Kejahatan yang berhubungan dengan narkotika semakin banyak jumlah dan modusnya. Beredarnya narkotika tidak sesuai dengan kebutuhan akan memperbesar potensi terjadinya penyalahgunaan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan”. Penyalahgunaan narkotika mengakibatkan permasalahan bangsa. Narkotika yang seharusnya menjadi hal baik dengan tujuan tertentu, seperti penggunaan di bidang farmasi dan ilmu pengetahuan, namun juga dapat menjadi bumerang bagi peredaran yang tidak terkontrol.
Efek ketergantungan akan fantasi kenikmatan bagi orang yang menyalahgunakan dapat berefek fatal, sehingga negara hadir dalam mengontrol peredaran dan penggunaannya melalui UU Narkotika. Dalam UU Narkotika terdapat 2 (dua) kualifikasi utama yang disebut kejahatan penyalahgunaan narkotika, yaitu penyalahguna untuk diri sendiri atau yang lebih populer dengan sebutan pecandu, dan penylahgunaan untuk orang lain yang merupakan sebagai pemilik, pengolah, pembawa atau pengantar dan pengedar. Menurut Hasil Survey yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), penyalahguna narkotika terdiri dari 59% pekerja, 24% pelajar dan 17% populasi umum lainnya. BNN merilis data angka penyalahgunaan narkotika dikalangan pelajar pada tahun 2018 mencapai 2,29 juta orang dengan generasi milenial berusia 15-25 tahun sebagai kelompok masyarakat yang rawan terpapar. Tingginya angka penyalahgunaan narkotika membutuhkan respon hukum pidana dalam memberikan pemidanaan bagi para pelaku.
Definisi penyalahguna narkotika menurut Pasal 1 angka 15 UU Narkotika adalah “orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Pasal 1 angka 13 UU Narkotika menyebutkan bahwa pecandu narkotika adalah “orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Pengaturan sanksi penyalahgunaan narkotika secara umum diatur dalam Pasal 111 hingga Pasal 148 UU Narkotika. Khusus penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, diatur pada Pasal 127 ayat (1) dengan ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 4 tahun bagi penyalahguna narkotika golongan 1, pidana penjara paling lama 2 tahun bagi penyalahguna narkotika golongan 2, dan paling lama 1 tahun bagi penyalahguna narkotika golongan 3, dengan disertai pengecualian pada ayat (3), yaitu penyalahguna merupakan sebagai korban (secara tidak langsung berstatus sebagai pecandu narkotika), wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Penjatuhan sanksi pidana bagi penyalahguna narkotika bagi diri sendiri harus sesuai dengan tujuan pemidanannya. Pemidanaan diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Beberapa teori tujuan pemidanaan yang berkembang adalah teori retibutif/absolut, teori relatif/utilitarian, teori gabungan, dan terakhir teori rehabilitatif. Pemidanaan penjara bagi pecandu narkotika mencerminkan dianutnya sistem pemidanaan berdasar teori relatif atau utilitarian. Sedangkan sanksi rehablitasi sebagai sanksi tindakan mencerminkan dianutnya teori pemidanaan rehabilitatif yang mulai berkembang dan diadopsi dalam sistem pemidanaan nasional.
Meskipun telah dibedakan klasifikasi penyalahguna narkotika sebagai pengedar dengan sebagai pecandu, masih terdapat kendala pengaturan hukum, yaitu ketiadaan pembedaan yang tegas antara Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114 ditujukan untuk mereka yang dengan sengaja menyimpan, memiliki, atau bahkan menguasai narkotika bukan dengan tujuan untuk konsumsi sendiri melainkan untuk perdagangan gelap narkotika.dengan Pasal 127 yang ditujukan bagi penggunaan pribadi. Ketiadaan pembatasan antara kedua status penyalahguna tersebut dapat merugikan bagi pencadu narkoba, sebab pengaturan dalam Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114 memuat perbuatan materiil, seperti memiliki, menguasai, membawa, membeli yang mana perbuatan tersebut juga perlu ditempuh seorang pecandu sebelum dapat mengonsumsi narkotika, sehingga hal ini akan berdampak pada terkikisnya hak pecandu untuk mendapat rehabilitasi sebagaimana diamanatkan Pasal 127 ayat (3).
Sanksi bagi seseorang yang menyalahgunakan narkotika untuk kesenangan pribadi menurut UU Narkotika menunjukkan dianutnya double track system, yaitu pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Sanksi pidana lahir dari gagasan mengapa dipaksakannya pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan, lahir dari gagasan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan. Pelaksanaan double track system dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dipilih dengan alasan penerapan sanksi pidana tunggal selama ini dianggap belum efektif dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi di Indonesia. Pecandu narkotika menurut ilmu viktimologi adalah self victimizing victims, yaitu korban sebagai pelaku, sehingga pecandu narkotika selain dapat diberikan pemidanaan penjara, juga berhak atas perlindungan atas rehabilitasi.
Diadakannya pemidanaan penjara bagi pecandu narkotika mencerminkan konsep teori relatif atau utilitarian yang menyatakan pemidanaan harus dilakukan untuk mempertahankan tata tertib hukum dan mencegah kejahatan, tetapi juga sebagai tujuan perbaikan pelaku. Sedangkan sanksi tindakan rehabilitasi mencerminkan implementasi teori rehabilitatif yang sedang berkembang, yaitu penjatuhan pidana sebagai upaya pembimbingan dan pengayoman masyarakat sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemidanaan melalui rehabilitasi sesuai dengan tujuan teori rehabilitatif yang memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti penghukuman pelaku kejahatan dapat dikatakan sebagai orang yang sakit.
Niniek Suparni mengutarakan tujuan pemidanaan adalah mencegah terjadinya suatu tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan kegiatan pembinaan sehingga menjadikannya sebagai pribadi yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang timbul akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan menciptakan rasa damai dalam masyarakat; serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan penjara maupun rehabilitasi bagi penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri mencerminkan tujuan menegakkan aturan UU Narkotika, membina pecandu agar mendaji pribadi yang lebih baik, memperbaiki keadaan dalam kehidupan bermasyarakat yang damai dengan pulihnya para pecandu, serta memulihkan rasa bersalah pecandu yang pernah terjerumus dalam bahaya narkotika.
Berdasarkan UU Narkotika, penyalahguna narkotika bagi diri sendiri atau pecandu narkotika dikenai sanksi pidana berupa penjara dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi sesuai dengan Pasal 127. Namun terdapat permasalahan substansi hukum karena ketiadaan pembatas yang jelas antara perbuatan materiil penyalahguna narkotika yang berstatus sebagai pengedar dengan pecandu narkotika. Kehadiran Pasal 127 menyiratkan bahwa subjek penyalahguna narkotika bagi diri sendiri atau pecandu narkotika sesungguhnya adalah self victimizing victims sehingga pengenaan sanksi tindakan berupa rehabilitasi merupakan perwujudan dari double track system yang merupakan progresifitas dalam menjatuhkan pemidanaan bagi pecandu narkotika.
Lefri Mikhael (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal