Kasus penghinaan terhadap lambing Negara oleh Zaskia Gotik bermula dari sejumlah artis termasuk Zaskia Gotik mengikuti acara kuis untuk menjawab pertanyaan yang ditayangkan salah satu stasiun televise pada Selasa (15/3). Saat itu, Zaskia Gotik menjawab pertanyaan seputar pengetahuan kemerdekaan dan lambing Negara seperti tanggal Kemerdekaan RI dan lambing sila kelima Pancasila. Namun, penyanyi dangdut itu menjawab tanggal Kemerdekaan RI pada 32 Agustus dan lambing sila kelima bebek ‘nungging’.
Polda Metro Jaya mulai melakukan penyelidikan atas laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Pengawas Korupsi (KPK) terhadap penyanyi dangdut Zaskia Gotik. Penyidik juga menemukan dugaan tindak pidana adanya keluhan dari masyarakat terkait dengan penghinaan terhadap lambing negara. Penyidik pun meminta keterangan dari Ketua Umum LSM KPK, Muhammad Firdaus sebagai saksi pelapor dengan surat laporan bernomor:
Dengan tuduhan terlapor melanggar Pasal 57 juncto Pasal 68 Undang-Undang Nomor
Sedangkan Pasal 68 Undang- UndangNomor 24 Tahun 2009, menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Berdasarkan berita media yang tersebar, banyak dukungan pun datang agar Zaskia Gotik diproses secara hokum sehingga menjadi pelajaran dan menimbulkan efek jera.Penghinaan terhadap lambing Negara layak diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Tujuannya untuk penegakan hokum tak boleh tebang pilih. Apalagi laporan dari pelapor telah masuk ke Polda Metro Jaya. Penegakan hukum terhadap dugaan penghinaan terhadap lambing Negara mesti dilakukan, termasuk terhadap Zaskia Gotik. Sebab dengan begitu, kedepan diharapkan artis tak sembarang berucap dengan dalih ‘menghibur’ pemirsa televisi. Artis-artis perlu pula berikan pemahaman menghibur dengan edukatif. Sementara, mendidik artispun dapat dengan berbagai cara, antara lain dengan penegakan hukum, menurut mantan pembaca berita di sebuah televise swasta itu menjadi cara yang tepat. Sangat disayangkan laporan terhadap penghinaan terhadap lambing Negara hanya ditujukan kepada Zaskia Gotik saja, bukankepada program televisi
Apabila penegekan hokum ingin dilakukan terhadap penghinaan terhadap lambing Negara pada kasus Zaskia Gotik maka penegakan hukum juga harus dilakukan terhadap program acara yang menayangkan acara tersebut dan lembaga televise swastanya. Apabila, Penegakan hokum hanya dilakukan terhadap Zaskia Gotik saja akan menimbulkan ketidakadilan atau bertentangan dengan asas equality before the law. Jika dilihat berdasarkan Asas Kausalitas (sebab akibat), penghinaan terhadap lambing Negara pada kasus Zaskia Gotik,ini terjadi juga melibatkan tim program siaran dan tim lembaga televise swasta yang menyiarkan program tersebut. Sebab apabila hanya Zaskia Gotik saja sebagai pelaku tunggal, penghinaan terhadap lambing Negara ini tidak akan terjadi, karena tujuan dari artis tersebut/Zaskia Gotik tidak secara langsung melakukan penghinaan terhadap lambing Negara tetapi hanya untuk memenuhi scenario pertanyaan yang diajukan oleh program tersebut untuk menghibur permirsa televisi. Jika dikaitkan dengan unsur-usur delik pidana apa yang dilakukan oleh Zaskia Gotik hanya memenuhi unsure Actus Reus, sedangkan unsure Mens Rea belum terpenuhi secara sempurna, karena unsure kesengajaan yang dilakukan oleh Zaskia Gotik hanya untuk mengibur permirsa televise bukan untuk langsung bermaksud melakukan penghinaan terhadap lambing negara.
Peristiwa kasus penghinaan terhadap lambing Negara oleh Zaskia Gotik merupakan pelajaran bagi kita semua bahwa tayangan televise swasta Indonesia pada saat ini memberikan program-program/ tayangan tidak bermanfaat bagi public sebagai pemilik frekuensi. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik. Tayangan tersebut dianggap tidak memberikan manfaat kepada public sebagai pemilik utuh frekuensi. Ruang public sendiri harus dijaga semua pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya agar lembaga penyiaran menggunakan frekuensi public dengan bijaksana. Seharusnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memindak lembaga penyiaran swasta untuk tidak menayangkan kembali
Fungsi Media Televisi
Kalau kita melihat fungsi dari televisi sebagai media massa, maka televisi telah menjalankan fungsi informatif, edukatif, dan rekreatif. Ia juga jadi sarana sosialisasi bagi nilai-nilai lama dan baru. Namun sejatinya, acara-acara televise hanya berjalan pada fungsi rekreatif dan informatif. Apalagi, kedua fungsi ini nyata lebih mengejar rating dan lebih berorientasi pada profit. Demi perolehan kepemirsaan itulah, televisi telah menggadaikan idealisme dengan program-programnya. Kita suka melupakan bahwa apa yang ditayangkan di televise hanyalah gambar bergerak yang telah direkam oleh kamera dengan segala trik dan maknanya. Mungkin karena sifatnya yang bergerak sehingga dianggap sebagai realitas nyata. Padahal, pada dasarnya, televisi itu tidak pernah menampilkan realitas tapi hanya sense of reality. Realitas buatan yang dikemasrapi sesuai keinginan pembuatnya. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai hyper- reality, membesar-besarkan realita shingga menjadi berbeda dengan realitas yang sesungguhnya. Kekuatan televisi adalah dramatisasi dan sensasionalisasi. Realita yang diusungnya dianggap sebagai representasi dan realitas kehidupan secara menyeluruh. Pencitraan yang dilakukannya kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas buatan yang dikemas rapi sesuai keinginan pembuatnya (reporter, produser, bahkan bias jadi keinginan para pemilik televisi). Layar televisi mengubah persepsi kita tentang dimensi ruang dan waktu. Tak lagi sekadar sebentuk kotak sabun elektronik. Di dalam setiap detik visual yang ditayangkan merupakan hasil kreasi para profesionalnya. Gabungan dari berbagai profesi masuk di dalamnya. Kreasi mereka muncul dalam bentuk karya kreatif dalam layar televisi. Karya yang kerap kali menjadi sihir bagi pemirsanya. Kekuatannya dalam mengkombinasikan gambar, suara, gerakan dan warna, telah mampu membius manusia. Sihir elektronik televise telah mempengaruhi pola sikap dan perilaku manusia. Bahkan tanpa sungkan masuk hingga ke ranah privat sekali pun. Sudah bukan rahasia lagi hal- hal yang tadinya tabu di televisi menjadi diumbar.
Media adalah juga agen konstruksi. Media mempunyai kekuatan untuk mengonstruksikan budaya dan menggiring masyarakat pada pemahaman tertentu. Oleh karenanya ia mampu membentuk identitas, citra, dan opini public tertentu. Televisi akhirnya banyak dipilih sebagai media yang menawarkan pesona citra. Citra yang juga dicari-cari khalayak pemirsanya. Televisi domain publik media sesungguhnya merupakan bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, yang terkait dengan kepentingan orang banyak. Dalam konteks ruang publik, media selayaknya menjadi tempat penawaran berbagai gagasan. Ruang yang semestinya dijaga dari pengaruh dan kepentingan apapun.