DIGITALISASI PASAR RAKYAT, BOLEHKAH? Oleh : Olsen Peranto (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) : 28 November 2020 : 102584 Rating :
Hukum Bisnis

Aktivitas jual beli online  makin marak dengan adanya situasi pandemi covid yang mana mengharuskan masyarakat untuk mengurangi aktivitas di luar rumah sehingga secara otomatis transaksi jual beli berpindah ataupun terfokus ke media e-commerce. Media e-commerce ataupun penggunaan platform digital dalam bertransaksi semakin memudahkan penjual dan pembeli di era new normal sebab lebih cepat, praktis,  dan meminimalisasi temu fisik. Media e- commerce juga dipandang sebagai terobosan untuk tetap menghidupkan perekonomian dan daya beli masyarakat. Pusat-pusat perekonomian ataupun perdagangan nyaris tidak ada yang tidak berurusan dengan platform digital dalam hal jual beli termasuk pasar rakyat (dulu dikenal dengan istilah pasar tradisional). Digitalisasi pasar rakyat saat ini sudah mulai/sedang dilakukan di beberapa lokasi diantaranya adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, Sleman, Malang, dan Manado. Digitalisasi  tersebut  sangat  mungkin akan diterapkan secara  luas mengingat adanya dukungan serius dari Kementerian Perdagangan yang mana melibatkan platform digital/start up diantaranya adalah Gojek (Go-shop) dan OVO. Penjelasan Pasal 12 ayat 1 huruf a UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 mendefinisikan Pasar Rakyat sebagai tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola  oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar-menawar. Definisi pasar rakyat juga terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut maka menarik untuk dikaji bagaimanakah sebetulnya digitalisasi pasar rakyat dalam kacamata definisi pasar rakyat itu sendiri yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Digitalisasi Pasar Rakyat Dikaji dari Perspektif Definisi Pasar Rakyat Yang Terdapat dalam Ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Penjelasan Pasal 12 ayat 1 huruf a UU Perdagangan 2014 menyatakan bahwa Pasar rakyat adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar-menawar. Dari definisi tersebut maka aspek yang paling menonjol adalah soal tawar menawar yang mana sekaligus menjadi ciri pasar rakyat. Ciri pasar rakyat yang tawar menawar tersebut terbukti konsisten digunakan dalam rangkaian beberapa peraturan perundang-undangan yang mana tetap mempertahankan frasa “tawar menawar” ketika mengatur definisi mengenai pasar rakyat seperti misalnya yang terdapat dalam Perpres 112/2007, Permendag No.70/M-DAG/PER/12/2013, dan Permendag Nomor 26 Tahun  2020 (Perpres 112/2007 dan Permendag 70/2013 memakai istilah pasar tradisional, kemudian melalui Permendag 56/2014 maka istilah pasar tradisional yang terdapat dalam Permendag 70/2013 tersebut diubah menjadi Pasar Rakyat).

Maraknya digitalisasi dalam transaksi jual beli sebagai suatu langkah terobosan khususnya di era “new normal” termasuk terhadap pasar rakyat dinilai sebagai langkah yang baik sebab membuat pasar rakyat menjadi tetap mampu bersaing dan tetap mampu melayani konsumen. Definisi pasar rakyat yang bercirikan tawar menawar sebagaimana kita singgung sebelumnya nampak seperti tidak memiliki masalah apapun, tetapi ketika dibenturkan dengan digitalisasi maka mulai timbul pertanyaan. Dalam e-commerce ataupun penggunaan platform digital maka yang lazim digunakan adalah label harga yang pasti. Label “harga pasti” tersebut tertera ketika konsumen memilih barang yang hendak dibeli. Adanya label “harga pasti” tentu secara fundamental bertentangan dengan konsep “tawar menawar” yang menjadi ciri khusus dari pasar rakyat. Ciri tersebut tercermin dalam serangkaian definisi pasar rakyat yang terdapat dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya label “harga pasti” dalam praktik digitalisasi pasar rakyat maka pertanyaan yang muncul adalah masihkah aktivitas jual beli tersebut pantas disebut/dikategorikan sebagai pasar rakyat?

