Ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan merupakan masalah struktural yang telah lama dihadapi Indonesia. Meskipun kemajuan ekonomi nasional menunjukkan pertumbuhan positif, manfaatnya belum merata dirasakan oleh masyarakat desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 12,3% penduduk miskin di Indonesia berada di pedesaan. Ketimpangan akses terhadap modal, pendidikan, dan infrastruktur semakin memperparah kesenjangan ini. Pemerintah melalui visi Asta Cita menetapkan pembangunan dari desa sebagai strategi nasional. Pendekatan ini menempatkan desa tidak hanya sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek utama dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang adil dan merata.
Pendekatan pembangunan dari desa dan dari bawah merupakan strategi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pelaku utama pembangunan. Pendekatan ini menempatkan desa bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek yang mampu mengidentifikasi potensi dan kebutuhannya sendiri. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pembangunan, pemerataan ekonomi dapat lebih mudah tercapai. Pembangunan dari bawah mendorong tumbuhnya ekonomi lokal melalui penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pengelolaan potensi alam dan sosial budaya yang dimiliki desa. Dengan demikian, kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan dapat ditekan karena masyarakat desa memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mandiri secara ekonomi.
Untuk mendukung strategi tersebut, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembangunan desa. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan otonomi dan kewenangan kepada desa dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat. Selain itu, terdapat kebijakan Dana Desa yang diatur melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Desa, yang memberikan alokasi dana langsung kepada desa untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Program-program seperti P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) serta penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga menjadi instrumen penting dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan di tingkat lokal.
Namun demikian, implementasi pembangunan berbasis desa masih menghadapi sejumlah tantangan utama, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan. Tantangan tersebut meliputi keterbatasan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan dan pengelolaan program, lemahnya tata kelola dan transparansi penggunaan dana, serta ketimpangan akses terhadap informasi dan teknologi. Selain itu, masih terdapat ketergantungan tinggi terhadap bantuan pemerintah pusat dan kurangnya kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat. Hambatan lainnya adalah permasalahan sosial seperti rendahnya partisipasi masyarakat, konflik kepentingan, dan lemahnya jaringan ekonomi antar-desa. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan desa menuntut peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pengawasan yang transparan, serta sinergi lintas sektor agar desa benar-benar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan tidak hanya menjadi persoalan ekonomi dan sosial, tetapi juga mengandung dimensi hukum yang kompleks. Meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan otonomi dan kewenangan yang luas kepada desa untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Banyak desa belum mampu menjalankan kewenangan tersebut secara efektif karena keterbatasan kapasitas aparatur dan lemahnya tata kelola pemerintahan. Kondisi ini menimbulkan isu hukum mengenai efektivitas pelaksanaan otonomi desa serta tanggung jawab hukum kepala desa dan perangkatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Selain itu, masalah akuntabilitas dan transparansi pengelolaan Dana Desa menjadi isu hukum yang sangat menonjol. Seiring dengan meningkatnya alokasi Dana Desa setiap tahun, muncul pula berbagai kasus penyalahgunaan dan korupsi di tingkat desa. Hal ini menunjukkan masih lemahnya sistem pengawasan dan pelaporan keuangan desa. Dalam konteks hukum, permasalahan tersebut berkaitan erat dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala desa sebagai pengguna anggaran, serta penerapan sanksi hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.
Isu hukum lainnya muncul dari tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Dalam praktiknya, sering terjadi ketidaksinkronan kebijakan dan regulasi antarlevel pemerintahan, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelaksanaan program pembangunan. Kondisi ini menimbulkan persoalan hukum administratif mengenai batas kewenangan serta koordinasi antarlembaga pemerintahan yang berpotensi menghambat efektivitas pembangunan desa.
Dari sisi partisipasi masyarakat, muncul pula isu hukum mengenai jaminan hak warga desa untuk terlibat aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pendekatan partisipatif yang diamanatkan oleh UU Desa seringkali belum berjalan secara optimal. Masih terdapat praktik pembangunan yang bersifat top-down dan kurang melibatkan masyarakat secara luas, termasuk kelompok perempuan dan masyarakat marginal. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hak partisipasi publik dijamin dan dilindungi oleh regulasi, serta bagaimana mekanisme hukum dapat memastikan keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses pembangunan desa.
Selain itu, penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai motor penggerak ekonomi desa juga menimbulkan persoalan hukum tersendiri. Banyak BUMDes belum memiliki status badan hukum yang jelas, sehingga rawan menimbulkan konflik kepemilikan aset, sengketa bisnis, maupun masalah pertanggungjawaban keuangan. Diperlukan landasan hukum yang lebih tegas agar BUMDes dapat beroperasi secara profesional dan terlindungi secara hukum.
Terakhir, isu hukum juga muncul dalam konteks perlindungan terhadap kelompok rentan di desa, seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin. Pembangunan desa yang berkeadilan sosial menuntut adanya kepastian hukum atas hak-hak mereka untuk memperoleh manfaat yang sama dari program pembangunan. Hal ini menuntut penegakan prinsip non-diskriminasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Secara keseluruhan, berbagai isu hukum ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan realitas pelaksanaannya di lapangan. Pembangunan berbasis desa memang telah memiliki landasan hukum yang kuat, namun masih diperlukan pengawasan, penegakan hukum, dan penguatan kapasitas kelembagaan agar tujuan pembangunan desa yang mandiri, adil, dan berkelanjutan dapat terwujud secara nyata.
Rizky Trijoyo Sibagariang
Penulis
Muhammad Akbar
Retno Wahyu
Irfan
Oka Septa Tinambunan