KEDUDUKAN OMNIBUS LAW DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh : Georgius Benny, S.IP (Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran) : 07 Maret 2023 : 102610 Rating :
Hukum Lainnya

Omnibus Law adalah metode atau teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang ramai menjadi diskursus publik di Indonesia ketika diterapkan dalam perumusan Undang-Undang Cipta Kerja. Omnibus Law sendiri dapat dipahami sebagai konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidasi banyak tema dan subjek yang terdapat di berbagai sektor untuk menjadi satu produk hukum yang besar dan holistik (Matompo & Izziyana, 2020).

Dalam praktik penggunaannya di Indonesia, metode Omnibus Law sudah pernah diterapkan jauh sebelum digunakan dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu produk undang-undang yang menggunakan metode Omnibus Law adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Frasa “pokok” dalam UUPA mengacu kepada barisan peraturan berbeda yang berada dalam ruang lingkup agraria. UUPA mencabut beberapa peraturan sekaligus.

Meskipun pada hakikatnya, Omnibus Law adalah metode yang ditemukan dan lebih umum diterapkan dalam negara dengan sistem hukum Common Law seperti Amerika Serikat. Maka dari itu, menarik untuk menganalisis kedudukan Omnibus Law dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Civil Law.

Hukum dapat dapat dilihat sebagai norma yang tersusun mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi. Teori piramida hukum atau stufentheorie menyebut bahwa suatu norma yang lebih rendah bersumber kepada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi akan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi, dan begitu seterusnya sampai kepada norma yang bersifat final yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut lagi yang disebut sebagai norma dasar atau grundnorm (Kelsen, 2005).

Piramida hukum itu kemudian dilengkapi melalui pengelompokkan norma hukum yang terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu:

1.      Norma Fundamental (Staatsfundamentalnorm)

2.      Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz)

3.      Undang-Undang Formal (Formelle Gesetz)

4.      Peraturan Otonom (Verordnung En Autonome Satzung)

         (Nawiasky dalam Farida, 2020)

Pengelompokkan norma hukum tersebut menjadi perluasan teori piramida hukum yang menyusun norma-norma ke dalam tiap level yang lebih spesifik. Dalam konteks hukum di Indonesia, pengelompokkan norma hukum tersebut disesuaikan dengan sumber-sumber hukum yang berlaku. Pengelompokkan norma hukum Indonesia menurut Attamimi (1990) dapat disusun sebagai berikut:

  1. Norma Fundamental (Staatsfundamentalnorm): Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
  2. Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz): Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
  3. Undang-Undang Formal (Formelle Gesetz): Undang-Undang
  4. Peraturan Otonom (Verordnung En Autonome Satzung): Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Pengelompokkan tersebut masih didasarkan kepada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Maka dari itu, perlu untuk “dimodernisasi” dengan menyesuaikannya kepada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Dalam pasal 7 ayat 1 UU 12/2011 diatur bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Provinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam pasal 7 ayat 2 ditegaskan bahwa “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Jika jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011 ini dikelompokkan dalam hierarki norma hukum, maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perubahan meskipun tidak banyak perubahan yang fundamental. Salah satu perubahan adalah dengan masuknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai undang-undang formal (Formelle Gesetz)

Dalam praktiknya di Indonesia, penggunaan metode Omnibus Law mengarah kepada penyusunan norma hukum undang-undang serta peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa praktik penggunaan Omnibus Law di Indonesia bisa dilacak hingga kepada Undang-Undang Pokok Agraria yang diundangkan tahun 1960. Selain itu, metode Omnibus Law juga digunakan dalam penyusunan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Sebelum disahkannya Omnibus Law UU Cipta kerja, justru praktik penggunaan Omnibus Law dilakukan terlebih dahulu terhadap proses pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu 1/2020 ini dapat disebut sebagai Omnibus Law mengingat terdapat 11 peraturan yang dicabut ataupun diubah dalam Perppu ini. Ke-11 undang-undang tersebut dihimpun dalam Perppu 1/2020 yang diterapkan sebagai dasar hukum pemerintah dalam merespon kondisi pandemi, khususnya dalam sektor keuangan negara. Adanya Perppu 1/2020 yang juga dapat dikategorikan sebagai Omnibus Law menjadi sebuah diskursus menarik bahwasanya metode Omnibus Law juga relevan diterapkan dalam peraturan perundang-undangan selain undang-undang.

Maka dari itu, jika kembali kepada pengelompokkan norma hukum di Indonesia, kedudukan Omnibus Law sejajar dengan undang-undang serta peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang berada dalam level Undang-Undang Formal atau Formelle Gesetz. Sejajarnya Omnibus Law dengan UU dan Perppu menjadi rasional mengingat Omnibus Law adalah metode pembentukan undang-undang, bukannya jenis ataupun hierarki peraturan perundang-undangan yang berbeda dari apa yang diatur dalam UU 12/2011.

Terdapat fenomena yang menarik perihal metode Omnibus Law yang lebih umum diterapkan di negara dengan sistem hukum Common Law dibandingkan negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Indonesia. Pasca diketuknya hasil judicial review Omnibus Law Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat pada bulan November 2021 lalu, DPR merevisi UU P3 untuk mengakomodasi metode Omnibus Law dalam tata hukum Indonesia.

UU P3 yang terakhir kali direvisi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2015 dirubah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Perubahan kedua ini merupakan respon terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Disisipkannya metode Omnibus Law pada pasal 42A yang berbunyi “Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan”. Diakomodasinya metode Omnibus Law dalam UU P3 idealnya dilaksanakan sebelum praktik penggunaannya diterapkan dalam kasus UU Cipta Kerja.

Menarik apabila upaya akomodasi ini dielaborasi dengan dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Anwar Usman perihal metode Omnibus Law dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan bahwa dalam memahami metode praktik penggunaan metode Omnibus Law di Indonesia dapat dipandang melalui kacamata kaidah hukum fiqih yang menyatakan bahwa hukum asal sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan keharamannya. Meskipun tidak sepenuhnya tepat jika memandang praktik penggunaan metode Omnibus Law di Indonesia melalui sudut pandang hukum fiqih, namun secara nilai filosofis dan logika hukum yang terdapat dalam kaidah hukum fiqih tersebut relevan untuk menilai penerapan Omnibus Law.

Praktik penggunaan metode Omnibus Law dinilai berpotensi mereduksi kualitas demokrasi partisipatif, deliberatif, dan substantif. Hal ini disebabkan metode Omnibus Law yang menekankan efisiensi, formalisme, dan proseduralisme demokrasi dan hukum. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa metode Omnibus Law bukanlah sesuatu yang baru dan relevan untuk diterapkan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Namun, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah dan parlemen untuk tidak secara sembarangan dan sewenang-wenang dalam praktik penggunaan metode Omnibus Law ini.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329