LEGISLASI MEMBUMI DAN DEMOKRASI IDEAL Oleh : Gede Khrisna Kharismawan (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada) : 11 September 2021 : 102584 Rating :
Hukum Lainnya

Tidak hanya sekali namun berulang kali terjadi gejolak dimasyarakat sebagai akibat dari kebijakan hukum pemerintah, terutama berkaitan dengan undang-undang (UU). Hal ini terjadi antara lain karena pola komunikasi yang buruk antarapemerintah dengan masyarakat. Polemik yang terjadi berupa ketidaksesuaian muatan substansi materil maupun prosedur formil dari suatu undang-undang yang akan diterbitkan dengankeinginan masyarakat. UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Anti Kekerasan Seksual, UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara (Minerba), termasuk wacana amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 untuk mengakomodasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), merupakan sebagian dari contoh yang dapat disebutkan. Berbagai protes tertulis dan tidak tertulis berupa aksi dilakukan oleh elemen masyarakat yang berkepentingan. Beberapa protes diakomodasi oleh pemerintah, namun beberapa tidak diakomodasi. Dalam hal ini, peran serta masyarakat dalam penerbitan undang-undang masih lemah dengan tingkat partisipasi yang rendah. Sedangkan, partisipasi masyarakat amatlah dibutuhkan untuk mengawal kebijakan hukum pemerintah saat ini (ius constitutum) dan kedepan (ius constituendum). Sehingga, menimbulkan pertanyaan mengenai ideal demokrasi yang ada di Indonesia dalam pembentukan hukum yang mencerminkan keinginan masyarakat.

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan demokrasi sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya i.e. pemerintahan rakyat dengan memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat serta menghadirkan gagasan tentang persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang adil bagi semua warga negara. Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem demokrasi tidak langsung melalui perantara DPR. Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 Amandemen keempat menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi legislasi (pembuatan undang-undang), fungsi anggaran (terhadap Anggaran Belanja Negara), dan fungsi pengawasan (terhadap cabang Eksekutif). Teori Pembagian Kekuasaan (distribution of power) menyatakan bahwa DPR sebagai salah satu cabang kekuasaan trias politica saling berhubungan dan berkoordinasi dengan kedua cabang kekuasaan lainnya dalam menjalankan praktik bernegara. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum dan politik memiliki hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan, dimana hukum merupakan produk politik sedangkan kekuasaan politik memperoleh legitimasi dari hukum. Bahwasanya, pengaruh politik terhadap hukum dapat dirasakan dalam penegakan hukum serta dalam karakteristik prosedur dan proses pembentukan hukum. Dalam hal ini, DPR dapat dikatakan belum menjalankan fungsi dengan baik, sebagaimana diindikasikan oleh parameter key performance index (KPI) secara kuantitas berupa produktivitas pembuatan UU, serta secara kualitas berupa muatan UU. Dalam hal ini, kualitas orang-orang yang sedang berkuasa sebagai anggota DPR turut berpengaruh terhadap kinerja tersebut. Ramlan Surbakti membagi tiga model kekuasaan menjadi model elite, model pluralis, dan model populis (2010). Model elite berasal dari konsepsi bahwa pada dasarnya masyarakat terbagi ke dalam dua kelas, yakni sedikit orang berkuasa yang disebut sebagai elite, dan masyarakat yang diatur atau dikuasai yang disebut sebagai massa. Surbakti kemudian membagi model elite menjadi tiga bagian, yaitu 1) elite politik yang yang berorientasi pada keuntungan pribadi dan golongan tertentu; 2) elite politik liberal; dan 3) pelawan elite (oposan).

Selama ini produk undang-undang dianggap sebagai produk elite yang tidak atau kurang mencerminkan keinginan rakyat, melainkan lebih menguntungkan dan mengakomodir kepentingan elite. Selama ini elite terkesan berjarak dengan rakyat dan hanya turun menyapa dalam periode tertentu pada saat pemilihan anggota dewan. Oleh karena itu, diperlukan legislasi yang membumi untuk menjembatani gap kepentingan antara elite DPR dan rakyat. Salus populi suprema lex esto (kebaikan bagi rakyat adalah hukum tertinggi) yang dikatakan oleh Cicero menggambarkan praktik hukum dan bernegara yang baik. Salah satu cara sinkronisasi adalah adanya partipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. Hamzah Halim dan Kemal R.S. Putera (2010) memberikan empat konsep partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang, yaitu partisipasi sebagai kebijakan; partisipasi sebagai strategi; partisipasi sebagai alat komunikasi; dan partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah memiliki lima tahap mekanisme kegiatan, yaitu tahap Kompilasi; tahap Klasifikasi dan Sinkronisasi; tahap Konsultasi, Komunikasi dan Sosialisasi; tahap Penyusunan Naskah Prolegnas; dan tahap Pengesahan. Meskipun demikian, output Prolegnas belum sepenuhnya memenuhi harapan ideal dari para Stakeholders dan masyarakat. RUU-RUU prioritas yang ditetapkan melalui Prolegnas belum menyentuh kualitas substantif sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan nasional. Target realisasi Prolegnas tidak pernah tercapai, bahkan seringkali prioritas pembahasan didasarkan pada kebutuhan undang-undang yang mendesak menyangkut kepentingan politik, pemerintah, dan elite. Oleh karena itu, perlu ada transparansi yang lebih baik dalam hal perencanaan, monitoring, dan evaluasi Prolegnas. Diperlukan metode dan mekanisme yang lebih baik dalam mempersiapkan penyusunan Prolegnas dengan lebih melibatkan pengawasan dan partisipasi masyarakat.

Penulis mengusulkan revitalisasi sistem Prolegnas dengan partisipasi masyarakat melalui instrumen Referendum terhadap penerimaan atau penolakan RUU. Hal ini dilakukan pada tahap keempat; penyusunan naskah Prolegnas, yaitu sebelum RUU dibahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR sebagai bagian dari legislative review. Adapun mekanisme koreksi perundangan setelah diundangkan dilakukan melalui judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). David Altman (2011) mengklasifikasikan 4 (empat) kedimensian dari referendum, yaitu 1) Wajib vs. Opsional; 2) Mengikat vs. Konsultatif; 3) Dicetuskan oleh warga negara (bottom up) vs. Dicetuskan oleh penguasa/pemerintah (top-down); 4) Proaktif (mengusulkan perubahan) vs. reaktif (menentang perubahan). Dalam hal ini, optional referendum yang dilakukan dari adanya permintaan yang berasal dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif ataupun dari masyarakat dirasa cocok untuk diterapkan di Indonesia. Referendum ini terbagi menjadi 1) Legislative referral, diajukan oleh pemerintah atau DPR terhadap RUU, yang dapat memiliki kekuatan mengikat (legally binding) atau hanya sebagai indikator opini publik (advisory); 2) Initiative referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk mengusulkan dan memberikan suara pada undang-undang baru; 3) Popular referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk menentang dan membatalkan hukum yang ada; 4) Recall referendum, yang diajukan oleh masyarakat untuk memberhentikan pejabat terpilih sebelum akhir masa jabatannya. Mekanisme optional referendum mempergunakan prosedur pemilihan umum, sehingga memiliki daya mengikat hukum dibandingkan dengan mekanisme petisi. Prosedur pemungutan suara memilih dengan pilihan Ya atau Tidak terhadap proposal atau masalah tertentu RUU sebagai approval voting, dimana proposisi dengan suara “Ya” terbanyak menang atas yang lain. Sistem pemungutan suara lain yang dapat digunakan adalah pilihan ganda dengan metode Condorcet (mengurutkan prioritas). Pada akhirnya, hasil dari referendum dianggap sah jika diikuti oleh mayoritas masyarakat dan disetujui oleh mayoritas pemilih yang ada dinegara tersebut.  Dalam hal ini, penulis membandingkan dengan negara Swiss, dimana setiap warga negara berhak meminta UU yang ditetapkan oleh parlemen untuk diputuskan secara langsung oleh rakyat melalui referendum berupa petisi pengumpulan tanda-tangan sebanyak minimum 50.000 orang atau 1% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak politik dalam waktu 100 hari sejak ditetapkannya UU yang akan direferendum. Dengan demikian, mekanisme referendum sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam Prolegnas akan merevitalisasi politik hukum menjadi legislasi yang membumi sebagai perwujudan ideal demokrasi.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329