Publik gaduh melihat kasus yang terjadi di Karawang seorang ibu rumah tangga yang berkonflik dengan hukum akibat laporan suaminya sendiri karena dianggap melakukan KDRT Psikis, sebab dimarahi oleh si istri ketika mabuk-mabukan yang akhirnya diadili kemeja hijau. Kontan hal ini menuai tanda tanya ditengah masyarakat, bukan hanya masyarakat awam pengacara dengan julukan Celebrity Lawyers Hotman Paris sampai berkomentar bahwa Jaksa Agung perlu memerintahkan kepada Kejaksaan Karawang untuk mencabut dakwaan dan mencabut surat tuntutan. Pendapat Hotman Paris seperti di amini oleh semesta dan akhirnya Jaksa Agung sebagai jaksa tertinggi mencabut tuntutan Kejaksaan Negeri Karwang atas kasus KDRT Psikis tersebut dengan alasan berdasarkan tugas dan kewenangannya Jaksa Agung bisa mengesampingkan perkara “Demi Kepentingan Umum” atau dalam istilah hukum disebut Deponering, yang selanjutnya Jaksa Agung memeriksa 9 orang jaksa dari kejati dan kejari dan me non-aktifkan Asisten Bidang Tindak Pidana Umum, Jawa Barat yang dianggap tidak peka dan tidak sesuai dengan pedoman Jaksa Agung (KompasTV, 2021).
Kendati demikian, tentunya sangat berbahaya jika Jaksa Agung dibekali senjata ampuh untuk melakukan deponering hanya karena gejolak publik atau menjadi viral semata dalam perkara-perkara selanjutnya yang lebih besar, tentunya akan menimbulkan ketidak adilan. Sejatinya Deponering menjadi polemik karena implementasinya tidak konsisten, seperti kasus nenek Minah dan nenek Asyani yang tetap mendapatkan vonis hakim yang seharusnya dilakukan Deponering oleh Jaksa Agung namun tidak dilakukan. Sehingga dalam hal ini perlu pemahaman mendalam tentang mengesampingkan perkara demi “Kepentingan Umum” yang menjadi kewenagan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi di Republik Indonesia.
Menilik pada kasus diatas, Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim sejatinya merupakan satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana. Alur perkara dari kepolisian sebagai pintu gerbang utama dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan sampai pada penetapan tersangka yang kemudian bila berkas perkara dinyatakan P-21 (berkas perkara dinyatakan lengkap), maka akan dilimpahkan kepada kejaksaan dan masuk pada proses penuntutan dan paling akhir adalah putusan oleh hakim. Dalam kasus a quo akhirnya Jaksa Agung memutuskan untuk mencabut tuntutan JPU demi kepentingan umum, hal tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c menyebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, melihat pada bagian penjelasan pasal demi pasal disebutkan yang dimaksud dengan “Kepentingan Umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Dalam Pasal 27 ayat (2) Peratuan Jaksa Agung Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum menyatakan bahwa “Pengesampingan perkara demi kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan undang-undang Kejaksaan, hukum acara pidana dan ketentuan lain yang terkait dengan memperhatikan perkembangan hukum, rasa keadilan dan hati nurani”, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 14 huruf (h) berbunyi” penuntut umum mempunyai wewenang menutup perkara demi kepentingan hukum”, selain itu kewenangan deponering Jaksa Agung berdasarkan pada asas opportunitas juga diakui dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP bahwa “Yang dimaksud dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Asas Kepentingan Umum dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pernah dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam putusan Nomor 40/PUU-XIV/2016, para pemohon megajukan pakar hukum salah satunya Prof. Dr. Romli Atmasasmita. S.H., LL.M. yang berpendapat bahwa, Pertama, Kepentingan Umum dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang a quo tidak memenuhi asas Lex Certa dan Prinsip Proporsionalitas dan Subsideritas. Kedua, mereduksi dan menegasikan arti kepentingan umum yang sebenarnya yakni masyarakat luas, bila kepentingan umum ternyata hanya ditujukan pada individu, bila itu terjadi maka terjadi diskriminasi didalam hukum dan bertentangan dengan prinsip Equality Before the Law. Kemudian menurut termohon selaku pembentuk undang-undang dalam hal ini pemerintah memberikan argumentasi bahwa Indonesia memiliki prinsip opprotunitas sehingga Jaksa Agung bisa melakukan deponering setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Melihat pada kedua pandangan diatas bahwa hukum pidana yang menganut asas Lex Certa, Lex Scripta dan Lex Stricta menjadi loyo ketika dihadapkan pada asas opportunitas sehingga Jaksa Agung memiliki kewenangan deponering. Menurut penulis memang perlu adanya asas opprotunitas untuk menjaga marwah proses penegakan hukum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan sehingga menciderai rasa keadilan masyarakat, tindakan Jaksa Agung dalam perkara KDRT Psikis ini sudah tepat, akan tetapi yang perlu menjadi catatan disini adalah kewenangan Deponering Jaksa Agung seyogyanya ditujukan kepada perkara-perkara yang lebih besar dan memiliki dampak yang lebih luas sehingga mempengaruhi pada stabilitas nasional. Oleh karena itu, hemat penulis, kedepan dalam perkara-perkara pidana yang tidak sampai mengguncang stabilitas nasional, pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai garda terdepan harus mengedepankan asas dalam hukum pidana yaitu Ultimum Remedium bahwa hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum, bisa melalui pendekatan mediasi. Jika mediasi gagal maka bisa dilanjutkan uji kelayakan perkara secara komperhensif dengan mengedepankan prinsip kecermatan, kehati-hatian dan keadilan dengan membentuk tim eksaminasi khusus gabungan antara kejaksaan dan kepolisian untuk melakukan penelitian mendalam atas hasil penyelidikan dan penyidikan yang kemudian dijadikan dasar apakah perlu dilakukan penuntutan atau tidak.
Itmaamul Wafaa Samudra, S.H.I (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjha Mada)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal