Belakangan perhatian publik mengarah ke Nusa Tenggara Barat, seorang pemuda bernama Amaq Sinta (AS), dijadikan tersangka oleh penyidik Kepolisian Resort Lombok Tengah atas dugaan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP. (Liputan6.com, diakses tanggal 22 april 2022). Hal ini dikarenakan, diduga perbuatan AS menyebabkan dua orang meninggal dunia.
Kasus pembunuhan ini kemungkinan besar akan berakhir layaknya kasus pembunuhan biasa apabila latar belakang pembunuhan tersebut tidak diungkap ke publik. Diketahui AS melakukan tindakan tersebut dikarenakan membela diri dari pembegalan yang dilakukan oleh para ‘korban. (https://www.bbc.com/indonesia, diakses tanggal 22 april 2022).
Publik memandang negatif penetapan tersangka oleh Kepolisian. Secara umum, publik berpendapat tidak seharusnya orang yang melakukan pembelaan dijerat pidana, keadaan mana membuat lelucon di masyarakat apabila menjadi korban begal, harusnya kita cukup berpasrah saja tanpa perlu melakukan apapun. Pilihannya jelas, pilih harta melayang jika membiarkan atau berurusan dengan hukum jika melawan.
Setelah ramai diperbincangkan dan menjadi kontroversi, tersangka akhirnya dikenakan penangguhan penahanan yang mana akhirnya berujung pada SP-3. (https://mataram.pikiran-rakyat.com, diakses pada tanggal 22 April 2022) Tentu hal ini menggembirakan publik, yang cenderung muak dengan keadaan penegakan hukum yang tidak cenderung pada keadilan. Namun bagaimana hukum melihat ini?
Pada dasarnya, hukum positif Indonesia mengenal alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang menyebabkan suatu pidana tidak diterapkan kepada pelaku dengan aadanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Alasan pembenar diatur dalam Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Sedangkan alasan pemaaf diatur dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 51 ayat (2) KUHP. (Iqbal et al, 2019: 78 - 83)
Terdapat perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghilangkan sifat melawan hukum dari tindakan pelaku. Akibat hukumnya adalah tindakan tersebut dapat dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi pidana. Sedangkan alasan pemaaf menghilangkan kesalahan pelaku. Akibat hukumnya adalah perbuatan tersebut tetap merupakan tindak pidana, namun menghilangkan pertanggungjawaban pidana pelaku. (Iqbal et al, 2019: 83)
Contoh dari alasan penghapus pidana yang paling sederhana adalah eksekusi hukuman mati oleh eksekutor polri. Hakikatnya, menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja dan terencana adalah perbuatan yang dilarang oleh Pasal 340 KUHP, namun karena hal tersebut adalah perintah undang-undang, maka perbuatan yang tadinya diancam pidana menjadi dapat dibenarkan. Sehingga berlakulah Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Bagaimana dengan perbuatan yang dilakukan oleh AS? Merujuk dari kronologi awal, AS membela diri dari percobaan pembegalan yang dilakukan oleh 4 orang, yang mana dua diantara terduga pelaku meninggal dunia. Hakikatnya perbuatan 4 orang tersebut memenuhi kualifikasi Pasal 365 ayat (1) KUHP yang pada pokoknya menyebutkan:
Dengan hukuman penjara maksimal sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maskud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya
Perbuatan para terduga pembegal dapat juga diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun, berdasarkan Pasal 365 ayat (2) karena dilakukan oleh dua orang bersama-sama tau lebih.
Karena perbuatan itu gagal, maka perbuatan para pelaku tersebut hanya dapat dikualifikasikan sebagai percobaan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri.
Lalu bagaimana pembelaan dari AS terhadap percobaan tindak pidana tersebut? Secara redaksional, Pasal yang dapat menjadi rujukan adalah Pasal 49 KUHP. Pasal 49 ayat (1) KUHP menyebutkan:
Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.
Sedangkan pada Pasal 49 ayat (2) KUHP disebutkan melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. Perbedaaanya, secara teoritis, Pasal 49 ayat (1) KUHP merupakan alasan pembenar, sedangkan Pasal 49 ayat (2) KUHP merupakan alasan pemaaf. ( (Iqbal et al, 2019: 79 - 81)
Lalu siapa yang dapat membuktikan hal itu? Semua tindak pidana hakikatnya harus dibuktikan di pengadilan. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan mana yang merupakan penjabaran dari asas praduga tak bersalah.
Hukum Acara Pidana Indonesia memiliki prinsip pembuktian negatif, yang mana seseorang dianggap bersalah jika terdapat minimal dua alat bukti dan adanya keyakinan hakim, hal mana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan latar belakang kasus tersebut, tentu akan cukup mudah untuk menemukan dua alat bukti untuk membuktikan tindak pidana tersebut. Namun di pembuktian tentu AS selaku Terdakwa dapat menjelaskan situasi yang bersangkutan saat itu, sehingga membuat hakim mengerti bahwa tindakan tersebut adalah tindakan pembelaan diri yang dapat dikategorikan sebagai alasan penghapus pidana, baik sebagai alasan pembenar ataupun alasan pemaaf.
Bagaimana dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang dikeluarkan? Alasan apa yang digunakan penyidik untuk mengeluarkan SP-3 dalam perkara ini? Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menjelaskan penghentian penyidikan melalui gelar perkara dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, salah satu kewenangan penyidik adalah melakukan penghentian penyidikan. Alasan-alasan penghentian penyidikan tersebut tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu tidak cukup alat bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Dalam kasus AS jika kita telaah satu persatu, keterangan dua saksi (para terduga pembegal yang masih hidup berjumlah dua orang), keterangan terdakwa/tersangka yang mengakui, dan jika dibuatkan Visum et repertum pada korban sudah memenuhi minimal dua alat bukti.
Jika alasannya adalah bukan tindak pidana, apakah ini masuk dalam lingkup hukum perdata atau administrasi negara, bukankah sebelum dilakukan penyidikan telah dilakukan penyelidikan yang bertujuan menentukan perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau bukan. (Sofian, 2021)
Satu-satunya alasan yang rasional adalah penyidikan dihentikan demi hukum. Tidak ada penjelasan dalam undang-undang mengenai apa yang dimaksud dengan penyidikan dihentikan demi hukum. Terdapat argumentasi yang menyatakan, penghentian penyidikan demi hukum adalah akibat ne bis in idem, daluwarsa, atau pun matinya tersangka. (Sofian, 2021)
Dengan tidak adanya landasan yuridis yang kuat, dikhawatirkan SP-3 tersebut akan rawan dibatalkan, dalam hal ada pihak-pihak yang mengajukan permohonan pra-peradilan. Karena perlu diingat, sejak Putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012, pihak ketiga yang dimaksud dalam penghentian penyidikan atau penuntutan di dalam Pasal 80 KUHAP terdiri dari saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan.
Tentu penulis secara moril pro terhadap keputusan Polda Nusa Tenggara Barat dalam menerbitkan SP-3, namun ada hal yang perlu dievaluasi secara yuridis agar landasan hukum penerapan alasan penghapus pidana semakin kuat guna menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Untuk mengakomodir kejadian sama di masa mendatang ada dua skenario yang dapat dilakukan. Pertama, Penyidik terus meneruskan perkara ke tingkat penuntutan dan penuntut umum tetap meneruskan berkas ke pengadilan untuk diadili dengan mengajukan fakta-fakta bahwa perbuatan terdakwa adalah perbuatan membela diri sehingga hakim akan memutus putusan bebas atau lepas.
Sebagai contoh Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl yang dalam amar putusannya menyebutkan:
Dalam putusan ini, hakim memutus terdakwa dengan Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaght van alle rechvervolging). Berdasarkan KUHAP, putusan lepas dijatuhkan apabila tindakan yang dilakukan terdakwa terbukti namun bukan tindak pidana. Artinya alasan pembelaan terpaksa tadi menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan tersebut. Pembuktian alasan penghapus pidana dibutuhkan untuk mencegah apabila ada pihak-pihak yang membuat skenario sedemikian rupa sehingga tampak seperti peristiwa yang memenuhi alasan penghapus pidana.
Kedua, ketentuan penghentian penyidikan di dalam KUHAP dijabarkan lebih lanjut dengan mencantumkan ketentuan bahwa penyidik atau penuntut umum dapat menghentikan perkara demi hukum apabila ditemukan alasan penghapus pidana. Ketentuan mana harus diterapkan secara ketat dengan mempertimbangkan alat bukti yang ada. Hal ini diperlukan agar penghentian penyidikan dengan alasan ditemukan alasan penghapus pidana memiliki landasan yuridis yang kuat apabila diajukan permohonan pra-peradilan.
Sultan Fauzan Hanif, S.H., M.H., C.Me (Analis Penuntutan, Kejaksaan Negeri Buol, Paleleh)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal