Dalam kehidupan bermasyarakat, perjudian dianggap tindakan melawan hukum, perbuatan yang menimbulkan masalah dan keresahan umum. Definisi perjudian secara garis besar adalah permainan antar pemain dengan bertaruh memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan, dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Aturan bermain dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Salah satu upaya mengatasi perjudian dengan regulasi yang mengkriminalisasi perjudian sampai dilakukannya penegakan hukum.
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyelaraskan hubungan nilai atau kaidah dengan tindakan konkritnya demi menciptakan, mempertahankan, dan memelihara keharmonisan dalam pergaulan masyarakat. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Hatta dalam bukunya berjudul “ Beberapa Masalah Penegakan Hukum : Pidana Umum & Pidana Khusus” yang secara sempit menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan pelaksanaan penerapan dan eksekusitorial hukum pidana dalam keadaan konkrit. Berhasil atau tidaknya maupun kualitas suatu penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bernilai netral. Menurut Soerjono Soekanto, faktor tersebut terdiri atas faktor instrumen hukum/undang-undang, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana pendukung, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaaan. Fokus artikel ini adalah analisis instrumen hukum atau peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana perjudian.
Menurut Soekanto, faktor instrumen hukum dapat ditinjau dari 3 poin, yaitu diikuti atau tidaknya asas berlakunya peraturan perundang-undangan, ada atau tidaknya peraturan pelaksana, serta jelas atau tidaknya kata dalam rumusan aturan. Pengaturan tindak pidana perjudian ada pada Pasal 303 dan 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian serta PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian. Berikut penjelasannya:
1. Pasal 303 dan 303 bis KUHP
KUHP merupakan acuan hukum pidana yang terkodifikasi, memuat materi muatan kriminalisasi perjudian. Pasal 303 ayat (3) KUHP memberi penafsiran autentik mengenai permainan judi, yaitu “tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung lebih terlatih atau lebih mahir. Termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.” Bentuk perbuatan yang dapat disebut perjudian diatur pada Pasal 303 ayat (1), yaitu : (1) Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya mata pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; (2) Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tatacara; (3) Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.
Awalnya ketentuan Pasal 303 ayat (1) hanya berlaku bagi pengusaha, orang yang mengadakan permainan perjudian untuk mata pencaharian atau usaha yang mendatangkan penghasilan/pemasukan. Sedangkan jeratan pidana bagi orang yang menggunakan kesempatan bermain judi sesuai ketentuan Pasal 303 ayat (1), dikenakan Pasal 542 KUHP sebagai bentuk pelanggaran. (Pasal 542 KUHP diubah menjadi Pasal 303 bis KUHP berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU Penertiban Perjudian)
2. UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
Perkembangan hukum pidana yang mengkriminalisasi perjudian dan diistilahkan bijzonder strafrecht, yaitu UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (UU Penertiban Perjudian) dengan membuat arah pemberantasan tindak pidana perjudian menjadi lebih tegas dan semakin berat ancaman pemidanaannya:
a. Menetapkan Tindak Pidana Perjudian sebagai Kejahatan.
Pada mulanya, Pasal 303 KUHP masuk ke dalam Bab XIV Buku II Kejahatan, serta Pasal 542 KUHP masuk Bab VI Buku III Pelanggaran. Pasal 1 UU Penertiban Perjudian menegaskan bahwa semua tindak pidana perjudian dikategorikan sebagai kejahatan, kemudian Pasal 2 ayat (4) UU Penertiban Perjudian menyatakan bahwa ketentuan Pasal 542 KUHP diubah menjadi Pasal 303 bis, sehingga dapat masuk dalam bagian Buku II KUHP.
b. Memperberat Ancaman Pidana.
Salah satu konsekuensi diubahnya delik pelanggaran menjadi delik kejahatan, ancaman pidana menjadi lebih berat. Pemberatan ancaman pidana tersebut sesuai Pasal 2 ayat (1) hingga ayat (3) UU Penertiban Perjudian:
(a) Pasal 303 ayat (1) KUHP, semula hukuman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp. 25.000.000,-.
(b) Pasal 303 bis ayat (1) KUHP, semula hukuman kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500,- menjadi hukuman penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-.
(c) Pasal 303 bis ayat (2) KUHP, semula berupa hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi hukuman penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-.
3. PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian
Pasca penetapan UU Penertiban Perjudian, pemerintah mengundangkan PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (PP Pelaksanaan Penertiban Perjudian), instrumen pelaksana dari UU Penertiban Perjudian yang mengatur hal pokok berikut:
a. Pelarangan Pemberian Izin Segala Bentuk Perjudian.
Pasal 1 PP Pelaksanaan Penertiban Perjudian menyatakan bahwa larangan pemberian izin kegiatan penyelenggaraan perjudian, serta pernyataan akan pencabutan izin penyelenggaraan perjudian yang telah diberikan, baik yang diberikan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, berlaku sejak 31 Maret 1981. Artinya menutup ruang dilaksanakannya penyelenggaraan perjudian secara legal, tidak seperti Pasal 303 KUHP yang menitikberatkan suatu tindak pidana perjudian, apabila tidak terdapatnya perizinan penyelenggaran perjudian tersebut.
b. Bentuk Perjudian.
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP Pelaksanaan Penertiban Perjudian memberikan contoh bentuk perjudian yang dilarang ke dalam tiga jenis, yaitu :
a) Perjudian di kasino, terdiri dari:
1) Slot machine (Jackpot); 2) Big Six Wheel; dan 3) Poker.
b) Perjudian di tempat keramaian, seperti:
1) Lempar Gelang; 2) Lempar Uang (Coin); dan 3) Adu Ayam.
c) Perjudian dengan alasan lain, misal kebiasaan, berupa:
1) Adu Ayam; 2) Pacuan Kuda; dan 3) Karapan Sapi.
Namun bentuk perjudian dalam bagian ini tidak termasuk jika kebiasaan yang dimaksud berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian.
Kesimpulannya antara KUHP, UU Penertiban Perjudian dengan PP Pelaksanaan Penertiban Perjudian tercermin disharmoni pengaturan, PP Pelaksanaan Penertiban Perjudian melarang segala bentuk perjudian secara legal maupun ilegal, dengan pengecualian kegiatan perjudian dalam rangka upacara adat/keagamaan. Tetapi KUHP maupun UU Penertiban Perjudian hanya melarang dan memidanakan pelaku perjudian yang tidak resmi atau ilegal. Pertentangan ketentuan antara undang-undang dengan peraturan pelaksananya, menunjukkan ketidaksesuaian asas kepatuhan pada hierarki (lex superior derogat lex inferior), suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Tidak diterapkannya salah satu asas pembentukan perundang-undangan ini, menjadi kendala faktor instrumen hukum dan pasti mempengaruhi efektivitas pelaksanaannya sehingga perlu pengambil kebijakan regulasi mensegerakan harmonisasi materi muatan antara ketiga peraturan perundang-undangan tersebut demi terciptanya kepastian dan ketertiban penegakan hukum tindak pidana perjudian di Indonesia.