Hakim memiliki peran yang sangat penting dalam reformasi peradilan. Oleh karena itu maka seorang hakim agung haruslah benar-benar orang pilihan dengan kualitas yang sangat baik. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU- XI/2013 dalam perkara Pengujian UU Mahkamah Agung UU dan Komisi Yudisial menjadi harapan terwujudnya mekanisme rekrutmen yang lebih baik tanpa intervensi lembaga politik. Peran ini perlu didukung oleh sebuah sistem yang terbangun mulai level pendidikan hingga teknis perekruitan oleh Komisi Yudisiil.
Hakim dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh karena itu maka putusannya pun dimulai dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa". Dengan itu, hakim bisa dibenarkan menjatuhkan vonis mati kepada terdakwa kejahatan berat atau lawan politik penguasa, bisa membangkrutkan orang dan perusahaan, bisa mematikan hak perdata seseorang, bisa menjadikan orang kehilangan pekerjaan, bisa mencerai-beraikan keluarga, dan sederet wewenang “tidak manusiawi” yang tidak lazim dimiliki oleh jabatan, profesi, dan fungsi apapun. Di sinilah diletakkan prinsip Lex Talionis (prinsip pembalasan). Prinsip ini terdiri dari dua kombinasi kata yang bukan saja terdengar janggal secara konseptual, namun sekaligus mengerikan karena memberi alas pembenaran secara universal bagi suatu perilaku yang lazimnya dicela, yakni "kekerasan etis". Lex talionis hanya boleh dilakukan setelah ada proses pengadilan yang adil. Dengan peran yang sedemikian penting maka seorang hakim agung haruslah benar- benar orang pilihan dengan kualitas yang sangat baik.
Hakim yang paling baik dan adil tentulah hanya Tuhan. Namun demikian, terlepas dari ketidaksempurnaannya, tetap terdapat kriteria ideal untuk menjadi seorang hakim yang baik, yaitu berwawasan luas, mendalami ilmu hukum, adil, dan mandiri, dan “bersih”. Hakim seharusnya adalah orang pilihan dari putra-putri terbaik, yang dididik melalui proses pendidikan yang ekstra- ketat dan berkelas unggulan, dan yang terus diasah untuk mempertajam keahlian. Hakim juga wajib digodok pengalaman multidimensi di beragam lapangan serta menjalani proses rohaniah terus menerus untuk menjadi pribadi dengan integritas yang tidak bisa digoda dengan apapun juga, baik harta, kekuasaan, maupun kenikmatan duniawi lainnya. Hakim juga diharapkan selalu mengasah kebijakan, kearifan, serta instink keadilannya untuk menjadikannya tetap peka di dalam memutus setiap perkara.
Kualifikasi ini dalam Pasal 6A UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirumuskan sebagai: 'Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. 'Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu dikatakan juga bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No 047/KMA/SKB/IV/2009 juga disebutkan 10 prinsip dasar seorang hakim, yaitu: (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) berperilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional.
Hakim Agung dengan kualifikasi demikian hanya mungkin dilahirkan dengan sebuah sistem rekruitmen yang baik. Proses rekruitmen merupakan tahapan yang urgent dan mesti mendapatkan perhatian semua pihak. Karena proses seleksi inilah yang nantinya akan menentukan siapa hakim-hakim agung yang berkantor di Mahkamah Agung. Calon-calon hakim yang akan terpilih diharapkan bisa memberikan energi baru dalam percepatan reformasi peradilan di Indonesia.
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 adalah ditetapkan oleh Presiden setelah menerima calon hakim agung yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam hal ini, DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya memberikan persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Namun pengangkatan hakim agung yang demikian, telah diatur secara menyimpang. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hal ini yang kemudian dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 maka kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “disetujui”. Kemudian kata “Pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”.
Hal ini sejalan dengan Amandemen UUD 1945 yang memberi kekuasaan dan tugas menyeleksi hakim agung kepada Komisi Yudisial. Hal ini akan mengarah kepada pengangkatan hakim agung berdasarkan sistem merit dalam kerangka menumbuhkan budaya hukum di tangan pribadi-pribadi yang berintegritas tinggi yang bertanggung jawab membangun sistem peradilan yang kredibel, terbuka, memberikan kepastian hukum, adil, dan berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini juga sekaligus mempertegas kembali pilihan ketatanegaraan untuk melakukan pemencaran kekuasaan (Muhammad Alim, 2010: 56).
Meski demikian, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013 ini tidaklah berarti permasalahan dalam pembenahan Mahkamah Agung telah selesai. Perlu ada perubahan persepsi atas fungsi Hakim Agung dari sekedar menjadi pemutus perkara menjadi “Pelopor Reformasi Peradilan”. Pengangkatan hakim agung selama ini selalu dikaitkan dengan penyelesaian perkara yang begitu menumpuk di Mahkamah Agung. Data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) tahun 2013 menunjukkan bahwa setiap tahun ada 13 ribu perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Jumlah sebanyak itu harus diselesaikan oleh 54 Hakim Agung yang selalu menyisakan 8 ribu kasus tiap akhir tahun. Peran hakim agung tidaklah harus melulu diarahkan untuk “sekedar” mengurangi tumpukan perkara ini sebagai pemutus perkara. Para hakim agung perlu membangun sistem peradilan yang efektif untuk menangani hal tersebut dengan membangun kebijakan-kebijakan yang mengarah pula pada reformasi peradilan, terutama pembenahan administrasi peradilan mulai level peradilan pertama hingga kasasi.
Untuk itu sudah selayaknya Hakim Agung dikonsepkan untuk tidak sekedar mengabdikan diri kepada penegakan hukum dan keadilan, tetapi juga menjadi “Pelopor Reformasi Peradilan” untuk mempercepat pemulihan krisis hukum berpuluh tahun belakangan ini. Dengan demikian pengangkatan hakim agung baru juga harus dilihat dalam konteks mengambil kesempatan untuk mengubah paradigma. Yaitu, menjadikan Mahkamah Agung yang independen, bebas KKN, kredibel, dan berintegritas tinggi. Hal ini perlu didukung oleh sebuah sistem yang terbangun mulai level pendidikan hingga teknis perekruitan oleh Komisi Yudisiil.
Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat mengasilkan masyarakat yang berkualitas sehingga menghasilkan suatu kebudayaan yang bermutu. Dalam kaitan antara sistem pendidikan hukum dengan terciptanya budaya hukum, seperti telah di sebutkan diawal tulisan ini, bahwa Pendidikan hukum baru dikenal dalam tingkat universitas atau jenjang S1 pada fakultas hukum, hal ini pada tingkat universitas diharapkan dapat menghasilkan sarjana hukum yang siap pakai, akan tetapi bila melihat ke belakang, sebenarnya pendidikan S1 baru dapat merupakan pengantar atau persiapan (matrikulasi) untuk menjadi sarjana Hukum program Strata 2 (S2) yang baru boleh dikatakan siap pakai dalam masyarakat yang dengan demikian jenjang S3 dianggap menjadi semakin berbobot karena ilmu yang dikuasainya sudah teruji dalam pengalaman dan penerapan hukum yang sesungguhnya (Sunaryati Hartono, 2004). Perbaikan pendidikan hukum dalam arti yang sebenarnya hanya akan terjadi apabila diadakan perubahan-perubahan yang radikal dalam sistem pendidikan, sehingga dapat menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja, 1979: 5). Untuk menghasilkan calon hakim agung yang mempunyai integritas tinggi, profesional, kompeten, bermoral, jujur, akuntabel, serta menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tentunya bukan sebuah persoalan yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan suatu mekanisme yang baik, yang dimulai dari pendidikan hukum. Calon hakim agung ini bisa dipilih dan dipantau sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan hukum dari mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai kelayakan secara moral maupun intelektual. Dengan perekrutan sejak dini semacam ini, SDM yang nantinya akan bekerja pada bidang hukum akan menjadi lebih baik, dan diharapkan akan mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya sistem hukum dan sistem mayarakat yang lebih baik. Jika konsep ini dijadikan sebagai pola perekrutan maka hal ini akan memunculkan semangat kompetisi di antara para mahasiswa hukum untuk meningkatkan kualitas mereka baik secara akademis, moral maupun ketrampilan dan keahlian hukum. Bila semangat ini telah terbentuk maka dapat dipastikan pendidikan hukum akan menjadi kawah candradimuka yang menghasilkan srjana- sarjana hukum yang tangguh secara mental maupun intelektual.
Selanjutnya, peran penting Komisi Yidisial ditegaskan dalam Pasal 24B UUD 1945 bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam rangka melaksanakan tugas memilih calon hakim agung, Komisi Yudisial menyelenggarakan pendaftaran dan seleksi calon hakim agung secara terbuka dengan melibatkan peran serta masyarakat. Melalui seleksi administratif, kualitas dan kepribadian, Komisi Yudisial berusaha mengetahui kemampuan, profesionalitas, integritas, dan moral calon hakim agung. Partisipasi masyarakat untuk memberikan masukkan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung juga sudah dilibatkan sejak proses pendaftaran untuk selanjutnya dilakukan penelitian kebenaran atas informasi dan pendapat masyarakat oleh Komisi Yudisial. Partisipasi ini dilakukan dengan mekanisme yang beradab dan non koersif, sehingga semua ragam identitas dan kepentingan dapat tertampung dan deliberasi dilakukan dengan bebas dan aman (Zainal Abidin Bagir, 2011:40).
Hal ini dilakukan dengan maksud agar Komisi Yudisial mengetahui rekam jejak calon secara lengkap dan akurat. Khusus untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan hakim sesuai dengan kompetensinya, Komisi Yudisial mensyaratkan calon hakim agung membuat karya tulis ilmiah dengan topik yang telah ditentukan oleh Komisi Yudisial. Berdasar pada tahapan dan mekanisme seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial secara terbuka dan transparan dengan berpedoman pada standar-standar yang telah ditentukan, maka dapat diasumsikan calon-hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR RI merupakan calon-calon yang terseleksi dengan kemampuan keilmuan, profesionalitas, dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Proses ini bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial dengan baik, jika personalia Komisi Yudisial memiliki kemampuan, kompetensi, profesionalisme, dan integritas yang baik pula. Dengan demikian, harapan pembenahan Makamah Agung dan reformasi peradilan melalui para hakim agung tersebut akan menjadi lebih mungkin dapat diwujudkan. Untuk mendorong proses seleksi calon hakim agung yang baik maka Komisi Yudicial perlu melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan hukum agar dapat memantau sejak dini mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai kelayakan secara moral maupun intelektual menjadi calon hakim atau hakim agung. Dengan demikian orang yang nantinya akan bekerja pada bidang hukum akan menjadi lebih baik, dan diharapkan akan mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya sistem hukum dan sistem masyarakat yang lebih baik. Komisi Yudisial juga perlu membangun sistem pemilihan hakim agung yang terbuka dan lebih memungkinkan kemudahan partisipasi masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Untuk itu pemanfaatan teknologi informasi menjadi bagian penting untuk mendukung sistem ini. Untuk itu Komisi Yudisial juga perlu membangun sistem pemilihan hakim agung yang terbuka dan lebih memungkinkan kemudahan partisipasi masyarakat untuk terlibat di dalamnya dengan pemanfaatan teknologi informasi.