Korban akibat kejahatan yang merendahkan harkat martabat kemanusiaan menjadi Yuridiksi ICC (Mahkamah Pidana Internasional) untuk mengadili dan menegakan Hukum Pidana Internasional, di dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional pada Pasal 5 tertuang bahwa Mahkamah Berwenang mengadili kejahatan paling serius yang terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Dilansir dari berita online Tempo bahwa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) meluncurkan penyelidikan atas kejahatan perang Israel terhadap orang-orang Palestina di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza (Tempo, 2021). Di pihak Palestina, sebanyak 2.251 orang yang mencakup 1.462 orang tewas selama tujuh pekan, menurut data PBB (BCC, 2019). Selain itu aksi pembunuhan terhadap Qossem Soleimani, Iran megajukan penuntutan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Denhag atas perilaku terorisme yang dilakukan militer AS (Tempo, 2020), selanjutnya ICC juga menyelidiki kasus kejahatan kemanusiaan extrajudicial killing yang dilakukan Presiden Filipina Duterte yang menembak mati 4000 orang pengedar narkoba (Tempo, 2018), kemudian korban kejahatan kemanusiaan yang menewaskan 33 warga sipil yang dilakukan oleh Mustafa Busayf Al-Werfali di kota Benghazi, sehingga ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap komandan senior militer Libya tersebut (Kompas, 2017), contoh yang terakhir adalah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyatakan lembaganya memiliki kewenangan menyelidiki krisis kemanusiaan yang menargetkan etnis Rohingya di Myanmar sebagai dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan, sedikitnya 700 ribu orang Rohingya mengungsi di Bangladesh sejak krisis kemanusiaan kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu (CNN Indonesia, 2018).
Berdasarkan Statuta Roma, hak tertuduh diatur dalam Pasal 67 dan hak korban tertuang didalam Pasal 68, selanjutnya berkaitan dengan studi partisipasi (Victim Participation) seperti yang ditulis oleh Charles P bahwa peranan partisipasi korban di Mahkamah Pidana Internasional masih menjadi perdebatan luas, satu pihak memberikan dukungan bahwa partisipasi korban sangatlah penting dalam pembuktian kejahatan terhadap tertuduh, di lain pihak mengatakan partisipasi korban dianggap melanggar hak tertuduh untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan cepat (Charles, 2008: 801), Menurut Christine H. Cung ICC dinilai masih mengalami problema dalam menetapkan orang berstatus sebagai korban serta mendapatkan hak berpartisipasi dalam proses persidangan memakan waktu satu tahun atau bahkan dua tahun karena banyaknya korban yang mengajukan kepada mahkamah untuk mendapatakan status korban seperti dalam kasus Dafur (DRC) dan Uganda (CAR) (Chung. 2008: 406). Oleh sebab itu, apakah partisipasi korban dalam proses peradilan di Mahkamah Pidana Internasional melanggar hak terdakwa?
Pentingnya partisipasi korban di dalam proses persidangan Mahkamah Internasional menjadi penting bahwa korban memiliki alasan pribadi untuk berpartisipasi dalam proses peradilan karena penjelasannya antara korban akibat kejahatan yang sama apalagi korban akibat kejahatan yang berbeda, negara yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda. Mahkamah Internasional bukan hanya sekedar memberikan tuntutan hak korban berupa reparasi terhadap korban melainkan melampaui itu bahwa pengalaman yang dialami secara langsung oleh diri mereka, keluarga mereka dan komunitas mereka akibat kejahatan didengarkan dimuka sidang mahkamah internasional, selain mendengarkan para korban demi terciptanya keadilan juga untuk mengenali penderitaan mereka sebagai korban, pada akhirnya melibatkan korban dalam proses peradilan bisa meletakan dasar rekonsiliasi, hal ini merupakan warisan terbesar bagi Mahkamah Internasional (Pena, 2009: 500).
Partisipasi korban di Mahkamah Internasional memiliki peranan dalam menegakkan keadilan hukum pidana Internasional, hal tersebut tertuang di dalam Pasal 68 ayat (3) yang berbunyi, “Apabila kepentingan pribadi para korban terpengaruh, Mahkamah mengizinkan pandangan dan perhatian mereka dikemukakan dan mempertimbangkan pada tahap-tahap proses perkara yang ditetapkan sebagai sesuai oleh Mahkamah dan dengan cara yang tidak merugikan atau tidak sesuai dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak memihak. Pandangan dan perhatian tersebut dapat dikemukakan oleh wakil-wakil hukum para korban di mana Mahkamah memandang tepat, sesuai dengan Hukum Acara dan Pembuktian.”
