Tepat tanggal 3 Juli 2021, Pemerintah resmi menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat se Jawa-Bali untuk mencegah meroketnya kasus Covid-19 yang melanda Indonesia, lain halnya dengan negara-negara lain menerapkan lockdown, seperti Australia. Dilansir dari covid19.go.id pertanggal 3 Juli 2021 tercatat penderita positif covid sebanyak 2.228.938 jiwa, sembuh 1.901.865 jiwa, dan meninggal dunia akibat Covid-19 mencapai 59.534 jiwa. Lonjakan yang terjadi di Indonesia menjadi perhatian dan keprihatinan pemerintah, Kementerian Kesehatan RI melansir pada 27 Juni 2021, Corona di Indonesia kembali memecahkan rekor tertinggi dengan 21.342 kasus positif corona. Kemudian sebanyak 8.024 kasus sembuh dan 409 pasien Corona meninggal dunia.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, penulis mengartikan lockdown adalah pemberhentian secara total seluruh aktifitas masyarakat dan kegiatan lainnya yang menimbulkan aktifitas dan mobilitas manusia di suatu wilayah atau teritorial tertentu, sedangkan PPKM darurat adalah pembatasan kegiatan masyarakat yang mana masih diberi kelonggaran dalam menjalankan aktifitas yang dianggap penting dan urgent untuk dilakukan maka diperbolehkan, artinya tidak memberhentikan secara total seluruh kegiatan masyarakat seperti roda perekonomian. Kegiatan ekonomi masih tetap berjalan namun dilakukan pembatasan dan pemberlakukan waktu tertentu ataupun kegiatan lain yang sesuai kriteria dalam zona Hijau masih diberi pengecualian.
Demi efektifnya penerapan PPKM Darurat maka pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri RI yang pimpin oleh Tito Karnavian membuat Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. Di dalam point Ketiga Intruksi Mendagri tersebut memuat aturan-aturan pembatasan kegiatan masyarakat diantaranya kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring/online, kegiatan di sektor non-esensial diberlakukan 100% WFH, sektor esensial seperti perbankan, perhotelan, sistem pembayaran, industri orientasi ekspor diberlakukan 50% maksimal staf melaksanakan WFO dengan protokol kesehatan yang ketat, sektor pemerintahan 25% maksimal staf WFO dengan protokol kesehatan yang ketat, sedangkan sektor logistik, energi, keamanan, petrokimia, semen, industri makanan dan minuman, industri kebutuhan pangan masyarakat dan objek vital nasional 100% WFO dengan protokol kesehatan yang ketat, kemudian supermarket, mall dan toko klontong dibatasi sampai jam 20.00, sedangkan apotik dan toko obat dibuka 24 jam, namun café dan warung makan tidak diperbolehkan makan ditempat harus dengan delivery atau take away, dan yang terakhir tempat ibadah keagamaan ditutup sementara.
Beberapa pembatasan kegiatan di atas yang tertuang dalam Instruksi Kemendagri untuk diterapkan dalam PPKM Darurat, peraturan tersebut juga memuat sanksi tegas bagi Gubernur dan Bupati/Walikota yang tidak mengindahkan dan menjalankan intruksi tersebut tertuang di bagian kesepuluh bahwa sanksi administrasi akan dilakukan sampai pada pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan Pelaku Usaha, Restoran dan pembelanjaan bisa dikenakan sanksi sampai dengan penutupan usaha. Perihal masyarakat yang melanggar PPKM Darurat juga dikenakan sanksi yang tertuang dalam UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Keterlibatan TNI-Polri dalam menerapkan PPKM Darurat, apakah memiliki kewenangan menegakan hukum pidana, dan Sanksi pidana dalam UU karantina kesehatan maupun UU terkait apakah menjadi ultimum remedium atau primum remedium mengingat PPKM saat ini bersifat darurat?
Keterlibatan Kepolisian dalam penerapan PPKM darurat ini, melalui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo direspon dengan cepat Intruksi Kemendagri karena tertuang dalam Poin Enam bahwa Gubernur, Bupati dan Wali Kota didukung penuh oleh TNI, Polri, dan Kejaksaan dalam mengkoordinasikan dan mengawasi Pelaksanaan PPKM Darurat Covid-19. Sehingga Kapolri menerbitkan Surat Telegram (STR) soal Operasi Aman Nusa II Penanganan Covid-19 bernomor STR/577/VII/OPS.2/2021 yang berlaku tanggal 3 Juli 2021 jam 00.00 WIB. Dalam hal ini penulis melihat bahwa Pihak TNI, Kepolisian maupun kejaksaan hanya sebagai supporting system tenaga medis untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan Covid-19 bukan menggunakan pendekatan represif, namun dilansir dari CNN Indonesia bahwa Kadiv Humas Polri menuturkan bahwa tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaan kegiatan, yang melawan petugas dan sebagainya bisa dikenakan dengan UU KUHP atau bisa dikenakan sanksi pidana. Dalam hal ini seperti dalam Surat Telegram sebelumnya oleh Kapolri Idham Aziz dengan Nomor ST/3220/XI/KES.7/2020 tanggal 16 November 2020 dalam surat tersebut tercantum pasal-pasal yang dijadikan acuan pasal 65 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHP, Pasal 216 dan Pasal 218 KUHP bagi masyarakat. Pihak Kepolisian, TNI dan Kejaksaan seharusnya memposisikan dirinya sebagai supporting system yang lebih mengedepankan konsep pengayoman, perlindungan dan edukasi atau memberikan informasi berkaitan dengan bahaya Covid-19 di tengah masyarakat. Jangan sampai pihak kepolisian justru menjadi algojo di tengah masyarakat, sehingga menimbulkan efek kontra produktif karena yang diharapkan adalah upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya Covid-19, menerapkan protokol kesehatan, dan penerapan PPKM darurat ini secara efektif, artinya sanksi pidana yang dituangkan di dalam UU Karantina Kesehatan, UU lain yang terkait, maupun yang tertuang dalam Surat Telegram Kapolri benar-benar dijadikan Ultimum Remedium (sarana terakhir).
Selanjutnya keterlibatan TNI dalam PPKM darurat ini tidak memiliki dasar untuk melakukan penindakan kepada masyarakat karena memang fungsi tugas dari TNI merupakan alat pertahanan negara yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, sehingga TNI hanya memiliki tugas pokok yaitu melakukan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, sehingga TNI tidak diperkenankan melakukan penindakan bagi pelanggar kekarantinaan kesehatan, dalam hal keterlibatan TNI dalam PPKM darurat saat ini, murni sebagai supporting system Gubernur dan Bupati/Wali Kota untuk melakukan pencegahan, penanggulangan, perbantuan melakukan edukasi, memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan PPKM demi segera keluar dari wabah Covid-19.
Kesimpulannya adalah Keterlibatan TNI-Polri dalam penerapan PPKM darurat yang dimulai pada tanggal 3 Juli 2021 tidak menjadi alat represi di tengah masyarakat. Intruksi a quo menyebutkan bahwa pelibatan TNI, POLRI dan Kejaksaan hanya sebagai supporting system dalam pelaksanaan PPKM darurat bukan sebagai alat-alat penegakan hukum pidana belaka, dalam hal undang-undang karantina kesehatan atau UU terkait yang memuat ketentuan pidana menjadi ultimum remedium bukan primum remedium meskipun PPKM saat ini bersifat darurat, sehingga kebutuhan masyarakat pada saat ini utamanya adalah langkah-langkah preventif seperti terus melakukan sosialiasi, edukasi dan vaksinasi sehingga penularan Covid-19 bisa diredam secara cepat.
Itmaamul Wafaa Samudra (Mahasiswa MIH Universtias Gadjah Mada)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal