Pilkada Indonesia serentak tahun 2024 baru saja diselenggarakan dan menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Perhelatan tersebut menghadirkan kompleksitas yang mempertanyakan esensi dari cita-cita demokrasi Indonesia. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak merupakan instrumen kunci dalam sistem pemerintahan demokratis, yang secara fundamental bertujuan melahirkan kepemimpinan lokal yang legitimate, akuntabel, dan responsif terhadap kehendak rakyat (Asshiddiqie: 2020). "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" adalah ungkapan dari Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, yang menjadi mantra untuk membangun pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Ungkapan ini menjelaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, Pilkada serentak merupakan hasil evolusi sistem pemilihan kepala daerah yang telah mengalami berbagai perubahan sejak era reformasi. Secara konstitusional, Pilkada serentak memiliki landasan hukum yang kuat dalam kerangka hukum tata negara Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (4) dengan tegas menyatakan bahwa: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menegaskan mekanisme Pilkada serentak sebagai instrumen demokrasi lokal. Konsep demokrasi dalam Pilkada 2024 tidak sekadar terbatas pada prosedur pemungutan suara saja, melainkan mencakup kualitas partisipasi masyarakat luas, integritas proses pemilihan, dan representasi tujuan yaitu untuk kepentingan masyarakat.
Menurut perspektif hukum administrasi negara, Pilkada bukan sekadar mekanisme pergantian kepemimpinan tetapi merupakan instrumen fundamental untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik atau good governance (Sukardi, P.: 2021). Hal ini mengandaikan bahwa setiap tahapan Pilkada harus memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi substantif. Tantangan utama dalam Pilkada 2024 terletak pada kompleksitas sosial-politik yang meliputi isu polarisasi, praktik money politics, dan keterbatasan ruang aspirasi masyarakat luas. Penelitian Kurniawan menunjukkan bahwa praktik money politics masih menjadi persoalan fundamental yang menggerus substansi demokrasi lokal (Kurniawan T.: 2021). Fenomena ini tidak sekadar pelanggaran hukum, melainkan mengindikasikan degradasi kualitas demokrasi yang membatasi ruang partisipasi publik yang sebenarnya. Aspek kelembagaan penyelenggara pemilihan, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), memiliki peran strategis dalam menjamin integritas Pilkada. Mereka bertanggung jawab menciptakan mekanisme pencegahan dan penindakan pelanggaran yang komprehensif. Namun, realitas menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan masih menghadapi sejumlah keterbatasan dalam menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal (Pamungkas, B: 2020). Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukan praktik money politics dalam proses pemilihan baik pemilu maupun Pilkada.
Partisipasi pemilih menjadi indikator kunci kualitas demokrasi dalam Pilkada 2024. Tingkat partisipasi tidak sekadar ukuran kuantitatif, tetapi mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi lokal. Studi Rahayu (2020) mengidentifikasi bahwa menurunnya partisipasi pemilih berhubungan dengan melemahnya kepercayaan terhadap kapasitas kandidat dan kredibilitas atau kemurnian proses pemilihan (Rahayu, S. P.: 2020). Aspek hukum pidana pemilu juga menjadi dimensi krusial dalam menjaga integritas Pilkada. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran pemilu. Namun, efektivitas penegakan hukum masih menjadi pertanyaan, mengingat masih terdapat sejumlah celah yang memungkinkan terjadinya pelanggaran sistematis termasuk praktik money politics. Tidak dapat dipungkiri, Pilkada 2024 menghadirkan kompleksitas yang mempertanyakan kualitas demokrasi prosedural.
Pilkada serentak 2024 di Indonesia, yang dilaksanakan pada 27 November 2024, merupakan tonggak penting dalam perjalanan demokrasi nasional. Momen ini tidak hanya menjadi ajang pemilihan kepala daerah di 545 daerah, tetapi juga mencerminkan tantangan dan kompleksitas yang dihadapi oleh sistem demokrasi Indonesia. Salah satu isu utama yang mencuat adalah praktik money politics, yang berpotensi merusak integritas dan substansi demokrasi lokal. Money politics atau politik uang adalah praktik memberikan imbalan finansial kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka. Fenomena ini telah menjadi masalah kronis dalam pemilihan umum di Indonesia, termasuk dalam Pilkada. Penelitian menunjukkan bahwa praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Kurniawan (2021) menegaskan bahwa money politics menggerus substansi demokrasi lokal, mengurangi kualitas partisipasi pemilih dan memunculkan ketidakpercayaan terhadap kandidat dan proses pemilihan secara keseluruhan. Dampak dari praktik money politics sangat luas. Pertama, ia dapat mengurangi kualitas pemilih, ketika pemilih dipengaruhi oleh uang, mereka cenderung memilih berdasarkan imbalan materi daripada visi dan misi kandidat, sehingga menghilangkan esensi demokrasi yang seharusnya berbasis pada pilihan rasional. Kedua, praktik ini melemahkan akuntabilitas, kandidat yang terpilih melalui money politics mungkin merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan kinerja mereka kepada rakyat karena tidak terpilih berdasarkan dukungan yang sah. Ketiga, money politics dapat meningkatkan polarisasi sosial, di mana kelompok-kelompok tertentu mungkin merasa terpinggirkan jika tidak menerima imbalan yang sama.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa langkah dapat diambil untuk meminimalkan praktik money politics. Pertama, peningkatan pengawasan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sangat penting untuk mendeteksi dan mencegah praktik tersebut. Mereka perlu menciptakan mekanisme pelaporan yang lebih efektif bagi masyarakat untuk melaporkan pelanggaran. Kedua, edukasi pemilih juga menjadi sangat penting untuk masyarakat karena memberikan pemahaman tentang pentingnya memilih berdasarkan kualitas calon dan bukan karena imbalan finansial. Kampanye kesadaran publik dapat membantu meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari money politics. Ketiga, penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu harus diperkuat. Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan sanksi bagi pelaku pelanggaran, implementasinya seringkali lemah. Penegakan hukum yang konsisten akan memberikan efek jera bagi calon yang mencoba menggunakan money politics.
Secara keseluruhan, Pilkada serentak 2024 di Indonesia merupakan kesempatan untuk memperkuat demokrasi lokal melalui kepemimpinan yang legitimate dan akuntabel. Namun, tantangan seperti praktik money politics harus ditangani dengan serius agar cita-cita demokrasi Indonesia dapat terwujud. Dengan meningkatkan pengawasan, edukasi pemilih, dan penegakan hukum, diharapkan Pilkada mendatang dapat berlangsung lebih bersih dan transparan, menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat yang lebih substansial. Sebagai penutup, Pilkada serentak bukan hanya sekadar proses politik, ia adalah refleksi dari kematangan demokrasi kita. Dengan komitmen bersama untuk mengatasi masalah-masalah mendasar seperti money politics, kita dapat berharap untuk masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik dan lebih adil bagi semua pihak. Kesadaran kolektif dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga integritas pemilu sangat diperlukan agar Pilkada mendatang dapat berlangsung lebih bersih dan transparan, menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat yang lebih substansial serta mendorong lahirnya kepemimpinan yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Enjelita Tamba
Penulis
Sri Muliana Azhari
Vinda Ramadhanty
Ulfia Pamujiningsih
Indah Fajar Lestari