Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya disebut UUPPKPU) Kepailitan adalah suatu peristiwa di mana pengadilan telah menyatakan pailit seorang debitur yang tidak mampu membayar utang-utangnya. Pada hakikatnya tujuan pernyataan pailit oleh pengadilan adalah untuk memperoleh penyitaan umum atas harta kekayaan debitur, yaitu segala harta kekayaan debitur disita atau dibekukan untuk kepentingan para kreditur, yang nantinya akan dicairkan untuk melunasi utangnya. Dengan putusan pernyataan pailit, terjadi penyitaan pailit secara umum. Hakim Pengawas, digunakan sebagai jaminan bersama bagi kreditur.
Putusan pailit adalah putusan pengadilan yang mengakibatkan penyitaan umum atas semua harta kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta tersebut secara pro rata dan sesuai dengan perintah kreditur. Maka terhitung sejak tanggal putusan pailit, debitur pailit tidak berwenang untuk mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, oleh karena itu untuk melindungi kepentingan debitur pailit itu sendiri, kreditur dan pihak ketiga lainnya kurator selaku kustodian debitur mengurus harta pailit sampai dengan segala kegiatan dalam kepailitan sampai hutang-hutang debitur dilunasi kepada para krediturnya. Apabila sesudah putusan pailit debitur masih tetap melakukan perbuatan hukum mengenai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, maka perbuatan hukum itu tidak mengikat kecuali perjanjian itu dibuat untuk menguntungkan harta pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit, debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit.
Permasalahan dalam pelaksanaan kepailitan terhadap debitur perorangan yang terikat dalam perkawinan terletak pada ketidakjelasan pengaturan mengenai status harta bersama (harta perkawinan) ketika salah satu pihak dinyatakan pailit. Dalam praktiknya, keadaan ini menimbulkan perbedaan penafsiran hukum di antara para hakim, sehingga pelaksanaan putusan kepailitan sering kali menghadapi kendala yuridis maupun praktis.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UUP) sistem harta dalam perkawinan menganut asas persatuan harta terbatas, yaitu bahwa harta bersama merupakan milik bersama suami dan istri selama tidak ada perjanjian pisah harta. Dengan demikian, apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai pemisahan harta, maka seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama. Ketika salah satu pihak dinyatakan pailit, timbul persoalan apakah harta bersama tersebut dapat dimasukkan ke dalam boedel pailit (harta yang menjadi objek penyitaan dan pemberesan oleh kurator). Ketentuan yang berlaku belum secara tegas mengatur sejauh mana keterlibatan pasangan debitur dalam kepailitan, sehingga kurator, pengadilan, maupun hakim pengawas sering kali menafsirkan secara berbeda. Akibatnya, muncul ketidakpastian hukum mengenai batas tanggung jawab dan kewenangan masing-masing pihak dalam pengurusan harta bersama. Di satu sisi, memasukkan harta bersama ke dalam boedel pailit dapat dianggap melanggar hak pasangan debitur yang tidak ikut menanggung utang. Namun di sisi lain, mengecualikan harta bersama dapat menghambat proses pemberesan harta pailit dan merugikan kreditor.
Permasalahan tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya karena akan menimbulkan perbedaan penafsiran hukum bagi hakim dalam pelaksanaan kepailitan. Debitur perorangan yang terikat perkawinan. Tentang harta bersama, artinya menurut persatuan harta terbatas yaitu hanya atas harta bersama, maka hal ini dapat diartikan jika dalam suatu perkawinan ada harta bersama dan tidak ada kesepakatan tentang pemisahan harta bersama, artinya bahwa kepailitan debitur juga termasuk kepailitan pasangannya, karena suami atau istri debitur juga menjadi tidak cakap atau tidak cakap dalam pengurusan dan penguasaan harta bersama dalam perkawinan. Dalam Pasal 119 UUP yang pada intinya menyatakan bahwa jika suatu perjanjian perkawinan tidak dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan, maka menjadi apa yang disebut kebersamaan/kesatuan harta antara suami istri karena Undang-Undang. Calon suami istri dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan yang mengatur tentang kebersamaan harta dengan membuat perjanjian perkawinan. Berdasarkan perjanjian tersebut dapat diperjanjikan suatu campuran harta yang terbatas, yaitu selama perkawinan, Kemudian untuk pengurusan harta bersama menurut pasal 124 dan 125 KUH Perdata, suami berwenang melakukan berbagai tindakan atas harta bersama dan istri tidak boleh ikut campur dalam pengurusan harta tersebut. Asas persamaan bagi suami istri juga berlaku dalam pengurusan harta bersama sebagaimana dirumuskan dalam pasal 35, pasal 36 dan pasal 37 UUP bahwa harta dalam perkawinan terdiri atas harta bersama dan harta warisan serta harta yang diperoleh dimana harta warisan dan harta yang diperoleh di bawah kendali mereka masing-masing.
“Debitor Pailit” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 termasuk istri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam satu kesatuan harta. Dari ketentuan pasal 62 cukup sulit untuk dipahami, pasal ini sama sekali tidak menjelaskan apakah pasal 62 berkaitan dengan konsep harta bersama menurut UUP yang memang antara harta bersama dan harta warisan serta perolehan yang terpisah atau berarti dari harta bersama. harta benda menurut konsep KUH Perdata sejak terjadinya perkawinan. percampuran harta secara bulat, kecuali jika diperjanjikan untuk pemisahan harta perkawinan baik secara mutlak maupun terbatas. Sehingga ketidakjelasan Pasal 62 UUK-PKPU tersebut, menurut Sutan Remi Sjahdeni, secara logika harus diartikan bahwa jika ada gugatan terhadap istri yang suaminya dinyatakan pailit atau terhadap suami yang istrinya dinyatakan pailit, maka gugatan itu tidak berlaku atas harta pailit. Dengan kata lain, Kemudian dalam pasal 63 UUK-PKPU suami atau istri dilarang menuntut keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan atas beban harta pailit suami atau istri yang pailit atau sebaliknya kreditur suami atau istri yang dinyatakan pailit tidak berhak menuntut keuntungan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada suami atau istri tersebut. istri dinyatakan bangkrut. Selain itu, dapat juga dilihat dari bunga utang yang dilakukan yang menyebabkan debitur pailit. Jika terjadi percampuran harta bersama secara mutlak sedangkan perjanjian perkawinan tidak dibuat, maka kepailitan mencakup semua harta dalam perkawinan itu, yaitu semua harta bersama, tetapi jika perjanjian perkawinan itu dibuat sehingga ada harta bersama secara relatif atau terbatas, Kebangkrutan adalah wanprestasi dari setiap suami/istri yang bangkrut.
Jika dilihat dari ketentuan UU Perkawinan, hanya terjadi perserikatan harta terbatas yang tidak lahir dari perjanjian perkawinan, berbeda dengan konsep KUH Perdata yang menentukan bahwa harta bersama terbatas pada perjanjian perkawinan. dalam perkawinan, yaitu harta bersama dan harta warisan serta harta yang diperoleh debitur dan pasangannya. Jika harta bersama tidak mencukupi, maka dibebankan kepada harta suami. Jika harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, maka dibebankan kepada harta istri. Mencermati ketentuan dalam Pasal 93 KHI, dapat dipahami bahwa tanggung jawab membayar utang tergantung pada penunjukan objek utang pada saat terjadinya utang. Jika objek utang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, maka debitur wajib membayar utang tersebut. Demikian juga jika objek utang digunakan untuk kepentingan keluarga, maka suami istri wajib membayar utang tersebut secara bersama-sama. Jika istri berutang untuk kebutuhan pribadinya, maka suami yang wajib membayar utang tersebut. Untuk itu kebutuhan pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat KHI harus dipahami sebagai kebutuhan di luar tanggung jawab suami.
Tanggung jawab suami tercantum dalam Pasal 80 ayat KHI. Jadi jika istri berutang uang untuk keperluan di luar tanggung jawab suaminya, misalnya untuk pemenuhan kemewahan, maka suami bebas dari tanggung jawab untuk membayar utang tersebut. Berbeda dengan konsep harta bersama dalam KUH Perdata, jika perkawinan tidak membuat perjanjian perkawinan, maka dengan sendirinya semua harta kekayaan menjadi satu kesatuan, baik yang terjadi dalam perkawinan, maupun yang dibawa ke dalam perkawinan. Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa jika akan dilangsungkan perkawinan, menurut Undang-Undang terjadi persatuan yang bulat antara harta suami dan istri. Dalam penyatuan aset terdapat aset dan liabilitas di dalamnya. Tidak ada akad nikah dalam pernikahan, otomatis ada penyatuan untung dan rugi. Dengan demikian, jika tidak ada pemisahan harta perkawinan, maka tidak menjadi soal apakah hutang itu dibuat oleh suami atau istri karena percampuran antara kewajiban dan harta dalam perkawinan.
Jubair
Penulis
Tarra Kadita Dewanti
Yusuf Randi
Rizka Khanzanita
Muhammad Faizal