ini memiliki dasar hukum yang cukup panjang. Awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kemudian direvisi secara besar-besaran melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang sempat digantikan sementara oleh Perppu Nomor 2 Tahun 2022, dan kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023. Namun, klaster ketenagakerjaan dalam UU ini masih dalam tahap penyempurnaan dan direncanakan akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang khusus pada periode 2025–2026. Lebih lanjut, sistem kerja outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dijabarkan lebih teknis dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021. Di dalamnya diatur bahwa outsourcing hanya diperbolehkan untuk pekerjaan penunjang, tetapi pada praktiknya, pembatasan ini kerap dilanggar, bahkan dilegalkan secara samar melalui klausul fleksibel.
Ketika Regulasi Tak Lagi Menjamin Perlindungan
Pasca diterapkannya UU Ciptaker, banyak pihak menilai bahwa perlindungan terhadap pekerja outsourcing justru melemah. Regulasi yang dulu membatasi dan melindungi kini menjadi lebih longgar. Salah satu kritik utama adalah hilangnya pembatasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan. Akibatnya, banyak pekerja dikontrak dalam waktu yang sangat singkat, bahkan hanya beberapa bulan, tanpa jaminan kelanjutan atau kompensasi yang memadai. Salah satu poin yang memicu kekhawatiran adalah penghapusan pasal-pasal yang mewajibkan perusahaan untuk mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi yang jelas saat kontrak habis. Selain itu, dengan sistem vendor, pekerja sering kali tidak memiliki posisi tawar terhadap perusahaan pengguna jasa (user), karena secara hukum mereka bukanlah karyawan perusahaan tersebut.
Potret Nyata di Lapangan
Pada tahun 2022, gelombang protes muncul dari para teknisi dan operator lapangan di PLN dan Pertamina. Sebelumnya praktik ini dianggap melanggar aturan karena menyentuh pekerjaan inti. Namun kini, celah hukum itu terbuka lebar karena lemahnya batasan dan pengawasan dari pemerintah. Di sektor perbankan, praktik ini juga sangat lazim. Banyak tenaga pemasaran hingga debt collector yang dikontrak hanya beberapa bulan, tanpa jaminan BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Bahkan, ketika perusahaan vendor bangkrut atau menghilang, pihak user kerap lepas tangan. Dalam banyak kasus, pekerja outsourcing terlilit dalam ketidakjelasan status kerja, tidak mendapatkan THR, cuti, atau bahkan upah minimum yang sesuai standar. Kasus lainnya terjadi pada sektor kebersihan dan keamanan di instansi pemerintah. Meskipun bekerja di lingkungan negara, para petugas outsourcing ini tidak mendapatkan status sebagai ASN atau pegawai tetap, padahal pekerjaan mereka berlangsung bertahun-tahun tanpa jeda.
Lebih dari Sekadar Masalah Upah
Masalah outsourcing bukan sekadar tentang gaji yang lebih rendah dari pegawai tetap. Ini menyentuh isu loyalitas, keadilan, dan martabat manusia. Pekerja yang tidak memiliki kepastian masa depan tentu akan kesulitan bekerja dengan sepenuh hati. Kurangnya jaminan sosial, tidak adanya akses terhadap pelatihan dan pengembangan karier, serta status kerja yang rawan membuat pekerja outsourcing rentan mengalami stres kerja, ketidakpuasan, hingga kelelahan mental. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi produktivitas perusahaan itu sendiri. Bahkan, riset menunjukkan bahwa loyalitas pekerja outsourcing jauh lebih rendah dibanding pekerja tetap, dan tingkat perputaran karyawan (turnover) jauh lebih tinggi.
Bagaimana Dunia Internasional Menyikapi?
ILO (International Labour Organization) telah memberikan panduan melalui Konvensi No. 158 tentang pengakhiran hubungan kerja atas inisiatif pengusaha, serta Konvensi No. 181 tentang lembaga penempatan tenaga kerja swasta. Kedua konvensi ini menekankan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja, termasuk hak atas informasi, keamanan kerja, dan perlakuan yang adil dalam proses pemutusan hubungan kerja. Sayangnya, Indonesia belum meratifikasi atau menerapkan prinsip ini secara tegas. Bahkan setelah lahirnya UU Ciptaker, arah kebijakan justru semakin memihak kepentingan efisiensi bisnis ketimbang perlindungan pekerja. Bandingkan dengan negara-negara seperti Filipina atau Korea Selatan, di mana sistem outsourcing diatur secara ketat, dan pelanggaran terhadap hak pekerja dapat berujung pada sanksi pidana atau pencabutan izin usaha.
Data Statistik dan Dampaknya
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 34% dari total tenaga kerja formal di Indonesia bekerja dalam sistem kontrak dan outsourcing. Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, menunjukkan ketergantungan yang kian besar terhadap sistem ini. Sektor yang paling banyak menggunakan sistem outsourcing antara lain manufaktur, logistik, energi, keamanan, dan kebersihan. Namun, dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ketenagakerjaan, lebih dari 62% pekerja outsourcing mengaku tidak puas terhadap kondisi kerja mereka, terutama dari segi upah, keamanan kerja, dan akses terhadap jaminan sosial. Bahkan 15% pekerja outsourcing mengalami kasus pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa kompensasi yang layak.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Aturan yang ada seharusnya kembali membatasi sistem outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap vendor, mewajibkan pendaftaran resmi, serta menyediakan sistem pengaduan yang cepat dan mudah diakses. Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:
Outsourcing seharusnya bukan jalan pintas menuju efisiensi yang mengorbankan martabat manusia. Efisiensi perusahaan tidak seharusnya dicapai dengan memperkerjakan buruh tanpa jaminan dan tanpa kepastian. Sudah waktunya pemerintah meninjau ulang arah kebijakan ketenagakerjaan agar memberi perlindungan dan harapan bagi jutaan pekerja yang selama ini bekerja dalam bayang-bayang. Keadilan sosial dalam dunia kerja bukan sekadar slogan, tetapi suatu keharusan. Negara tidak boleh membiarkan sistem yang memperbesar jurang ketimpangan antara pekerja tetap dan outsourcing. Dengan regulasi yang adil, sistem pengawasan yang tegas, serta kemauan politik yang kuat, Indonesia bisa menciptakan ekosistem kerja yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
Rizka Khanzanita
Penulis
Tarra Kadita Dewanti
Jubair
Yusuf Randi
Muhammad Faizal