Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah membawa perubahan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Digitalisasi tidak hanya memengaruhi cara masyarakat bekerja, berkomunikasi, dan bertransaksi, tetapi juga menciptakan ruang-ruang baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum konvensional. Di sinilah pertemuan antara dua dunia yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri: teknologi dan hukum. Pertemuan ini bukan hanya soal bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan teknologi, tetapi juga bagaimana teknologi didorong untuk berkembang dalam koridor yang etis dan legal.
Indonesia sendiri telah menunjukkan upaya serius dalam menjawab tantangan tersebut melalui berbagai regulasi, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008 yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022), serta peraturan-peraturan turunan yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lembaga lainnya. UU ITE mencakup aspek-aspek krusial seperti penghinaan melalui media elektronik, akses ilegal, serta transaksi elektronik yang sah menurut hukum. Sedangkan UU PDP menetapkan dasar hukum bagi individu sebagai subjek data, termasuk hak untuk mengetahui, mengubah, dan menghapus data pribadinya.
Namun demikian, masih banyak celah yang harus dijembatani, terutama karena laju perkembangan teknologi sering kali lebih cepat dibanding proses legislasi. Seringkali, peraturan yang ada tidak mampu mengantisipasi munculnya fenomena teknologi baru seperti fintech lending, Internet of Things, atau teknologi pemrosesan biometrik.
Salah satu tantangan terbesar adalah isu perlindungan data pribadi. Masyarakat Indonesia kini banyak bergantung pada platform digital dalam menjalankan aktivitas harian, baik untuk pendidikan, pekerjaan, hingga layanan kesehatan. Namun, minimnya kesadaran tentang hak-hak data pribadi sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Kasus kebocoran data Tokopedia, serta dugaan jual beli data dari BPJS Kesehatan, menunjukkan betapa lemahnya sistem perlindungan data sebelum lahirnya UU PDP tahun 2022. Meskipun demikian, keberadaan undang-undang ini hanya akan efektif jika disertai penegakan hukum yang konsisten dan edukasi publik yang memadai.
UU PDP telah mengadopsi prinsip-prinsip global perlindungan data, seperti transparansi, akuntabilitas, dan minimisasi data. Dalam praktiknya, entitas yang mengelola data dalam jumlah besar seperti e-commerce, aplikasi ride-hailing, maupun perusahaan finansial digital diwajibkan untuk menunjuk Pejabat Perlindungan Data (Data Protection Officer) serta menyusun Dampak Perlindungan Data (DPIA) jika terjadi risiko tinggi terhadap data pribadi.
Di sisi lain, tantangan juga datang dari maraknya kejahatan siber. Aktivitas seperti phishing, penipuan digital, ransomware, dan peretasan akun media sosial semakin sering terjadi, bahkan menyasar lembaga pemerintah dan institusi pendidikan. UU ITE memang telah mengatur mengenai akses ilegal, gangguan sistem, hingga penyebaran konten negatif. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada pemahaman aparat penegak hukum terhadap bukti digital dan prosedur forensik yang relevan. Masih banyak aparat yang belum memiliki kompetensi teknis dalam cyber forensics, dan hal ini membuat proses penyelidikan kasus siber sering menemui jalan buntu.
Lebih jauh lagi, teknologi kecerdasan buatan (AI), blockchain, hingga deepfake telah memperluas dimensi baru dalam relasi hukum dan teknologi. Sebagai contoh, penggunaan AI dalam sistem peradilan, analisis kredit, atau bahkan dalam seleksi kerja membawa pertanyaan etis dan hukum tentang transparansi algoritma, potensi diskriminasi otomatis, serta hak atas penjelasan. Penggunaan AI untuk menilai calon pegawai atau memberikan pinjaman tanpa kejelasan algoritma menimbulkan kekhawatiran tentang fairness dan bias sistemik.
Di negara-negara seperti Uni Eropa, hal ini telah direspons melalui pengesahan EU Artificial Intelligence Act, yang mengklasifikasikan AI ke dalam tingkat risiko dari risiko rendah hingga dilarang serta memberikan mandat bagi sistem AI untuk dapat diaudit. Indonesia masih tertinggal dalam hal ini. Sampai saat ini belum ada satu pun undang-undang yang secara spesifik mengatur standar, audit, dan tanggung jawab hukum dari sistem AI.
