Pada era dunia yang serba instan ini, pengguna internet bisa menggunakan lebih dari lima aplikasi di dalam gawainya. Sebagian besar aplikasi tersebut dipasang di ponsel pintar, dan sebagian lainnya mereka gunakan pada laptop dan komputer pribadi. Menurut data yang dimuat pada laman Databoks, pengguna internet di Indonesia mencapai 196,71 juta jiwa pada tahun 2019. Di tahun yang sama, Business Software Alliance (BSA) mengungkapkan bahwa 83 persen perusahaan di Indonesia menggunakan perangkat lunak bajakan atau ilegal. Padahal, menurut BSA, penggunaan perangkat lunak bajakan dapat meningkatkan kerentanan serangan malware hingga 29 persen. Ditambah lagi, menurut Sawney, Senior Director BSA, di dunia ada satu malware yang tercipta setiap 8 detik. Banyak motif yang mendasari seseorang untuk menggunakan perangkat lunak atau aplikasi bajakan, mulai dari keterbatasan finansial hingga hobi yang mendarah daging. Terlepas dari semua motif tersebut, apakah penggunaan aplikasi bajakan ini legal dan wajar atau sebenarnya melanggar hukum?
Sebelum masuk ke pembahasan, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa definisi dari aplikasi bajakan. Aplikasi bajakan adalah perangkat lunak yang digunakan tanpa izin resmi dari pemilik hak cipta atau pengembangnya. Ini berarti aplikasi tersebut telah disalin, didistribusikan, atau digunakan secara ilegal, melanggar hak cipta dan ketentuan lisensi. Pembajakan aplikasi dapat melibatkan pengunduhan dari sumber yang tidak sah, penggunaan serial number palsu, atau modifikasi aplikasi untuk menghilangkan proteksi hak cipta. Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa aplikasi bajakan sejatinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak cipta. Meski terlihat sepele dan sudah menjadi "kebiasaan umum" di kalangan pengguna teknologi, tindakan ini melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Pemakaian aplikasi bajakan bukan sekadar urusan teknis melainkan juga menyangkut hak eksklusif pemilik cipta yang dilindungi undang-undang.
Di Indonesia, perlindungan terhadap hak cipta, termasuk program komputer, diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 1 angka 9 dijelaskan bahwa program komputer termasuk dalam kategori ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Artinya, setiap aplikasi yang dibuat oleh individu atau perusahaan memiliki hak eksklusif yang tidak boleh digunakan tanpa izin. Hal ini diperkuat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa hanya pencipta atau pemegang hak cipta yang berhak memperbanyak dan mendistribusikan ciptaannya.
Lalu, bagaimana jika aplikasi tersebut digunakan secara ilegal? Dalam hal ini, UU Hak Cipta mengatur secara tegas bahwa pelanggaran terhadap hak cipta merupakan tindakan yang dapat dikenai sanksi pidana. Dalam Pasal 113 ayat (2), disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan ciptaan milik orang lain untuk kepentingan komersial dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Jika pelanggaran dilakukan dalam skala besar atau mengakibatkan kerugian yang besar, maka sanksinya bisa lebih berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3) hingga (5), yang memungkinkan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp 4 miliar.
Selain UU Hak Cipta, penggunaan aplikasi bajakan juga dapat melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016. Dalam Pasal 30 ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau dokumen elektronik dapat dipidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 juta. Artinya, proses crack atau bypass sistem keamanan aplikasi secara digital termasuk dalam pelanggaran ini.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa menggunakan aplikasi bajakan hanyalah bentuk "survival" di tengah harga software legal yang mahal. Namun, argumen ini tidak bisa dijadikan pembenaran atas pelanggaran hukum. Analoginya seperti seseorang yang mencuri makanan karena lapar, tetap saja tindakan itu melanggar hukum. Lagipula, saat ini banyak pengembang yang menyediakan versi gratis (freemium), open-source, atau lisensi pelajar untuk mengakomodasi pengguna dengan keterbatasan dana. Misalnya, alternatif legal seperti GIMP untuk pengganti Photoshop, LibreOffice sebagai pengganti Microsoft Office, atau DaVinci Resolve versi gratis untuk editing video profesional.
Selain aspek hukum, pengguna aplikasi bajakan juga menghadapi risiko teknis dan keamanan yang tidak sedikit. File bajakan yang diunduh dari internet sering kali disusupi malware, spyware, atau ransomware. Ini bukan hanya membahayakan perangkat, tetapi juga berpotensi mencuri data pribadi, seperti login media sosial, rekening bank, atau bahkan data perusahaan. Belum lagi risiko sistem yang tidak stabil karena aplikasi bajakan tidak mendapatkan pembaruan (update) resmi dari pengembang. Di sisi lain, para pengembang, baik individu maupun perusahaan—mengalami kerugian besar akibat pembajakan ini. Tidak sedikit pengembang lokal yang menyerah di tengah jalan karena karyanya dibajak secara masif tanpa mendapat keuntungan apapun. Hal ini tentu menghambat pertumbuhan industri kreatif digital di Indonesia. Jika masyarakat terus menganggap bajakan sebagai hal yang wajar, maka ekosistem teknologi dan inovasi lokal akan sulit berkembang. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengubah pola pikir: bahwa aplikasi bajakan bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menyangkut etika dan hukum. Membiasakan diri menggunakan software legal adalah bentuk penghargaan terhadap kerja keras dan hak kekayaan intelektual orang lain. Apalagi di era digital ini, kesadaran hukum dan literasi digital seharusnya semakin meningkat, bukan sebaliknya. Pemerintah, sekolah, dan media juga harus ambil bagian aktif dalam edukasi ini, agar masyarakat bisa lebih bijak dalam menggunakan teknologi.
Sebagai penutup, kita bisa tarik kesimpulan bahwa penggunaan aplikasi bajakan bukanlah hal yang wajar. Ia adalah pelanggaran hukum yang nyata, baik dari sisi hak cipta maupun regulasi digital. Meski mungkin dilakukan secara diam-diam dan seolah tanpa konsekuensi langsung, risiko hukum dan teknisnya sangat nyata. Jika kita ingin mendukung kemajuan teknologi dan kreativitas di Indonesia, maka sudah saatnya kita meninggalkan praktik pembajakan dan mulai beralih ke software yang legal dan aman. Jangan sampai kemudahan akses membuat kita menyepelekan hukum. Sebab dalam dunia digital, jejak sekecil apapun bisa menjadi bukti di kemudian hari. Dan lebih dari itu, menggunakan aplikasi legal adalah bentuk nyata kontribusi kita dalam membangun ekosistem digital yang sehat, aman, dan adil untuk semua.
Irfan
Penulis
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA
Ilmina Jihan Zafira