Salah satu unsur krusial dalam pengelolaan keuangan daerah adalah Barang Milik Daerah (BMD). BMD merupakan aset yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah serta dilaporkan sebagai bagian dari kekayaan daerah dalam neraca keuangan pemerintah. Aset tersebut mencakup berbagai bentuk kekayaan berwujud, seperti tanah, bangunan, peralatan, dan infrastruktur, yang diperoleh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun sumber lain yang sah, termasuk hibah serta putusan pengadilan. BMD juga merupakan bentuk kekayaan daerah dan harus dikelola secara optimal (Budiman et al., 2022).
Aset yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidak hanya merepresentasikan kekayaan publik, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen strategis dalam menunjang penyediaan layanan publik, pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seiring meningkatnya kompleksitas urbanisasi dan tuntutan terhadap transformasi digital dalam tata kelola pemerintahan, isu mengenai pengelolaan aset daerah semakin memperoleh perhatian, terutama di daerah dengan tingkat akumulasi aset yang tinggi (Komara, 2025).
Provinsi DKI Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian nasional, merupakan contoh signifikan dalam konteks ini. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024, nilai total aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai Rp746,39 triliun, meningkat sekitar Rp30,89 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Besarnya nilai tersebut menggambarkan adanya tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah untuk memastikan seluruh aset dapat dikelola secara optimal, produktif, dan adaptif terhadap dinamika kebutuhan publik (Komara, 2025).
Dalam era digital dan keterbukaan informasi publik, pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) perlu ditopang oleh sistem digital yang terintegrasi. Digitalisasi tidak hanya berperan sebagai sarana pencatatan aset, tetapi juga menjadi instrumen untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, serta memberikan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap informasi mengenai aset pemerintah daerah. Meski demikian, penerapan digitalisasi dalam pengelolaan BMD di Provinsi DKI Jakarta masih menghadapi berbagai kendala, antara lain regulasi yang belum sepenuhnya menyesuaikan dengan sistem digital, kurangnya pemahaman mengenai keterkaitan digitalisasi dengan prinsip keterbukaan informasi publik, adanya tumpang tindih data, lemahnya koordinasi antarunit kerja, serta minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan aset publik.
Digitalisasi dalam pengelolaan aset pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan hukum yang mengatur tata kelola keuangan serta barang milik negara dan daerah di Indonesia. Landasan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan pentingnya pengelolaan aset secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel. Ketentuan tersebut kemudian dipertegas melalui Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, yang memberikan pedoman teknis mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, hingga pelaporan dan pengawasan. Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP) juga menjadi acuan penting dalam proses pencatatan dan pelaporan aset berbasis akrual, agar nilai dan kondisi riil aset dapat tercermin secara akurat dalam laporan keuangan pemerintah (LPKN, 2025).
Dalam konteks kebutuhan efisiensi dan transparansi publik, digitalisasi menjadi solusi strategis bagi pemerintah daerah. Sistem pengelolaan aset berbasis elektronik memungkinkan peningkatan transparansi melalui akses data secara real-time bagi pihak berwenang dan masyarakat. Mekanisme ini memungkinkan publik untuk memantau pemanfaatan aset daerah secara terbuka, mengurangi praktik korupsi, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Transparansi yang kuat dalam tata kelola aset publik merupakan komponen fundamental dalam membangun kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan (Fahlepi et al., 2025).
Selain memperkuat transparansi, digitalisasi juga mendorong peningkatan akuntabilitas dalam pengelolaan aset di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Seluruh transaksi dan pemanfaatan aset dapat terdokumentasi secara sistematis melalui platform digital, sehingga memudahkan proses audit serta pengawasan internal dan eksternal. Peningkatan akuntabilitas tersebut memastikan bahwa aset publik dikelola secara optimal, sesuai dengan ketentuan hukum, serta terhindar dari inefisiensi penggunaan sumber daya. Lebih jauh, penerapan teknologi digital juga meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pengembangan berbagai platform digital, seperti aplikasi dan situs web resmi pemerintah yang memungkinkan penyediaan layanan publik secara daring, mencakup proses perizinan hingga mekanisme pelaporan masyarakat. Transformasi ini memberikan kemudahan akses bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan secara lebih cepat, efisien, dan transparan (Fahlepi et al., 2025).
Aspek keterbukaan informasi menjadi landasan normatif yang memperkuat sistem digital dalam pengelolaan BMD. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang menegaskan bahwa informasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat serta bagian penting dari ketahanan nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945. Tujuan lainnya UU KIP adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik. Selanjutnya mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga melihat dasar dan tujuan tersebut secara garis besar adanya UU KIP ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk memenuhi haknya dalam partisipasi pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan oleh pemerintah (Prabowo, 2014).
Keterbukaan informasi publik juga menjadi salah satu elemen penting bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Robert Charlick, good governance merupakan pengelolaan urusan publik secara efektif melalui pembentukan peratutan dan/atau kebijakan yang sah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan (Santoso, 2008). Dalam keterbukaan informasi publik terdapat beberapa prinsip yang dapat mewujudkan good governance yaitu prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Penerapan digitalisasi tanpa disertai keterbukaan informasi tidak akan mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan Pasal 9 dan 11 UU KIP, setiap badan publik wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik secara berkala, serta wajib menyediakan informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta dan tersedia setiap saat. Dalam konteks pengelolaan BMD, jenis informasi yang seharusnya terbuka bagi publik mencakup:
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) baru untuk menggantikan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2004 yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan saat ini. Fokus Panitia Khusus DPRD DKI Jakarta dalam mendorong digitalisasi pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) menjadi strategi kunci untuk mewujudkan efisiensi administrasi dan transparansi pengelolaan aset publik. Upaya ini tidak hanya menjawab tantangan regulasi yang sudah usang, tetapi juga membuka peluang bagi terciptanya sistem manajemen aset yang adaptif, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik di era digital (DPRD DKI Jakarta, 2025).
Sri Muliana Azhari
Penulis
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih
Indah Fajar Lestari