ICC juga menegaskan bahwa korban yang diakui olehnya hanya ada dua seperti yang tertuang dalam Pasal85 Statuta Roma. Pertama, Individual Person yaitu orang-orang yang menderita akibat dari suatu kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC. Kedua, Organization or Institution bahwa kekayaan organisasi atau institusi yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, amal kemanusiaan, monumen sejarah, dan fasilitas kesehatan dirugikan akibat kejahatan yang diakibatkan salah satu kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC. Prinsip umum Pasal 86 Statuta Roma bahwa korban disini juga termasuk korban kekerasan seksual anak-anak, penyandang disabilitas atau orang lanjut usia. Korban juga bisa diartikan sebagai orang yang menderita kerugian akibat kejahatan yang ditujukan kepada orang lain, seperti anggota keluarga yang terbunuh akibat kejahatan Internasional (International Criminal Court, Victim’s Booklet: 13). Oleh karena itu para korban akibat kejahatan Internasional bisa mengutarakan pandangannya di muka sidang ICC dengan mengajukan permohonan kepada panitera seperti yang diatur dalam Pasal 89 poin 1 dan 2 Statuta Roma bahwa:
“In order to present their views and concerns, victims shall make written application to the Registrar, who shall transmit the application to the relevant Chamber. Subject to the provisions of the Statute, in particular article 68, paragraph 1, the Registrar shall provide a copy of the application to the Prosecutor and the defence, who shall be entitled to reply within a time limit to be set by the Chamber. Subject to the provisions of sub-rule 2, the Chamber shall then specify the proceedings and manner in which participation is considered appropriate, which may include making opening and closing statements. The Chamber, on its own initiative or on the application of the Prosecutor or the defence, may reject the application if it considers that the person is not a victim or that the criteria set forth in article 68, paragraph 3, are not otherwise fulfilled. A victim whose application has been rejected may file a new application later in the proceedings”
Pasal tersebut menerangkan tentang mekanisme pengajuan untuk berpartisipasi di hadapan sidang, korban harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada panitera selanjutnya panitera berhak menerima salinan tersebut, kemudian diserahkan kepada kamar, selanjutnya untuk ditindak lanjuti oleh hakim. Mekanisme apa yang tepat untuk berpartisipasi di muka sidang, akan tetapi jaksa berhak menolak aplikasi yang diajukan bila mana tidak sesuai dengan kriteria yang tertuang dalam Pasal 68 ayat (3) Statuta Roma (ICC. 2013: 33).
Perihal Partisipasi Korban di dalam mekanisme proses persidangan dan mekanisme pengajuan saksi kepada penuntut umum di ICC antara korban sebagai peserta dan korban yang sebagai saksi, perbedaannya adalah (International Criminal Court, Victim’s Booklet: 14):
1. Korban sebagai peserta
2. Korban sebagai saksi
Berdasarkan pada penjelasan tersebut menegaskan bahwa peranan partisipasi korban menjadi sebuah hak bagi para korban untuk mengungkapkan pengalaman yang dialami untuk menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
Kedudukan korban dan terdakwa dalam ICC juga melibatkan prinsip Equality of arms yang menekankan, “it is only one feature of the wider concept of fair trial.” Artinya, antara korban dan terdakwa dalam satu majelis di persidangan mendapatkan masing-masing haknya. Equality of arms membawa gagasan bahwa kedua belah pihak harus diperlakukan dan dipastikan memiliki posisi yang sama secara prosedural selama digelarnya persidangan (Negri S, 2005: 513-515).
Lebih lanjut mengenai partisipasi korban, penentang konsep partisipasi korban mempercayai bahwa kepentingan korban dapat diwakili oleh penuntut umum. Kendati demikian, menurut pengalaman persidangan pertama ICC menunjukkan bahwa kepentingan korban tidak dapat disimpulkan cepat dengan keterangan jaksa, hal ini berkaitan dengan kualitas bukti yang dimiliki penuntut umum. Seperti yang diajukan jaksa pada kasus Thomas Lubanga Dyilo dari Republik Demokratik Kongo, jaksa dalam upayanya untuk mengadili Lubanga dikatakan di muka persidangan bahwa yang dilakukan Lubanga adalah konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Namun berdasarkan keterangan dari para korban menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan konflik internasional dengan bukti intervensi dan dokumentasi yang terarsip dengan baik Uganda dan Rwanda dalam konflik Ituri yang mana kejahatan tersebut benar-benar terjadi. Hakim berpendapat bahwa pernyataan korban dapat diterima dan mengubah dakwaan Lubanga. Contoh ini menunjukkan bahwa pandangan korban saling melengkapi atau kadang-kadang bisa bertentangan dengan jaksa penuntut. Bahkan dalam situasi tertentu korban sependapat dengan penasehat hukum (Pena, 2009: 501)
Selain itu, dalam persidangan Lubanga, penasehat hukum mempertanyakan kredibilitas para saksi disebabkan inkonsistensi nama-nama yang disebutkan dalam keterangan saksi. Para korban yang mewakili menjadi perhatian dalam majelis persidangan terkait dengan cara memberi nama di Kongo yang tidak konsisten.
Pada dasarnya, partisipasi korban telah memberikan kontribusi yang lebih komprehensif pada kasus tersebut, selain itu membantu hakim dalam memahami duduk perkaranya secara lebih relevan. Partisipasi korban memberikan stigma baru dalam proses persidangan, selain penderitaan. Saksi tidak mampu menghadirkan perspektif tersebut, disebabkan mereka hanyalah elemen pendukung dari penuntut umum sehingga saksi melayani kepentingan kejaksaan. Gagasan partisipasi korban menyediakan ruang bagi individu untuk mengekspresikan suara independen mereka.
McKay juga menyebutkan, “indeed, in the first major decision on victims’ participation, dating from January 2006, the Pre-Trial Chamber dealing with the situation in the Democratic Republic of the Congo (DRC) noted that the Rome Statute grants victims an independent voice and role in the proceedings and that it should not be assumed that victims would be an ally of the Prosecutor.” Korban yang berpartisipasi dalam persidangan dibedakan perannya dengan korban sebagai peserta, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 68 ayat (3) Statuta Roma. Seringkali korban yang dipanggil sebagai saksi oleh salah satu pihak dalam persidangan akan memberikan bukti-bukti yang merujuk pada bersalah atau tidaknya terdakwa. Sedangkan korban yang berpartisipasi sebagai peserta adalah sepenuhnya bersifat sukarela. Sekali lagi, dalam partisipasi korban, korban lebih mengedepankan kepentingannya dan bukan para pihak (McKay, 2008: 1). Selanjutnya, hakim akan memutuskan dalam persidangan setelah mendengarkan korban sebagai peserta dengan tidak merugikan hak-hak terdakwa atau menghalangi efisiensi persidangan (McKay, 2008: 2). Dalam partisipasi korban sebagai peserta, mereka diijinkan untuk mengekspresikan pandangan dan keprihatinan mereka, memverifikasi fakta-fakta tertentu, melindungi martabat mereka sendiri dengan memperhatikan keselamatan, dan hak mereka tidak terbatas pada menerima reparasi (McKay, 2008: 3).
Mengenai kontribusi partisipasi korban sebagai peserta, mereka dapat memberikan pernyataan pembuka dan penutup di persidangan. Selain itu, mereka dimungkinkan meminta otorisasi untuk intervensi memberikan pertanyaan pada saksi, seperti pada kasus Lubanga. Selain itu, partisipasi korban dapat memeriksa bukti apabila diizikan oleh majelis selama membantu dalam proses mengungkap kebenaran (McKay, 2008: 4).
Kesimpulannya partisipasi korban didalam proses persidangan Mahkamah Internasional menjadi penting disebabkan korban memiliki alasan pribadi untuk berpartisipasi dalam proses peradilan karena penjelasannya antara korban akibat kejahatan yang sama apalagi korban akibat kejahatan yang berbeda, negara yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda.
Mahkamah Internasional bukan hanya sekedar memberikan tuntutan hak korban berupa reparasi terhadap korban melainkan melampaui itu bahwa pengalaman yang dialami secara langsung oleh mereka, keluarga dan komunitas mereka akibat kejahatan didengarkan pada sidang mahkamah internasional, selain mendengarkan para korban demi terciptanya keadilan juga untuk mengenali penderitaan mereka sebagai korban, pada akhirnya melibatkan korban dalam proses peradilan dapat meletakan dasar rekonsiliasi, hal ini merupakan warisan terbesar bagi Mahkamah Internasional.
Dijelaskan oleh McKay, “indeed, in the first major decision on victims’ participation, dating from January 2006, the Pre-Trial Chamber dealing with the situation in the Democratic Republic of the Congo noted that the Rome Statute grants victims an independent voice and role in the proceedings and that it should not be assumed that victims would be an ally of the Prosecutor” (McKay, 2008: 1). Oleh karena itu, korban yang berpartisipasi dalam persidangan dibedakan didengarkan pendapatnya oleh hakim tanpa paksaan dan dukungan dari siapapun serta tanpa merugikan hak-hak terdakwa atau mengurangi efisiensi majelis persidangan.
Itmaamul Wafaa Samudra (Mahasiswa MIH Universtias Gadjah Mada)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal