Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah cara yang demokratis untuk mentransfer suara rakyat kepada otoritas negara dalam membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai penyelenggara negara demi mewujudkan asas “kedaulatan di tangan rakyat” sehingga terciptalah hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Siagian dkk., 2023). Salah satu aspek yang krusial dalam pelaksanaan pemilu adalah keberadaan sistem hukum yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) yang melindungi kepastian dan keadilan pemilu. Namun sayangnya, saat ini masih banyak permasalahan yang timbul sehingga menimbulkan permohonan Judicial Review terhadap peraturan yang ada. Menurut Jimly Ashiddiqie dalam bukunya yang berjudul “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara” menyebutkan, bahwa terdapat 2 (dua) tugas pokok dalam pengujian konstitusional UU (Ashiddiqie, 2005). Pertama, sebagai sarana check and balances dalam hubungan antarlembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kedua, untuk melindungi hak konstitusional warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat fundamental (Ashiddiqie, 2005).
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang dan peraturan yang ada. Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengamatkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Kemudian, Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Oleh karena itu, judicial review menjadi mekanisme yang penting untuk menjaga prinsip checks and balances antarlembaga negara, serta untuk melindungi hak konstitusional warga negara dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, meskipun sangat penting, putusan judicial review yang dikeluarkan selama tahapan Pemilu berlangsung dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan Pemilu. Perubahan aturan yang mendadak dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengganggu jalannya proses pemilu.
Pada tahapan Pemilu 2024, terdapat beberapa norma UU Pemilu yang diuji dan kemudian dikabulkan oleh MK. Di antaranya: Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang merubah ketentuan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden; Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah; Putusan Nomor 69/PUU-XXII/2024 tentang Kampanye di Perguruan Tinggi, dan masih banyak lagi. Di sisi lain, MA juga mengeluarkan putusan judicial review Nomor 23 P/HUM/2024 tentang perubahan syarat usia calon kepala daerah dalam PKPU.
Mahkamah Konstitusi (MK) diberi mandat untuk memastikan perlindungan dan penegakan hak-hak yang tercantum dalam konstitusi dengan berperan sebagai penjaga konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 (Isra, 2014). Dalam konteks Hukum Tata Negara Indonesia, Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) dan Putusan MA memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang merupakan dasar hukum yang penting dalam sistem peradilan di Indonesia. Namun, dalam konteks Pemilu sebagai sarana utama penyaluran hak asasi manusia (HAM) dalam memilih pemimpin negara, sehingga apabila terdapat permohonan judicial review terhadap UU Pemilu dan Peraturan KPU, maka akan memiliki implikasi terhadap penyelenggaraan Pemilu.
Salah satu tujuan utama dari non-retroactivity atau berlakunya hukum secara prospektif adalah untuk menjaga kepastian hukum dan mencegah kekacauan dalam implementasi kebijakan publik. Mengubah aturan di tengah tahapan Pemilu yang sedang berjalan dapat menimbulkan ketidakpastian dan mengganggu proses Pemilu secara keseluruhan. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, perubahan norma yang mendadak bisa menimbulkan berbagai masalah. Pasca keluarnya putusan judicial review, KPU sebagai penyelenggara Pemilu harus mematuhi aturan yang ada perlu waktu dan tenaga untuk mengadaptasi peraturan baru. Begitu pula dengan peserta Pemilu, baik calon presiden, calon kepala daerah, maupun partai politik yang telah menyiapkan segala sesuatunya berdasarkan aturan yang lama, merasa dirugikan dengan adanya perubahan mendadak. Ketidakpastian ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam persaingan politik dan merusak keadilan dalam proses pemilu. Tidak hanya itu, perubahan aturan yang mendadak juga bisa mengakibatkan kebingungan di kalangan pemilih.
Dalam konteks perbandingan sistem hukum, di MA Amerika Serikat telah memperkenalkan sebuah doktrin yang disebut Purcell Principle dalam kasus Purcell v. Gonzalez (2006) yang mana doktrin tersebut menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh mengubah peraturan pemilu terlalu dekat dengan Pemilu, karena berisiko menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian yang bisa mengganggu jalannya pemilu (Wicaksono, t.t.). Prinsip serupa perlu diterapkan dalam konteks Pemilu Indonesia. Demokrasi dan Pemilu bukan hanya alat untuk merebut kekuasaan, tetapi juga sarana untuk mewujudkan kebajikan bersama (common virtue) dalam masyarakat yang beradab yang harus dijaga dengan perisai keadilan (shield of justice). Mengubah aturan di tengah Pemilu dapat merusak prinsip keadilan karena semua pihak yang terlibat memerlukan aturan yang konsisten dan stabil untuk memastikan Pemilu berjalan dengan adil.
Mengubah aturan di tengah proses Pemilu dapat merusak prinsip keadilan karena semua pihak yang terlibat membutuhkan aturan yang konsisten agar proses Pemilu berjalan dengan fair. Keadilan dalam Pemilu juga berkaitan dengan stabilitas hukum yang menjamin kepastian bagi semua pihak yang terlibat sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan baik tanpa khawatir akan perubahan aturan yang mendadak. Sebagai langkah untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum, putusan-putusan judicial review yang mengubah UU Pemilu dan Peraturan KPU sebaiknya hanya diberlakukan pada periode Pemilu berikutnya. Hal ini memberikan ruang bagi semua pihak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan aturan tanpa mengguncang tahapan Pemilu yang sedang berlangsung. Untuk memastikan penerapan yang jelas, MK dan MA dapat memasukkan klausul prospektif dalam amar putusan mereka yang berkaitan dengan Pemilu, yang menyatakan bahwa perubahan aturan hanya berlaku untuk Pemilu berikutnya. Dengan demikian, stabilitas hukum dalam Pemilu akan terjaga dan semua pihak yang terlibat akan memiliki kesempatan yang adil untuk mempersiapkan diri sesuai dengan aturan yang berlaku.
Apabila kita kaitkan dengan, teori cita hukum oleh Gustav Radbruch, yang mengklasifikasikan cita hukum yang dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum menjadi 3 (tiga) prinsip utama yakni (Frida dkk., t.t.):
Ketiga unsur tersebut yakni kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum merupakan pilar utama dalam membangun sistem hukum yang adil dan stabil. Dengan penerapan aturan yang konsisten dan prospektif, kita dapat memastikan bahwa pemilu akan berlangsung dengan adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Penerapan judicial review yang mengubah UU Pemilu dan PKPU pada periode pemilu berikutnya akan memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini akan menciptakan proses pemilu yang lebih adil dan terstruktur, serta menghindari gangguan akibat perubahan aturan yang mendadak. Pemilu seharusnya menjadi sarana yang memberikan keadilan dan kepastian bagi seluruh rakyat Indonesia, dan penerapan aturan yang stabil adalah kunci untuk mencapainya
Seringnya perubahan sistem Pemilu berisiko mengganggu stabilitas politik. Oleh karena itu, pembatasan dampak putusan judicial review diharapkan dapat menjaga stabilitas tersebut. Setiap perubahan dalam sistem Pemilu umumnya memunculkan kelompok-kelompok yang merasa dirugikan serta kelompok yang merasa diuntungkan. Pembatasan dampak putusan ini bertujuan untuk mencegah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan Putusan MK untuk kepentingan sesaat, seperti untuk memenangkan Pemilu tertentu.
Namun demikian, pembatasan dampak putusan judicial review bukan berarti membatasi hak konstitusional masyarakat untuk mengajukan permohonan judicial review. Lebih lanjut, diperlukan suatu mekanisme yang dapat melindungi prinsip-prinsip dasar dalam sistem Pemilu, seperti prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang hanya dapat terwujud jika ada pedoman hukum yang jelas dan stabil. Untuk itu, dalam rangka memberikan landasan yang jelas mengenai pemberlakuan putusan judicial review terhadap Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdapat sebuah gagasan konkret yang dapat dilakukan yakni dengan mengatur dalam amar putusan MK atau MA bahwa putusan judicial review hanya berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu pada periode berikutnya. Ketentuan ini selanjutnya akan dimuat dalam norma peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem Pemilu Indonesia.
Indah Fajar Lestari
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Enjelita Tamba
Ulfia Pamujiningsih