Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan suatu upaya penanggulangan yang sangat serius melalui sarana politik kriminal baik melalui pendekatan penal yang bersifat menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif), maupun pendekatan non-penal yang bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif), ataupun gabungan keduanya (Arief, 2008: 77-78). Apabila penerapan suatu peraturan perundang- undangan tidak dilakukan secara integral dan tidak diikuti dengan upaya sistemik lainnya, maka penegakan hukum yang merupakan bagian integral dari kebijakan perlindungan masyarakat (social-defence) dalam rangka mensejahterakan masyarakat (social-welfare) akan menjadi berkurang maknanya di dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bertitik tolak dari pandangan yang demikian itu, tulisan sederhana dan sangat singkat ini akan berusaha mengulas tentang berbagai ide/ konsepsi mengenai integral policy dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi sebagaimana telah diamanatkan dalam berbagai statement dokumen Internasional (Kongres PBB), maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional.
Hasil Konvensi PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) sejak Kongres ke-5 Tahun 1975 di Jenewa s/d Kongres ke-11 di Bangkok Tahun 2005, telah merekomendasikan bahwa penanggulangan korupsi harus ditempuh dengan pendekatan secara integral (komprehensif), baik preventif, represif dan edukatif. (We recognize that comprehensive and effective crime prevention strategies can significantly reduce crime and victimization. We urge that such strategies address the root causes and risk factors of crime and victimization and that they be further developed and implemented at the local, national and international levels, taking into account,inter alia, the Guidelines for the Prevention of Crime).
Menurut berbagai Konvensi PBB, strategi yang sangat mendasar (the basic strategy) dalam penanggulangan kejahatan mencakup 2 kata kunci (Arief, 2016: 2) :
1. Penanggulangan Kausatif, yaitu mengeliminir sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
2. Pendekatan Integral (komprehensif), yaitu menempuh upaya pencegahan kejahatan tidak secara simplistik dan fragmentair, tetapi dari berbagai pendekatan/ kebijakan sosial (aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, agama, moral dsb).
Salah satu statement Kongres PBB terkait pendekatan integral ini, terlihat antara lain dalam Deklarasi Wina Kongres PBB ke-10 (2000): "Comprehensive crime prevention strategies at the international, national, regional and local levels must address the root causes and risk factors related to crime and victimization through social, economic, health, educational and justice policies" (Dokumen A/CONF.187/15, 10th UN Congress Report, Prevention of Crime and The Treatmenf of Offenders, 2000).
Menyangkut penanggulangan tindak pidana korupsi melalui upaya pencegahan, dalam konferensi ketiga PBB di Doha tanggal 9 s/d 13 Nopember 2009 yang lalu dari 4 resolusi yang dihasilkan, ternyata masalah pencegahan masih mendapat perhatian yang serius dari peserta konferensi, hal itu terlihat dari 4 resolusi yang dihasilkan tersebut, masalah pencegahan ditempatkan pada urutan kedua setelah kajian mekanisme penanggulangan tindak pidana korupsi, dapat dilihat dari urut-urutan resolusi sebagai berikut:
1. Resolusi Mekanisme Pengkajian (UN
2. Resolusi Tindakan Pencegahan (UN
3. Resolusi Pengembalian aset (UN
4. Resolusi Bantuan Teknis (UN Resolution
Resolusi Tindakan Pencegahan mengamanatkan pembentukan interim open ended working on prevention (kelompok kerja tidak tetap mengenai pencegahan) yang mempunyai tugas mengembangkan dan mengakumulasi pengetahuan tentang pemberantasan korupsi, memfasilitasi pertukaran informasi, pengumpulan, penyebaran dan mempromosikan best practices (praktek terbaik) dalam mencegah korupsi.
Beberapa dekade memang masalah yang terkait dengan pencegahan sudah tersentuh, tetapi masih bersifat institusional, belum dilakukan secara lintas sektoral dan komprehensif terhadap berbagai faktor yang selama ini menstimulus terjadinya korupsi.
Memang harus disadari bahwa sanksi pidana yang tajam dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak bisa menjamin dapat menurunkan perilaku yang koruptif dari masyarakat. Tumbuh suburnya perilaku koruptif tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan karena dorongan sekalangan masyarakat sendiri yang ingin mendapatkan pelayanan tidak prosedural dan ingin serba instan dalam setiap interaksi terkait dengan kepentingan usaha atau pribadinya.
Beranjak ke analisis berikutnya, bahwa inventarisasi upaya non penal (tindakan preventif) dalam produk legislasi nasional yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagai penyeimbang upaya penal (tindakan represif) hingga saat ini adalah nampak sebagai berikut:
Program anti korupsi nampak dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berwenang untuk:
a. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
b. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.
Pemberian kewajiban ini nampak dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk:
a. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
b. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
c. Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Implementasi peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi pada era sekarang ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berikut ini:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Sementara itu menurut Marwan Effendy, tindakan pencegahan yang telah dilakukan selama ini antara lain dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik, seperti pembentukan one stop sevice (pelayanan satu atap), tetapi dalam tataran implementasinya pelayanan satu atap, masih terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut karena belum tuntas dan terintegrasinya program Single Identification Number (SIN), sehingga masih terbuka celah penyimpangan dan penyalahgunaan dari pihak yang berwewenang dan yang berkuasa (Effendy, 2011: 11).
Perlu menjadi catatan pula, bahwa dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, resolusi pencegahan itu bukan hanya untuk sektor publik namun juga meliputi juga sektor swasta. Pencegahan korupsi dalam sektor swasta inilah yang tampaknya masih perlu dikembangkan di Indonesia.
Dengan demikian ke depannya, seharusnya secara lintas sektoral tindakan pencegahan sifatnya mutlak dan perlu diimplementasikan oleh aparat publik sebagai penyedia pelayanan umum, oleh pelaku usaha (swasta), dan oleh masyarakat. Serta di sisi lain, tindakan represif juga tetap ditegakkan oleh para penegak hukum secara cermat dan selektif apabila korupsi itu merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Akhirnya demi paripurnanya analisis ilmiah ini, patut penulis kemukakan pandangan Sudarto yang menyatakan bahwa “penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik perbuatan- perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie)” (Sudarto, 1986: 132). Sehingga dengan meminjam istilah ilmiah (dari Sudarto) tersebut, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tidak bisa hanya mengedepankan kebijakan yang bersifat penal semata-mata (represif) yang ditujukan terhadap onrecht in actu, tetapi harus dilakukan secara integral dan sistemik dengan kebijakan non-penal (preventif) terhadap onrecht in potentie. Apabila pendekatan Integral yang demikian itu tidak juga kunjung diaplikasikan, maka kita tidak dapat berharap banyak bahwa korupsi dapat ditanggulangi secara tuntas.
Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal