Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara terang tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Peredaran secara bebas dan penyalahgunaan narkotika saat ini berada pada tahap mengkhawatirkan dan menjadi masalah serius bangsa Indonesia. Peredaran gelap narkotika kian hari semakin berkembang secara pesat dan masif. Apabila problematika mengenai narkotika terus terjadi tanpa adanya upaya yang lebih, maka akan sangat mungkin rusaknya karakter generasi muda penerus bangsa.
Sistem peradilan pidana lebih diarahkan pada masalah pemidanaan. Mengenai untuk apa pemidanaan dilakukan mengacu pada teori-teori pemidanaan yang cenderung mengerucut pada dua pendekatan dasar: reductionist dan retributivist. Pendekatan reduksi (the reductionist approach) melihat pemidanaan sebagai suatu alat kontrol sosial yang dirancang untuk mengurangi perbuatan anti sosial (instrument of social control designed to reduce antisocial activity), di mana umumnya hal itu dilakukan melalui pengisolasian dan detterence, disamping itu juga bisa dilakukan melalui rehabilitasi dan pendidikan. Sedangkan pendekatan pembalasan (the retributivist approach) memandang pemidanaan sebagai suatu tanggapan moral yang pantas dan/atau diperlukan terhadap tindakan terlarang. Di antara berbagai jenis pemidanaan, pidana penjara (pemasyarakatan) merupakan yang paling populer, dan angka penghuninya terus meningkat.
Tindak pidana narkotika telah sungguh-sungguh beririsan dengan kehidupan masyarakat khususnya generasi muda yang menjadi kekhawatiran setiap elemen masyarakat. Sebagai upaya konkrit, negara perlu memiliki cara pencegahan guna menekan angka tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Menurut data pada tahun 2021, prevalensi mencapai sekitar 1,95%, persentase ini naik sebesar 0,15% dari pada tahun 2019 yang mencapai 1,8%. Dengan rentang usia dari 15-64 tahun, dengan begitu berarti terdapat sekitar 4,8 juta penduduk Indonesia pernah mengonsumsi narkoba (BNN, 2022). Terlihat jelas dengan angka peningkatan tersebut dapat dikatakan Indonesia mulai memasuki tahap darurat narkoba.
Melihat realita yang ada menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga negara yang memiliki peran dalam membina narapidana sebelum nantinya mereka kembali ke masyarakat. Peran Lembaga Pemasyarakatan sebagai tonggak dalam mewujudkan fungsi pembinaan yang berorientasi kepada hak asasi manusia, memiliki tugas penting selain peran pembinaan tetapi juga mengenai program rehabilitasi sosial. Tentu saja ini bukan suatu hal yang mudah. Terdapat banyak indikator dalam mencapai hasil maksimal dari program rehabilitas sosial khususnya bagi para pecandu narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Perlu dipastikan mengenai pengaturan rehabilitasi sosial terhadap narapidana narkotika yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan telah sesuai. Selain itu, perlu adanya kebijakan Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial ini terhadap para pecandu narkotika.
Pengaturan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika yang Diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan
Penggunaan narkotika baik untuk sendiri atau diedarkan merupakan suatu kejahatan. Namun perlu analisis lebih lanjut dalam menentukan suatu penggunaan narkotika untuk konsumsi sendiri apakah termasuk kedalam golongan tersangka atau korban. Seorang penyalahguna dapat dikategorikan sebagai seorang korban dari kejahatan peredaran bebas narkotika. Sebagai upaya dalam mengatasi penyalahgunaan narkotika yang bersifat preventif adalah dengan memberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi para pecandu narkotika dan menyediakan sarana/prasarana untuk rehabilitasi sosial agar para pecandu dapat sembuh dari ketergantungan.
Berdasarkan fakta tersebut pasal tentang pengguna dan kepemilikan narkotika sangat berpotensi bahwa mayoritas pelaku penyalahguna narkotika adalah seorang pecandu yang sudah mengalami ketergantungan terhadap narkotika, akan tetapi jarang sekali terdapat pasal rehabilitasi yang digunakan jaksa dalam menuntut pelaku penyalahguna narkotika dan hakim dalam mejatuhkan putusan padahal dalam pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan sebagai berikut:
Kemudian Pasal 54 menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 103 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Adapun dengan mulai berlakunya Undang-Undang No 35 Tahun 2009 maka terhadap korban penyalahgunaan narkoba, hakim dapat menjatuhkan putusan untuk menjalani proses terapi rehabilitasi baik medis atau sosial di rumahsakit/lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Kondisi ini merupakan langkah maju mengingat selama ini terhadap korban penyalahgunaan narkoba dihukum dengan pidana penjara dan menjadi beban lapas/rutan sementara penanganan pihak lapas/rutan sampai saat ini masih belum maksimal. Masih sangat banyak kendala di lapangan yang belum mendapatkan jalan pemecahannya. Seperti masih belum diatur dengan jelas mengenai tanggung jawab terhadap keamanan selama korban penyalahguna menjalani masa terapi rehabilitasi di rumah sakit atau di panti rehabilitasi serta penanggungjawab biaya selama menjalani terapi tersebut.
Mekanisme pelaksanaan putusan hakimpun masih perlu petunjuk lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap korban penyalahgunaan yang menjalani proses terapi rehabilitasi. Untuk sementara diperlukan adanya regulasi terpadu antara para pemangku kepentingan untuk penanganan masalah pelaksanaan penempatan korban penyalahguna di tempat rehabilitasi.
Lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat mendukung penerapan sanksi rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. Hal itu akan mengurangi tingkat kepadatan penghuni lapas yang sudah di luar batas kewajaran. Sanksi tindakan berupa rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini lebih tepat dan efektif dibanding dengan sanksi pidana penjara. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan adanya fakta bahwa kasus penyalahgunaan sampai saat ini cenderung meningkat.
Urgensi Lembaga Pemasyarakatan dalam Pelaksanaan Rehabilitasi terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Rehabilitasi sosial terhadap narapidana pecandu narkotika di lingkungan lembaga pemasyarakatan di Indonesia memiliki urgensi yang besar dalam upaya pemulihan dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Pertama-tama, rehabilitasi sosial berperan penting dalam mengatasi akar permasalahan kecanduan narkotika dengan menawarkan pendekatan holistik yang tidak hanya menargetkan aspek fisik, tetapi juga aspek psikologis dan sosial narapidana. Melalui program rehabilitasi, narapidana dapat menerima pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan psikososial yang diperlukan untuk mengatasi ketidakmampuan mereka dan membangun kembali harga diri.
Selain itu, rehabilitasi sosial juga menjadi kunci dalam mengurangi tingkat recidivism atau tingkat kembalinya narapidana ke dalam dunia kejahatan. Dengan memberikan fasilitas rehabilitasi yang efektif, pemerintah dapat membantu narapidana pecandu narkotika untuk mengubah perilaku dan gaya hidup mereka, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan tidak lagi terlibat dalam kegiatan kriminal terkait narkotika. Ini tidak hanya memberikan manfaat bagi individu tersebut, tetapi juga untuk keseluruhan masyarakat dengan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat.
Selanjutnya, rehabilitasi sosial di lingkungan lembaga pemasyarakatan dapat membantu menciptakan sistem pemasyarakatan yang lebih humanis dan berfokus pada pemulihan daripada hukuman semata. Dengan memahami bahwa kecanduan narkotika sering kali merupakan hasil dari faktor-faktor kompleks seperti tekanan sosial dan masalah psikologis. Pendekatan rehabilitatif dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perubahan positif.
Pentingnya rehabilitasi sosial terhadap narapidana pecandu narkotika di lembaga pemasyarakatan juga tercermin dalam upaya pencegahan penyebaran dan pengendalian masalah narkotika di masyarakat luas. Dengan memberikan pendidikan dan pemahaman yang baik kepada narapidana mengenai bahaya narkotika, lembaga pemasyarakatan dapat berperan sebagai agen perubahan yang membantu mencegah penyebaran kecanduan dan tindakan kriminal terkait narkotika. Ini adalah langkah proaktif dalam menghadapi tantangan serius yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia terkait masalah narkotika.
Selanjutnya, rehabilitasi sosial memberikan kesempatan bagi narapidana pecandu narkotika untuk memperoleh keterampilan baru dan pendidikan yang dapat meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas. Dengan membantu narapidana menjadi anggota masyarakat yang produktif, rehabilitasi sosial membantu mengurangi beban sosial dan ekonomi yang mungkin dihadapi oleh keluarga dan masyarakat mereka. Dengan memberikan dukungan dalam hal reintegrasi sosial dan ekonomi, lembaga pemasyarakatan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan sosial dan ekonomi secara keseluruhan.
Terakhir, upaya rehabilitasi sosial di dalam lembaga pemasyarakatan membutuhkan dukungan finansial dan sumber daya yang memadai. Pemerintah dan lembaga terkait perlu berkomitmen untuk menyediakan anggaran yang memadai guna mendukung program rehabilitasi, melibatkan tenaga profesional yang terlatih, dan menyediakan fasilitas yang memadai. Dengan investasi yang tepat dalam rehabilitasi sosial, kita dapat menciptakan perubahan positif yang signifikan dalam kehidupan narapidana pecandu narkotika, serta menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan berempati.
Urgensi rehabilitasi sosial terhadap narapidana pecandu narkotika di lingkungan lembaga pemasyarakatan di Indonesia tidak hanya terletak pada aspek pemulihan individu, melainkan juga memiliki dampak positif yang meluas ke seluruh masyarakat. Program rehabilitasi bukan hanya merupakan tindakan responsif terhadap kecanduan narkotika, tetapi juga sebuah investasi dalam menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan berempati, rehabilitasi sosial memberikan harapan baru bagi narapidana pecandu narkotika untuk memulai kembali kehidupan mereka dengan lebih baik.
Raden Mas Dimas Pangestu
Penulis
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal
Yosua Lamsar