Sejak lahir, manusia memerlukan ruang untuk hidup baik untuk tempat tinggal, beraktivitas, berolahraga, berekreasi, memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, sampai meninggal dunia pun manusia memerlukan ruang sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Oleh karena itu penataan ruang menjadi hal yang sangat krusial dilakukan.
Lebih lanjut alasan perlunya penataan ruang dikarenakan ketersediaan ruang terbatas, ukuran ruang yang tersedia di muka bumi tidak pernah bertambah namun jumlah populasi manusia terus meningkat yang berkonsekuensi pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan. Selain itu kita jangan melupakan bahwa ruang bukan hanya untuk manusia tetapi hewan dan tumbuhan juga memerlukan ruang.
Dalam konteks pembangunan, tata ruang memiliki peranan yang sangat fundamental dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Tata ruang merupakan “guidance of future”, hal tersebut diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Nasional, Pulau, Provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kabupaten/Kota hingga Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharapkan penyelenggaraan penataan ruang dapat mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karenanya menjadikan tata ruang sebagai pedoman dalam pembangunan secara konsisten bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, serta memberikan perlindungan fungsi ruang dan mencegah dampak negatif yang berpotensi merusak keberlangsungan lingkungan.
Tata ruang akan menentukan letak-letak dan pengaturan tata wilayah suatu daerah. Oleh karenanya penyusunan tata ruang harus memperhatikan berbagai aspek secara berimbang yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya (ekososlingbud). Tanpa aspek-aspek di atas, atau hanya salah satu aspek saja yang mendominasi, maka akan membuat rencana tata ruang menjadi rapuh. Jangan sampai pembangunan yang dilakukan lebih berorientasi jangka pendek, sehingga anak cucu kita dimasa yang akan datang semakin merasakan dampak buruk dari penataan ruang yang ugal-ugalan.
Pembangunan tanpa perencanaan berujung kesemrawutan. Hal ini telah secara nyata dirasakan dampaknya khususnya bagi kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya, Surabaya, Semarang, dan lain-lain. Akibat minimnya perencanaan dan penegakan terhadap tata ruang, telah mengakibatkan kota-kota besar di atas merasakan ‘lazimnya’ banjir, macet dan polusi udara. Situs arsitektur Rethinking The Future misalnya menempatkan Jakarta berada di urutan pertama kota dengan tata kota terburuk di dunia. Logis ketika Presiden Jokowi memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur. Namun apakah kelak IKN akan bernasib sama seperti yang dialami oleh Jakarta saat ini?
Lebih lanjut pembangunan yang dilakukan secara serampangan dapat menyebabkan hilangnya nyawa, khususnya pembangunan yang dilakukan pada kawasan rawan bencana seperti bencana gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah tahun 2018 yang mengakibatkan lebih dari 4.200 jiwa meninggal, hilang hingga terkubur massal. Areal terdampak likuifaksi padahal masuk zona merah, namun senyatanya daerah tersebut menjadi kawasan permukiman padat penduduk. Hilangnya nyawa tidak bisa dihitung dengan rupiah berapapun nominalnya. Oleh karenanya perlu penyusunan rencana tata ruang yang komprehensif berikut aspek pengendalian dan penegakannya secara konsisten dan konsekuen.
Tata ruang sudah seharusnya menjadi bingkai dari semua kegiatan. Semua sektor yang berkaitan dengan sumber daya agraria termasuk pertanahan harus berpijak pada tata ruang. Oleh karena itu, sudah seharusnya hanya ada satu instansi yang mengatur tata ruang berikut pengelolaan sumber daya alam, sehingga tercipta paduserasi dalam hal pembangunan, mulai dari aspek perencanaan (tata ruang), tanah hingga peruntukkan pembangunan di atas tanah tersebut. Jangan sampai tercipta silo-silo antar Kementerian/Lembaga yang membuat pembangunan nasional berjalan tanpa arah dan tujuan.
Berbagai terobosan di bidang tata ruang telah dibuat melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah melahirkan beberapa terobosan pengaturan terkait pengaturan ruang, salah satunya melalui penerapan kebijakan “one spatial planning policy” atau satu produk rencana tata ruang baik itu ruang darat, ruang laut, ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Terobosan lain berupa penyederhanaan persyaratan dasar perizinan, salah satunya adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR ini memberikan jaminan bahwa kegiatan Pemanfaatan Ruang telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang baik untuk kegiatan berusaha maupun non berusaha. Satu-satunya dasar untuk penerbitan KKPR ini adalah Rencana Tata Ruang. Pelaksanaan layanan KKPR dilakukan melalui sistem Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA). Salah satu kunci keberhasilan dari pelaksanaan KKPR dalam sistem OSS ini adalah RDTR yang telah terintegrasi dengan sistem OSS. RDTR sangat penting karena mengatur pemanfaatan ruang pada skala yang sangat detail (1:5.000).
Pertanyaan selanjutnya, apakah setiap daerah di Indonesia sudah memiliki RDTR? Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN, dari target 2000 RDTR di 514 Kabupaten/Kota yang harus di selesaikan, per Juni 2023 RDTR yang sudah menjadi Perda/Perkada baru mencapai 340 RDTR dan yang sudah terintegrasi dengan sistem OSS mencapai 158 RDTR. Artinya secara akumulasi baru mencapai 7,9 % RDTR yang sudah diselesaikan dan terintegrasi dengan OSS. Hal inilah yang menjadi pertanyaan, bagaimana Tata Ruang secara konsisten dapat menjadi pedoman pembangunan jika RDTR sebagai acuan pembangunan realisasinya masih sangat minim?
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak khususnya Pemerintah Daerah agar memiliki kepedulian dan perhatian terhadap pentingnya menyusun RDTR. Pemerintah Daerah memiliki tugas menyusun materi RDTR, artinya usulan materi RDTR tetap berasal dari pemerintah daerah, terlebih Pemda sebagai institusi yang mengetahui kondisi geografis, potensi pengembangan suatu daerah berikut kondisi sosial dan budaya. Setelah materi RDTR tersusun dengan baik, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berperan untuk memfasilitasi pembahasan lintas sektor, sebelum dikeluarkan persetujuan substansi dan ditetapkan menjadi Perda/Perkada oleh daerah.
Bukan tanpa sebab capaian realisasi RDTR masih sangat minim. Adapun kendala yang dihadapi sehingga target realisasi RDTR sulit tercapai diantaranya: terbatasnya sumber daya manusia di bidang perencana, terbatasnya anggaran dari daerah karena skala prioritas daerah bukan untuk RDTR, ketersediaan peta dasar, peta tematik dan data yang dibutuhkan untuk penyusunan RDTR terbatas.
Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong percepatan RDTR di daerah yaitu dengan memberikan Bantuan Teknis (Bantek) dan Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk mendukung penyusunan RDTR di daerah, memberikan insentif kepada daerah untuk mendorong sense of urgency dalam penyediaan RDTR.
Di tingkat pusat bisa didorong usulan penambahan anggaran RDTR, terlebih target 2000 RDTR merupakan atensi dari Presiden. Upaya lain dapat dilakukan melalui pengembangan tenaga profesional perencana tata ruang melalui pemberian lisensi perencana tata ruang oleh Kementerian ATR/BPN, serta implementasi Forum Penataan Ruang dengan melibatkan tokoh masyarakat, Ikatan Ahli Perencana Indonesia sebagai perwakilan asosiasi profesi, dan Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia sebagai perwakilan akademisi. Lebih lanjut, keterlibatan kampus sangat penting guna membuka prodi perencanaan wilayah dan kota guna mendukung lahirnya SDM di bidang penataan ruang yang berkualitas.
Perencanaan tanpa penegakan hanyalah angan-angan. Aspek penegakan hukum menjadi salah satu faktor kunci efektivitas hukum itu sendiri. Selain menyusun rencana tata ruang, perlu disiapkan strategi penegakan tata ruang. Jangan sampai antara perencanaan dan pelaksanaan tidak berjalan beriringan sehingga banyak terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dan berujung pelanggaran tata ruang. Hingga Maret 2023, terdapat 3.337 Kasus Indikasi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang di Indonesia, 59 % diantaranya sudah ditertibkan melalui pengenaan sanksi administratif hingga sanksi pidana. Sinergi dan kolaborasi dengan berbagai stakeholders mulai dari Kementerian, Pemda, Aparat Penegak Hukum (APH) hingga partisipasi aktif dari masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran ruang menjadi krusial dilakukan.
Sinergitas kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga menjadi hal penting, oleh karena itu perlu dibentuk Dinas Pertanahan, Tata Ruang dan Pengendalian Ruang pada satuan organisasi perangkat daerah pada tingkat pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan lebih memperhatikan aspek mitigasi dan pengendalian.
Tata ruang sebagai pedoman pembangunan tidak dapat berjalan tanpa komitmen yang kuat untuk mengimplementasikannya. Begitupun halnya dengan penyusunan rencana tata ruang yang tidak berkualitas, tentunya berpotensi menciptakan pembangunan yang serampangan. Oleh karena itu, semua proses mulai dari penyusunan tata ruang yang bottom up, proses pembahasan lintas sektor yang komprehensif, proses penetapan, pelaksanakan hingga penegakan tata ruang secara tegas dan lugas adalah satu kesatuan proses yang tidak bisa dipisahkan.