Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Karena itu kualitas anak tersebut sangat ditentukan oleh proses dan bentuk perlakuan terhadap mereka dimasa kini (Purnomo, Gunarto, & Purnawan, 2018).
Dalam faktanya di Indonesia kasus terhadap anak mencapai 33%. Dari fakta tersebut bahwa perlunya penyelesaian kasus yang tepat sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni pelaksanaan penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum dengan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) (Hambali, 2019).
Indonesia telah diatur dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Adapun tujuan dari diversi itu sendiri adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Dewi: 2011).
Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan (Yudaningsih, 2016). Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Implementasi konsep diversi dalam praktik pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri dalam bentuk penyelesaian perkara diluar sistem peradilan pidana anak atau jalur non litigasi yang berupa penyelesaian sengketa secara muswarah kekeluargaan (restorative justice) (Aji, Pujiyono, & Rozah, 2016).
Tahap-tahap pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain:
Ketika penyidik menerima laporan adanya tindak pidana, maka langkah yang diambil adalah melakukan penyelidikan serta penyidikan. Kemudian penyidik akan menghubungi pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk berkoordinasi. Pihak Bapas akan membuat laporan penelitian masyarakat dan memberikan saran kepada penyidik untuk melakukan diversi. Atas saran dari Bapas, penyidik akan memfasilitasi untuk melakukan diversi.
Pada tahap penuntutan, penuntut umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik. Proses diversi akan dilaksanakan paling lama 30 hari. Pada proses diversi, akan dilakukan musyawarah antara anak beserta orang tua atau walinya, korban beserta orang tua atau walinya, pembimbing masyarakat, dan pekerja sosial profesional.
Dalam tahap persidangan, ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim. Diversi dilaksanakan paling lama 30 hari (Pramukti & Primaharsya, 2015).
Sedangkan di New Zealand Model pelaksanaan penyelesaian tindak pidana anank diluar peradilan diatur dalam Family Group Conference Standards are pursuant to Section 887 of the Children and Young People Act 2008, while details of Family Group Conferences are outlined in Chapter 3 of the Act (Górska & dkk, 2016). Family Group Conference (FGC) adalah pertemuan antara seseorang dengan masalah atau masalah –pusat pribadi– dan jejaring sosialnya, di mana mereka mendiskusikan masalah dan solusi yang mungkin, dan membuat rencana pembagian. Ini adalah model pengambilan keputusan yang didasarkan pada keyakinan bahwa orang memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri dan bahwa orang sentral dan jejaring sosialnya memikul tanggung jawab utama untuk masalah orang pusat dan untuk menemukan solusi untuk masalah ini (Metze & dkk, 2015).
Struktur proses di sekitar penyelenggaraan FGC bervariasi sesuai dengan model spesifik yang diterapkan dalam yurisdiksi, mereka umumnya menggabungkan empat tahap yang berbeda (Barnsdale & dkk, 2017):
a. Perjanjian antara anggota keluarga dan staf agensi bahwa rencana diperlukan untuk anak atau remaja.
b. Koordinator independen yang ditunjuk untuk bekerja dengan keluarga untuk membentuk FGC.
a. Koordinator, bersama dengan keluarga, orang muda dan pengasuh langsung mengidentifikasi jaringan keluarga (termasuk teman dekat).
b. Koordinator mengirimkan undangan dan menyetujui tempat (biasanya tempat netral seperti pusat komunitas), tanggal dan waktu FGC.
c. Para undangan yang dihubungi oleh koordinator untuk memberi tahu mereka tentang FGC tentang apa dan membahas masalah atau kesulitan apa pun.
Pemberian informasi - Staf lembaga memberikan informasi kepada keluarga tentang anak atau remaja, sumber daya dan dukungan yang tersedia - diketuai oleh koordinator. Jika dalam konteks keadilan pemuda, anak muda itu dapat mengakui atau menolak tuduhan itu.
FGC selanjutnya dapat diadakan untuk meninjau kembali bagaimana rencana itu bekerja dan, jika perlu, membuat rencana baru.
Berangkat dari penjelasan di atas maka perbandingan Tindak Pidana Anak Diluar Peradilan Pidana Antara Indonesia Dengan New Zealand dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perbedaan dan persamaannya. Berikut penjelasannya.
Tabel. 1.1 Perbedaan Tindak Pidana Anak Diluar Peradilan Pidana Antara Indonesia Dengan New Zealand
|
Perbedaan Tindak Pidana Anak Diluar Peradilan Pidana |
Indonesia |
New Zealand |
|
Sumber hukum |
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak |
|
|
Penyebutan |
Diversi |
Family Group Conference (FGC) |
|
Pengertian |
Pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana |
Pertemuan antara seseorang dengan masalah atau masalah –pusat pribadi– dan jejaring sosialnya, di mana mereka mendiskusikan masalah dan solusi yang mungkin, dan membuat rencana pembagian |
|
Pihak yang terlibat |
Polisi, jaksa, hakim lembaga terkait |
Keluarga, termasuk keluarga dekat dan keluarga besar, serta professional |
|
Prose penyelesaian |
Dapat diselesaikan pada tiap tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan |
Melalui beberapa tahap yaitu referensi, persiapan, pertemuan, meninjau ulang rencana |
Tabel.1.2 Persamaan Tindak Pidana Anak Diluar Peradilan Pidana Antara Indonesia Dengan New Zealand
|
Persamaan Tindak Pidana Anak Diluar Peradilan Pidana |
Indonesia |
New Zealand |
|
Tujuan |
Kedua negara meletakan tindak pidana anak diluar pidana sangatlah penting karena menjauhkan anak dari peradilan serta masa depan anak |
|
|
Pihak yang terlibat |
Kedua negara meletakan orang tua sebagai orang yang harus terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. |
|
Mohamad Syarhan (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal