HARMONISASI KETENTUAN PENGULANGAN TINDAK PIDANA DALAM REGULASI YANG MENGATUR PENYELESAIAN PERKARA PIDANA BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF Oleh : Sultan Fauzan Hanif, S.H., M.H. (Kejaksaan Negeri Buol, Paleleh) : 08 Februari 2023 : 102584 Rating :
Hukum Pidana

Awalnya sistem peradilan pidana Indonesia masih memandang, penjatuhan pidana melalui putusan pengadilan merupakan metode utama untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi korban dan terpidana. (Hutahaean, 2022: 143). Kemudian, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”); dimulailah babak baru penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Ketentuan mengenai keadilan restoratif diatur tersebar dalam berbagai peraturan di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur mengenai keadilan restoratif, yakni:

  1. UU SPPA;
  2. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perja Keadilan Restoratif”); dan
  3. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perpol Keadilan Restoratif”).

Meskipun sama-sama mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif, tiga peraturan perundang-undangan di atas memiliki perbedaan. Pertama, perbedaan sasaran subjek hukum, UU SPPA berlaku untuk subjek hukum Anak, Perja Keadilan Restoratif dan Perpol Keadilan Restoratif berlaku untuk subjek hukum selain anak. Kedua, perbedaan persyaratan dan tahapan peradilan dimana aturan penyelesaian berdasarkan pendekatan keadilan restoratif tersebut berlaku.

Salah satu perbedaan persyaratan tersebut adalah ketentuan yang mengatur pengulangan tindak pidana. Ketiga peraturan perundang-undangan diatas secara eksplisit dan implisit, melarang penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif jika terjadi pengulangan tindak pidana.

Pertama, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, bahwa diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

      a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

      b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi.  Artinya, UU SPPA juga menganggap, apabila suatu perkara pidana diselesaikan melalui diversi, maka pelaku tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana meskipun tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menetapkan hal tersebut.

Kedua, Pasal 5 ayat (1) huruf a Perja Keadilan Restoratif menyebutkan bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

      a.      tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana

      b.      ……………………..”

Adapun rumusan yang tercantum di dalam Perja Keadilan Restoratif di atas memang tidak secara eksplisit menggunakan istilah “pengulangan tindak pidana”, namun menggunakan istilah “pertama kali melakukan tindak pidana”. Perja Keadilan Restoratif juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai “pertama kali melakukan tindak pidana”. Selain itu, tidak dirumuskan secara eksplisit apakah seseorang yang perkara pidananya dihentikan berdasarkan pendekatan keadilan restoratif dianggap sebagai orang yang telah melakukan tindak pidana atau tidak.

Ketiga, Pasal 5 huruf e Perpol Keadilan Restoratif menyebutkan persyaratan materiil dilakukannya keadilan restoratif meliputi:

      a.      tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;

      b.      tidak berdampak konflik sosial;

      c.       tidak berpotensi memecah belah bangsa;

      d.      tidak bersifat radikalisme dan separatisme;

      e.      bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan

      f.        “………………….”.

Perpol Keadilan Restoratif di atas dengan jelas menggunakan istilah “pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan”, namun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pengulangan tindak pidana serta indikator-indikatornya. Ketentuan di atas juga tidak mensyaratkan seseorang harus dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Konsekuensinya, apabila seseorang telah dijatuhi pidana atas suatu putusan pengadilan, terlepas apakah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap atau belum, tindak pidana lain yang dilakukannya tidak bisa diselesaikan berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Selain itu, dengan rumusan ini, seseorang yang pernah melakukan tindak pidana dan dihentikan berdasarkan mekanisme keadilan restoratif, tidak dianggap sebagai pengulangan tindak pidana.

Mengacu pada ketiga peraturan di atas, maka terdapat 2 (dua) istilah yang digunakan. Pertama, istilah “pengulangan tindak pidana” di UU SPPA dan Perpol Keadilan Restoratif. Kedua, istilah ”pertama kali melakukan tindak pidana” di Perja Keadilan Restoratif.

Chazawi, sebagaimana dikutip Ishaq, menjelaskan, pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang setelah mendapat putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, melakukan tindak pidana lagi, dengan memperhatikan syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang. (Ishaq, 2019: 166).

Pengaturan mengenai pengulangan tindak pidana utamanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yakni dalam Bab XXXI Buku II KUHP mengenai aturan tentang pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai-bagai bab. (Ishaq, 2019: 166). Masalahnya, pengaturan mengenai persyaratan pengulangan tindak pidana ada di buku II, sedangkan yang berlaku untuk perundang-undangan lain yang diancam dengan pidana adalah buku I KUHP. Hal ini disebutkan dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi:

      “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh          ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan           lain”.

Artinya ketentuan pengulangan tindak pidana di buku II KUHP tidak berlaku untuk tindak pidana di luar KUHP.

Dengan diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU/1/2023”), maka KUHP Indonesia memasuki era baru. Berdasarkan Pasal 624 UU/1/2023, undang-undang ini baru berlaku tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan demikian, UU/1/2023 baru mulai berlaku pada bulan Januari 2026.

UU/1/2023 mengatur secara khusus mengenai persyaratan mengenai pengulangan tindak pidana. Dalam buku I Pasal 23 ayat (1) UU/1/2023 menyebutkan, pengulangan tindak pidana terjadi apabila setiap orang:

  1. melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
  2. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

Pasal 187 UU/1/2023 menyebutkan, ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 187 UU/1/2023, ketentuan mengenai pengulangan tindak pidana yang ada di dalam Pasal 23 UU/1/2023 berlaku untuk tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, kecuali definisi pengulangan tindak pidana di dalam undang-undang tersebut menentukan lain. Sebagai contoh, jika Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak mengatur mengenai indikator pengulangan tindak pidana, ketentuannya mengacu pada ketentuan pengulangan tindak pidana yang ada di dalam UU/1/2023.

Berbeda dengan Perja Keadilan Restoratif yang menggunakan istilah “pertama kali melakukan tindak pidana”,  rumusan ini tidak terikat dengan istilah pengulangan tindak pidana yang memiliki syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur di dalam KUHP atau UU/1/2023. Menurut penulis, frasa tersebut bermaksud untuk menentukan apakah seseorang pernah melakukan tindak pidana atau tidak.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”)  menyebutkan:

      “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap         tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh                   kekuatan hukum tetap.”

Dengan demikian, indikator seseorang pertama kali melakukan tindak pidana adalah jika pelaku tersebut sudah pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap, bukan hanya terbatas pada putusan pengadilan saja.

Menurut penulis, indikator “bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan” dalam Perpol Keadilan Restoratif dan “tersangka pertama kali melakukan tindak pidana” pada Perja Keadilan Restoratif perlu diselaraskan. Sehingga kedua istilah tersebut, masing-masing diubah menjadi:

       a.      belum pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

       b.      belum pernah dihentikan proses perkara pidananya berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.

Istilah “bukan pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan” di dalam Perpol Keadilan Restoratif harus diubah agar tidak bertentangan dengan ketentuan pengulangan tindak pidana yang ada di dalam UU/1/2023. Selain itu, untuk menambahkan syarat “belum pernah dihentikan proses perkara pidananya berdasarkan mekanisme keadilan restoratif”, rumusan “pertama kali melakukan tindak pidana” di dalam Perja Keadilan Restoratif harus diubah agar tidak bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Hal ini didasari pada logika, jika terjadi penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif, hakikatnya pelaku telah mengakui bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan yang bersangkutan memang melakukan tindak pidana tersebut.

Penyelarasan salah satu syarat ini dimaksudkan agar mengurangi disharmoni indikator dalam penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, untuk menghindari disharmoni secara utuh, sebaiknya dimasa yang akan datang pengaturan mengenai penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam pengaturan setingkat undang-undang sehingga tercipta harmonisasi dan unifikasi hukum.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329