Sementara itu, penyalahgunaan deepfake dalam menyebarkan hoaks atau penipuan identitas telah menimbulkan keresahan, namun belum memiliki payung hukum yang eksplisit. Hal ini menimbulkan kekosongan hukum yang tidak hanya membahayakan privasi warga, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan kepercayaan publik terhadap media digital.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, penting untuk menyadari bahwa praktisi teknologi, baik developer, data engineer, maupun UI/UX designer, memiliki peran dalam membentuk ekosistem digital yang taat hukum. Konsep seperti security by design dan privacy by design tidak hanya menjadi jargon teknis, tetapi harus dijadikan prinsip dalam membangun produk digital. Sistem yang baik adalah sistem yang tidak hanya efisien dan menarik, tetapi juga mematuhi prinsip hukum dan etika. Hal ini semakin penting seiring meningkatnya penggunaan teknologi dalam sektor publik, seperti layanan kesehatan berbasis aplikasi atau smart city.
Upaya memperkuat kolaborasi antara komunitas teknologi dan komunitas hukum menjadi sangat krusial. Pengembangan aplikasi atau sistem yang menyimpan dan mengelola data pribadi harus melibatkan peninjauan dari sudut pandang hukum. Bahkan, regulasi baru seperti UU PDP secara eksplisit mewajibkan pengendali data untuk menunjuk pejabat perlindungan data (Data Protection Officer) dalam kondisi tertentu, menunjukkan bahwa compliance bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban hukum.
Kesadaran akan pentingnya regulasi juga perlu dibarengi dengan pengembangan regulasi yang adaptif dan pro-inovasi. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak hanya bersikap reaktif terhadap permasalahan teknologi, tetapi mampu merumuskan regulasi yang teknologi-netral dan berbasis prinsip. Regulasi semacam ini tidak mengatur teknologi spesifik, melainkan nilai-nilai dasar yang dapat diterapkan pada berbagai jenis inovasi masa kini maupun masa depan. Ini bisa diadopsi dari prinsip-prinsip global seperti OECD AI Principles atau UNESCO AI Ethics Recommendation.
Lebih dari itu, diskursus tentang kecerdasan buatan juga menuntut kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kerugian akibat keputusan sistem AI. Apakah pengembang perangkat lunak, pengguna, atau entitas pemilik sistem? Dalam kerangka hukum perdata Indonesia, khususnya Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, hal ini menimbulkan kompleksitas karena subjek hukum dalam konteks AI menjadi kabur. Oleh karena itu, wacana mengenai pemberian status hukum terbatas kepada sistem AI, seperti yang sedang dikaji di beberapa yurisdiksi Eropa, layak menjadi bahan pertimbangan pembentuk kebijakan di Indonesia.
Dengan demikian, regulasi yang komprehensif terhadap teknologi AI tidak hanya berfokus pada aspek perlindungan data dan keamanan siber, tetapi juga harus mencakup mekanisme pertanggung jawaban hukum, standardisasi transparansi algoritma, dan prinsip non-diskriminatif. Ke depan, pemerintah perlu mendorong partisipasi publik dan sektor swasta dalam perumusan kebijakan teknologi, agar tercipta ruang dialog yang inklusif antara inovator, akademisi, masyarakat sipil, dan regulator.
Mengakhiri tulisan ini, penulis berpandangan bahwa hubungan antara hukum dan teknologi bukanlah hubungan subordinatif, melainkan relasi simbiosis. Keduanya saling membutuhkan untuk menciptakan tata kelola digital yang berkeadilan dan berkelanjutan. Teknologi dapat menjadi alat untuk mempercepat pelayanan hukum, sementara hukum memberikan bingkai agar teknologi berkembang tidak melukai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, tantangan ke depan bukan hanya soal membuat regulasi yang baik, tetapi memastikan bahwa teknologi yang berkembang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat konstitusi.
Muhammad Akbar
Penulis
Rizky Trijoyo Sibagariang
Retno Wahyu
Irfan
Oka Septa Tinambunan