Dalam mewujudkan “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”, pada pemerintahan Prabowo-Gibran dibentuk suatu landasan kebijakan strategis dalam pembangunan nasional yang disebut dengan “Asta Cita”. Secara harfiah, Asta Cita berarti delapan tujuan atau cita-cita, dengan kata lain terdapat delapan cita-cita pada pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mewujudkan kemajuan bangsa dan negara untuk tercapainya Indonesia Emas 2045. Salah satu Asta Cita tersebut, yaitu “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM)”. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”. Sehingga, Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi hal fundamental dalam pembangunan nasional, di mana Negara memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga negaranya.
Salah satu perwujudan perlindungan HAM, yaitu mengakui bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan berupa tidak seorang pun dapat diperbudak atau diperhambakan, perbudakan, dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang sebagaimana diatur dan dijamin dalam Pasal 4 Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Perdagangan orang atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan human trafficking merupakan bentuk moderen dari perbudakan manusia (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Dengan menjadikan manusia sebagai objek dalam perdagangan orang merupakan bentuk dari perampasan kemerdekaan yang mana bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yaitu melindungi dan menjunjung tinggi kesetaraan harkat dan martabat manusia tanpa adanya diskriminasi.
Anak seringkali menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, hal tersebut dikarenakan anak merupakan pihak yang termasuk dalam kategori rentan. Padahal, anak memiliki hak untuk dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diakui dan diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, anak juga memiliki hak untuk dilindungi dari eksploitasi sebagaimana diatur dan dijamin dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990.
Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan terhadap anak diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 17 Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selanjutnya disebut dengan UU PTPPO. Dan juga diatur dalam Pasal 76F jo. Pasal 83 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selanjutnya disebut dengan UUPA, yang secara khusus menyebutkan sebagai perdagangan anak. Berdasarkan kedua aturan tersebut, maka ketentuan pada Pasal 2 jo. Pasal 17 UU PTPPO beririsan dengan Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA dikarenakan kedua aturan tersebut secara specialis mengatur delik pidana yang sama, yaitu delik pidana perdagangan anak. Meskipun kedua aturan tersebut mengatur delik pidana yang serupa, namun kedua aturan tersebut memiliki perbedaan ancaman pidana. Di mana pada Pasal 2 jo. Pasal 17 UU PTPPO memiliki ancaman pidana yang lebih berat daripada ancaman pidana pada Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA. Ancaman pidana pada Pasal 2 jo. Pasal 17 UU PTPPO, yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Sedangkan, ancaman pidana pada Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA, yakni pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Adanya disharmonisasi aturan terkait delik pidana perdagangan anak tersebut berimplikasi pada perbedaan pemidanaan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian Majelis Hakim dalam melakukan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak dibuktikan dengan pada Putusan Nomor 673/Pid.Sus/2020/PN Lbp, terdakwa Rudi Syafril Lubis terbukti melakukan perbuatan sebagaimana melanggar Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA, oleh Majelis Hakim terhadap terdakwa tersebut dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda sejumlah Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Pada Putusan Nomor 10/Pid.Sus/2019/PN Lgs, terdakwa Sukadi Bin Sugu (Alm.) juga terbukti melakukan perbuatan sebagaimana melanggar Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA, oleh Majelis Hakim terhadap terdakwa tersebut dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan, dan denda sejumlah Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Berbeda dengan dua putusan sebelumnya yang menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun pada terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA. Pada Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2017/PN Olm, terdakwa Nelci Alveonitha Tfuakan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana melanggar Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 17 UU PTPPO jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, oleh Majelis Hakim terhadap terdakwa tersebut dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sejumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1126 K/Pid.Sus/2017, terdakwa Helena Pakpahan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 17 UU PTPPO, oleh hakim Mahkamah Agung terhadap terdakwa tersebut dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
Berdasarkan uraian putusan di atas, dapat diketahui bahwasanya terhadap pelaku yang dijatuhi pidana dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 17 UU PTPPO lebih berat daripada pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku yang dijatuhi pidana dengan Pasal 76F jo. Pasal 83 UUPA. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap pelaku tindak pidana yang sama, yaitu tindak pidana perdagangan anak. Di mana itu terjadi akibat adanya disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Terhadap disharmonisasi aturan terkait delik pidana perdagangan anak yang menyebabkan perbedaan pemidanaan oleh Majelis Hakim, terutama pemidanaan ringan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak merupakan bentuk pengabaian terhadap pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai korban. Di mana hal tersebut tidak selaras dengan yang dicita-citakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam Penjelasan Umum UU PTPPO dan UUPA sebagai undang-undang yang secara specialis mengatur terkait tindak pidana perdagangan anak, yang menghendaki pemberatan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak. Hal tersebut dibuktikan dengan diaturnya pemberatan pemidanaan dalam Pasal 17 UU PTPPO yang berbunyi “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).” Selaras dengan UU PTPPO, dalam Penjelasan Umum UUPA juga dijelaskan bahwasanya pemberatan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan anak ditujukan sebagai bentuk pemberian efek jera terhadap pelaku, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis, dan sosial anak korban. Yang mana pemberatan pemidanaan dilakukan sebagai bentuk antisipasi agar di kemudian hari anak korban tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Dalam hal ini, pemberatan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak bertujuan sebagai bentuk perhatian yang diberikan terhadap penderitaan anak korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan anak, mengingat dengan penjatuhan sanksi pidana yang terlalu ringan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak dinilai tidak akan sepadan dengan dampak yang diderita oleh anak korban akibat kejahatan perdagangan anak.
Negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan bagi anak, terutama anak korban dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Bentuk negara mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam menjamin perlindungan anak korban tindak pidana perdagangan anak, yaitu dengan melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait delik pidana perdagangan anak melalui Pembentuk Undang-Undang dengan berorientasi pada pemberatan pemidanaan terhadap pelaku. Dengan adanya harmonisasi, maka akan tercipta kepastian hukum sehingga perlindungan dan pemenuhan hak anak korban dapat terwujud, terutama hak untuk dilindungi dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Dengan terpenuhinya hak anak korban, maka upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait delik pidana perdagangan anak dapat menjadi langkah maju dalam mewujudkan Asta Cita, terutama dalam hal memperkokoh Hak Asasi Manusia (HAM).
Justisia Aura Najwa
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Pahotan Gultom
Faisal
Yosua Lamsar