Untuk mempertajam pertanyaan tersebut maka perlu juga mencermati definisi pasar rakyat yang terdapat dalam Permendag Nomor 26 Tahun 2020 tentang Petunjuk Operasional Pengelolaan DAK Fisik TA 2020 Bidang Pasar Menu Kegiatan Revitalisasi Pasar Rakyat. Permendag 26/2020 mendefinisikan pasar rakyat sebagai suatu area tertentu tempat bertemunya penjual dan pembeli baik secara langsung maupun tidak langsung dengan proses jual beli berbagai jenis barang konsumsi melalui tawar menawar. Dari definisi tersebut maka ada asumsi yang bisa kita kaji. Frasa “area tertentu” dan “tidak langsung” dapat saja kita asumsikan bahwa aktivitas jual beli di pasar rakyat bisa berbentuk online/digital sehingga pasar rakyat tidak lagi hanya dimaknai sebagai tempat/aktivitas fisik. Asumsi tersebut juga dilatarbelakangi bahwa definisi pasar rakyat yang diatur dalam Permendag 26/2020 tersebut sudah jauh berbeda dengan yang diatur dalam UU Perdagangan 2014.      

Perbedaan cakupan definisi  tersebut ditandai dengan adanya frasa “area tertentu” dan “tidak langsung” sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Artinya, sangat nampak bahwa definisi yang diatur Permendag 26/2020 sepertinya mengarah untuk mengakomodir soal digitalisasi pasar rakyat. Tetapi, definisi tersebut tetap tidak menjawab persoalan terkait pelabelan “harga pasti” dalam jual beli online dalam kaitannya dengan praktik digitalisasi pasar rakyat, apalagi definisi tersebut tetap mempertahankan frasa “tawar menawar” yang mana memang merupakan ciri dari pasar rakyat. Persoalan tawar menawar yang dibenturkan dengan pelabelan “harga pasti” terhadap barang yang dijual merupakan persoalan fundamental sebab apabila pasar rakyat pun sudah menggunakan/menerapkan “harga pasti” lantas apa bedanya antara pasar rakyat dengan pasar modern/toko modern/swalayan?

Dalam digitalisasi dapat saja diadakan menu/fitur tawar menawar seperti yang ada dalam platform Bukalapak, tetapi itupun dalam produk yang dijual tetap dicantumkan “harga pasti”. Tidak semua platform digital menyediakan fasilitas menu  tawar menawar/negosiasi,  apalagi misalnya memakai platform Gojek (menu go-shop dll) maka sudah pasti tidak ada menu tawar menawar ketika konsumen membeli suatu barang. Apalagi mayoritas pedagang pasar rakyat tentu tidak terlalu paham teknologi, belum lagi ketika berbicara soal pasar rakyat yang ada di pelosok/pedesaan atau yang jauh dari perkotaan. Namun, apabila digitalisasi hendak terus dilakukan tanpa mengaburkan ciri “tawar menawar” maka digitalisasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan/mengadakan opsi menu tawar menawar dalam platform digital/aplikasi terkait yang digunakan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu jalan keluar ataupun jalan tengah meskipun mungkin akan sulit untuk dipenuhi sebab hampir rata-rata jual beli dalam aplikasi/situs online pastinya menggunakan label “harga pasti” yang sudah tertera. Opsi lainnya adalah bahwa digitalisasi bisa saja terus dijalankan tetapi tanpa memakai istilah “pasar rakyat” atau dengan kata lain harus menggunakan istilah yang baru/berbeda. Selain itu penyempurnaan definisi pasar rakyat dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pasar rakyat mungkin juga bisa dijadikan opsi untuk mengakomodir soal digitalisasi tersebut.

Kesimpulan dan Solusi Ke Depan

Digitalisasi pasar rakyat merupakan suatu terobosan yang baik guna membuat pasar rakyat tetap bertahan dan tetap berdaya saing khususnya di era “new normal”. Tetapi digitalisasi tersebut tentu diharapkan tetap sejalan dengan definisi yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pasar rakyat sehingga tidak bermasalah secara hukum dan supaya tidak mengaburkan ciri khas pasar rakyat yakni tawar menawar. Ciri tersebut adalah ciri yang membedakan pasar rakyat dengan jenis pasar lainnya. Berbagai jalan keluar/jalan tengah dapat dilakukan seperti misalnya membuat/menyediakan menu tawar menawar dalam aplikasi yang digunakan; menghindari penggunaan istilah pasar rakyat dan menggantinya dengan istilah lain apabila digitalisasi yang menggunakan “harga pasti” ingin terus dilakukan; dan penyempurnaan definisi pasar rakyat dalam berbagai ketentuan perundang- undangan yang mengatur soal pasar rakyat. Langkah-langkah tersebut penting untuk dikaji dan dilakukan  agar praktik pasar rakyat tetap sejalan dengan aturan/definisi yang sudah ada dan agar ciri/esensi pasarrakyat  yakni   tawar menawar tidak menjadi hilang.


ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329