Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index), Indonesia pada tahun 2020 mencatatkan skor sebesar 37 dari 100 poin, serta menduduki peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari skor yang dicatatkan tahun 2019, dimana pada tahun tersebut Indonesia meraih skor 40 dari 100 poin, sekaligus menjadi pencapaian tertinggi Indonesia dalam perolehan skor Indeks Persepsi Korupsi sepanjang 25 tahun terakhir (Transparency International, Maret 2019).
Menurut Haris, korupsi di Indonesia itu terjadi di dalam pusaran arus politik, di mana menurutnya sistem partai dan pemilu di Indonesia saat ini masih memfasilitasi tumbuh suburnya praktik politik yang koruptif (kpk.go.id, Maret 2021). Hal ini diperkuat dengan data Kementerian Dalam Negeri yang menunjukan bahwa sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diberlakukan secara langsung pada tahun 2005 hingga Januari 2014, sebanyak 317 dari 524 kepala daerah telah terjerat kasus korupsi (VoA Indonesia, Maret 2021).
Sistem politik di Indonesia yang memakan biaya politik yang tinggi membuka peluang bagi kepala daerah dalam melakukan korupsi. Biaya politik yang dimaksudkan di sini mencakup segala macam biaya yang dikeluarkan untuk maju sebagai kepala daerah dalam kontestasi Pilkada, baik biaya yang diperuntukan sebagai dana kampanye, biaya yang digunakan untuk urusan non teknis, termasuk di dalamnya biaya-biaya politik yang ilegal, baik yang berupa mahar politik maupun politik uang (tagar.id, Maret 2021).
Artikel ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor tindak pidana baru (kriminogen) dari tindak pidana korupsi yang terkait dengan Pilkada, serta untuk mengetahui penjelasan atas hubungan atau keterkaitan antara Pilkada dengan tindak pidana korupsi, dilihat dari perspektif Marxist Criminology.
Istilah ‘kriminologi’ pertama kali ditemukan oleh Topinard, seorang antropolog Perancis. Secara harfiah istilah ini berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat (Topo Santoso, Eva A. Zulfa, 2001). Topo Santoso mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Sedangkan Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Deliquency, mendefinisikan kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian mengenai gejala-gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisis secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan factor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya (Topo Santoso, Eva A. Zulfa, 2001).
Merujuk pada pandangan Chambliss (1975), kausa kejahatan dalam perspektif Marxist Criminology tidak bersumber pada individu maupun nilai norma budaya, melainkan pada negara dan kepentingan politik dan ekonomi yang kemudian tertulis di dalam hukum beserta penerapannya (Sandra Walklate, 2007). Dalam kerangka teori Chambliss, kejahatan dilihat sebagai respon rasional pelaku terhadap kondisi sosial yang memang menuntutnya untuk melakukan kejahatan. Premis ini sesuai dengan pengamatan Marx, bahwa seseorang membuat pilihan tetapi tidak dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, perilaku mereka tidak ditentukan oleh rasionalitas kehendak bebas layaknya pandangan kriminologi klasik, melainkan dibatasi oleh realitas ekonomi, politik dan sosial yang terjadi (Sandra Walklate, 2007). Demikian juga dengan pandangan Quinney (1977) yang melihat perilaku kejahatan tidak sebagai kepribadian yang menyimpang (deficient personality) maupun produk dari keterampilan sosial yang buruk, melainkan sebagai ekspresi politik, ekspresi keinginan akan adany perubahan sosial (Sandra Walklate, 2007).
Andil dan peran negara dalam melembaganya kejahatan korupsi terutama yang berkaitan dengan Pilkada, setidaknya terdapat dalam tiga hal, yaitu pertama, tidak diaturnya ketentuan mengenai dana kampanye, kedua, lemahnya pengaturan sanksi bagi pelaku mahar politik maupun politik uang, dan ketiga, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku praktik mahar politik dan politik uang. Dalam konteks yang pertama, selama 16 tahun atau sejak Pilkada pertama digelar pada tahun 2005, Indonesia sama sekali belum pernah mengatur mengenai dana kampanye, padahal berdasarkan kajian Open Society of Justice Initiative, korupsi Pemilu selalu berkaitan dengan dana kampanye ilegal, baik penerimaan maupun pengeluaran yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta Pemilu dengan voters (Ade Irawan, 2014).
Sedangkan dalam konteks yang kedua, aturan mengenai larangan praktik mahar politik dapat ditemui di dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, sedangkan sanksinya terdapat di dalam Pasal 47 ayat (2), dimana sanksi yang diatur hanya berupa sanksi administratif yang diberikan kepada Partai Politik yang terlibat, berupa larangan mengajukan calon pada periode selanjutnya. Dalam Undang-Undang ini juga tidak ditemui adanya aturan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang memberikan mahar politik, sanksi hanya diberlakukan kepada Partai Politik yang menerima. Sementara itu aturan sanksi terhadap praktik politik uang terlihat lebih progresif, karena bentuk sanksi yang diatur sudah berupa sanksi pidana penjara paling singkat 36 bulan, paling lama 72 bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar sebagaimana terdapat dalam pasal 187A Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.
Dalam konteks yang ketiga, praktik mahar politik dan politik uang seringkali diibaratkan sebagai asap yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat, namun susah untuk mencari sumbernya (sukoharjo.bawaslu.go.id, April 2021). Hal ini dibuktikan dengan penelitian Muhtadi, yang menyatakan bahwa berdasarkan survei, perkiraan orang yang terlibat dalam kegiatan vote buying di Indonesia berada pada kisaran 25% hingga 33%. Pada pemilu legislatif 2014 saja, tercatat terdapat sekitar 187 juta pemilih domestik, oleh karena itu, jika jumlah pelaku vote buyer di dalam negeri berada pada kisaran 25% hingga 33%, berarti sebanyak 47 juta hingga 62 juta pemilih telah mendapatkan imbalan atas suara mereka (Burhanuddin Muhtadi, 2019). Tingginya jumlah penerima politik uang dalam data tersebut sekaligus menunjukkan lemahnya aspek pengawasan Negara dalam mencegah terjadinya praktik politik uang, yang pada esensinya merupakan tindak pidana karena dalam aturannya yang terdapat dalam pasal 187A, perbuatan ini diancam dengan sanksi pidana.
Marxist Criminology merujuk pada pandangan Chambliss dan Quinney menjelaskan bahwa kejahatan tidak bersumber pada individu maupun nilai norma budaya, melainkan pada negara dan kepentingan politik dan ekonomi yang kemudian tertulis di dalam hukum beserta penerapannya, selain itu perilaku kejahatan tidak sebagai kepribadian yang menyimpang (deficient personality) maupun produk dari keterampilan sosial yang buruk, melainkan sebagai ekspresi politik, ekspresi keinginan akan adanya perubahan sosial. Andil dan peran negara dalam melembaganya kejahatan korupsi terutama yang berkaitan dengan Pilkada, setidaknya terdapat dalam tiga hal, yaitu pertama, tidak diaturnya ketentuan mengenai dana kampanye, kedua, lemahnya pengaturan sanksi bagi pelaku mahar politik maupun politik uang, ketiga, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku praktik mahar politik dan politik uang. Yang terakhir, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Ini juga tidak ditemui adanya aturan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang memberikan mahar politik, sanksi hanya diberlakukan kepada Partai Politik yang menerima, artinya negara tidak memiliki political will yang baik dalam mengurangi kejahatan korupsi pada pemilihan kepala daerah.
Itmaamul Wafaa Samudra (Mahasiswa MIH Universtias Gadjah Mada)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal