Praktik penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan sebagai jaminan ikatan kerja merupakan fenomena yang masih sering ditemui dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Beberapa waktu terakhir ini, berdasarkan informasi dari berbagai media sosial diberitakan bahwa Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) “Immanuel Ebenezer” gencar melakukan inspeksi mendadak ke berbagai perusahaan. Langkah tegas tersebut diambil menyusul maraknya laporan dan keluhan dari masyarakat terkait dengan adanya dugaan praktik penahanan dokumen penting seperti ijazah pekerja yang hingga saat ini masih terjadi. Meskipun telah menjadi kebiasaan umum di beberapa sektor industri, praktik ini sejatinya menimbulkan berbagai permasalahan hukum, terutama terkait dengan hak-hak pekerja.
Defenisi dan Konteks Penahanan Ijazah Dalam Hubungan Kerja
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2024 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, dan Sertifikat Profesi Jenjang Pendidikan Tinggi (Permendikbudristek), ijazah didefenisikan “sebagai dokumen yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi”. Sementara itu, hubungan kerja didefenisikan sebagai hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa hubungan kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Berdasarkan defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja pada prinsipnya lahir/terbentuk setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha (Husni, 2020). Sedangkan perjanjian kerja adalah “perjanjian antara pekerja dengan pengusaha yang didalamnya memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak” (Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan).
Penahanan ijazah dalam konteks hubungan kerja merujuk pada tindakan pengusaha yang menahan dokumen asli ijazah pendidikan formal milik pekerja sebagai jaminan atas terpenuhinya kewajiban tertentu oleh pekerja. Praktik ini umumnya dilatarbelakangi oleh keinginan perusahaan atau pengusaha untuk memastikan agar pekerja/buruh tidak keluar sebelum jangka waktu yang telah disepakati dalam kontrak, terutama setelah perusahaan mengeluarkan biaya untuk keperluan rekrutmen, pelatihan, atau pengembangan pekerja. Adapun alasan lain yang kadang digunakan yaitu untuk memastikan loyalitas karyawan. Beberapa perusahaan percaya bahwa dengan menahan ijazah, pekerja/buruh akan merasa lebih terikat untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut (Hukumku.id, 2025).
Dalam praktik, penahanan ijazah seringkali didasarkan pada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja. Namun demikian, dalam beberapa kasus terkadang kesepakatan yang dibuat seringkali bersifat non-negosiabel dan menjadi syarat mutlak bagi calon pekerja untuk dapat diterima bekerja. Sehingga menempatkan pekerja pada posisi tawar yang lemah dan tidak seimbang (unequal bargaining position) dibandingkan dengan pengusaha.
Penahanan Ijazah Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perjanjian
Penahanan Ijazah pekerja oleh pengusaha merupakan tindakan yang cenderung ditentang oleh banyak orang karena dinilai melanggar hak asasi manusia dan hak-hak dasar pekerja yang dijamin oleh konstitusi, serta bertentangan dengan asas kebebasan bekerja. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja (right to work) serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Selain itu, dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) juga menegaskan bahwa “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tindakan penahanannya ijazah yang dilakukan secara efektif oleh pengusaha tentunya berpotensi membatasi kebebasan pekerja untuk mencari peluang yang lebih baik atau pekerjaan yang lebih sesuai dengan minat dan keahlian mereka. Namun disisi lain, tindakan penahanan ijazah oleh pengusaha (perusahaan) dilakukan antara lain sebagai salah satu cara untuk memastikan kepatuhan pekerja menjalani kontrak, sebagai jaminan karena pengusaha telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk keperluan rekrutmen, pelatihan, maupun pengembangan pekerja dan lain sebagainya.
Kasus penahanan ijazah bisa dikatakan bukanlah sesuatu hal yang baru, melainkan isu lama yang akan terus berulang karena disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya karena ketidakjelasan hukum yang mengaturnya. Bahkan sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur atau memperbolehkan tindakan penahanan ijazah pekerja oleh pengusaha. Oleh karena itu, supaya persoalan serupa tidak terulang lagi dikemudian hari, Yuli Adiratna yang merupakan Direktur Bina Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan pada Kementerian Ketenagakerjaan mengusulkan agar dibentuk ketentuan nasional sebagai landasan hukum yang khusus mengatur penahanan ijazah (Yasin, 2025).
Dalam praktiknya, tindakan penahanan ijazah yang dilakukan oleh pengusaha didasarkan pada kesepakatan yang dibuat dengan pekerja/buruh yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja. Kesepakatan tersebut pada umumnya didasari atas asas kebebasan berkontrak (partij autonomi, freedom of contract, contractvrijheid) sebagai salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini biasanya oleh sebagian sarjana hukum didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Miru, 2016).
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang merupakan hukum yang bersifat mengatur sehingga para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. Kebebasan berkontrak tersebut, diantaranya (Miru, 2016):
Meskipun didasarkan pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), perjanjian kerja sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya tetap harus memenuhi dan tidak boleh melanggar syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
Kesepakatan kedua belah pihak yang dimaksud mengandung makna bahwa para pihak (pengusaha dan pekerja) yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing tanpa adanya paksaan (dwang), kekeliruan/kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog) (Syahrani, 2006), dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) (Miru, 2016), yang hal-hal tersebut dapat mengakibatkan kesepakatan menjadi tidak sempurna atau cacat dan berujung melahirkan suatu tuntutan untuk membatalkannya sebagaimana ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata. Selain itu, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah didasari pada kausa atau sebab yang halal, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ketentuan Pasal 1377 KUHPerdata. Kausa sendiri diartikan sebagai tujuan, isi dan maksud yang dikehendaki bersama oleh para pihak untuk mengadakan perjanjian yang kemudian melahirkan hubungan hukum (hubungan kerja) (Badrulzaman, 2015).
Penahanan ijazah yang dilakukan melalui kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja haruslah didasarkan pada kesepakatan (kehendak) dari masing-masing pihak (pengusaha dan pekerja) tanpa adanya cacat kehendak atau cacat kesepakatan berupa paksaan, kekeliruan/kekhilafan, penipuan, maupun penyalahgunaan keadaan. Hal ini penting mengingat dalam hakikat sosiologis, kedudukan antara pekerja dan pengusaha pada dasarnya tidak akan pernah satu level. Pengusaha selaku pemberi kerja selalu memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan pekerja, karenanya yang terjadi bukanlah koordinasi dalam hubungan kerja melainkan subordinasi (Shalihah & Nur, 2019). Ketidakseimbangan posisi tawar menyebabkan pekerja yang memiliki posisi tawar yang lemah tidak memiliki banyak pilihan selain menyetujui persyaratan apapun yang diberikan pengusaha asal yang bersangkutan dapat bekerja, termasuk menyepakati penahanan ijazah untuk kerja (Dr. Michael Hans & Associates, 2025). Selain itu, kesepakatan tersebut terkadang diberikan di bawah tekanan ekonomi dan bukan kehendak yang benar-benar bebas. Oleh karena itu, apabila dalam kesepakatan yang dibuat antara pengusaha dan pekerja ditemukan adanya unsur atau keadaan yang menyebabkan “cacat kehendak” atau “cacatnya kesepakatan” seperti misalnya karena adanya paksaan, kekeliruan/kekhilafan, penipuan atau bahkan penyalahgunaan keadaan, maka perjanjian yang sebelumnya disepakati dapat dibatalkan (vernietigbaar). Selama pembatalannya belum diajukan, maka perjanjian itu tetap sah (Badrulzaman, 2015).
Selain itu, praktik penahanan ijazah pekerja yang dilakukan pengusaha (perusahaan) juga berpotensi melanggar syarat kausa atau sebab yang halal dari suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 angka 4 KUHPerdata jo. Pasal 1377 KUHPerdata, karena kesepakatan penahanan ijazah yang dituangkan dalam perjanjian bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti misalnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (2) UU HAM dalam hal tindakan penahanan ijazah yang dilakukan menyebabkan pembatasan akses atau kesempatan bagi pekerja untuk mencari peluang yang lebih baik (layak) atau pekerjaan yang lebih sesuai dengan minat dan keahlian mereka. Selain itu, tindakan penahanan ijazah juga bertentangan atau tidak sejalan dengan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan No. M/5/HK.04.00/V/2025 yang pada intinya melarang pengusaha/pemberi kerja mensyaratkan dan/atau menahan ijazah dan/atau dokumen pribadi milik pekerja/buruh sebagai jaminan untuk bekerja. Perjanjian yang dibuat atas dasar kausa atau sebab yang terlarang (tidak halal) mengakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (van rechtswegenietig, null and void) karena melanggar syarat objektif suatu perjanjian (Badrulzaman, 2015).
Namun begitu, dalam SE tersebut juga diatur bahwa penahanan ijazah oleh pengusaha dimungkinkan untuk dilakukan dalam hal terdapat kepentingan yang mendesak dan dibenarkan secara hukum, sepanjang ijazah tersebut diperoleh melalui pendidikan yang dibiayai oleh pemberi kerja berdasarkan perjanjian tertulis. Pengusaha/pemberi kerja berkewajiban menjamin keamanan ijazah yang disimpan tersebut dan memberikan ganti rugi kepada pekerja jika rusak atau hilang.
Yusuf Randi
Penulis
Tarra Kadita Dewanti
Jubair
Rizka Khanzanita
Muhammad Faizal