Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sebagaimana diformulasikan dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 (selanjutnya dibaca UU PTPK), tersusun ke dalam suatu sistematika sebagai berikut:
1. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1),
2. Bab II Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 s/d 20),
3. Bab III Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 21 s/d 24),
4. Bab IV Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Pasal 25 s/d 40),
5. Bab V Peran Serta Masyarakat (Pasal 41 s/d 42),
6. Bab VI Ketentuan Lain-Lain (Pasal 43),
7. Bab VI A Ketentuan Peralihan (Pasal 43 A),
8. Bab VII Ketentuan Penutup (Pasal 43 B).
Bertitik tolak pada sistematika tersebut di atas, menariknya terdapat 1 (satu) delik yang termasuk dalam Bab III mengenai Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi, yakni delik merintangi penyidikan dalam perkara korupsi. Oleh karena itu, tulisan ini fokus membedah formulasi delik tersebut dengan pisau analisis yang bertumpu pada 3 masalah dasar (the three basic problems) hukum pidana yaitu:
(1) Tindak Pidana;
(2) Pertanggung Jawaban Pidana/ Kesalahan; dan
(3) Sanksi Pidana.
Delik merintangi penyidikan dalam perkara korupsi, secara khusus sejatinya terlihat dalam formulasi Pasal 21 UU PTPK berikut ini:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Mencermati formulasi ketentuan Pasal 21 tersebut, maka unsur-unsurnya dapat diuraikan berikut ini:
d. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan;
e. Terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Dilihat dari formulasi ketentuan Pasal 21 tersebut di atas, maka perbuatan pidana atau tindak pidana (delik) menurut pasal tersebut bukan korupsinya, akan tetapi adalah perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan perkara korupsi. Oleh karena yang dirintangi pelaku adalah proses penegakan hukum perkara korupsi (termasuk penyidikan yang termuat di dalamnya), dan ada tidaknya perbuatan merintangi itu juga tergantung pada ada tidaknya proses penyidikan dalam perkara korupsi, maka Pasal 21 tersebut disebut tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
Sementara itu, unsur “setiap orang” sebagai subjek tindak pidana dalam formulasi pasal 21 UU PTPK, menurut pandangan Mahrus Ali adalah bisa siapa saja karena makna setiap orang tidak menunjuk kepada pelaku tertentu seperti polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat, anggota DPR, Presiden, Menteri, Pegawai Swasta dan pihak-pihak lain (Ali, 2013: 209).
Kendatipun formulasi Pasal 1 angka
Hal tersebut menunjukan adanya kelemahan formulasi dari Pasal 21 UU PTPK ini, apalagi ketentuan formulasi yang ada Pasal 20 UU PTPK tampaknya terbatas untuk Tindak Pidana yang dikualifikasikan sebagai “Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana tercantum dalam Bab II UU ini serta diperluas sampai kepada “setiap orang yang melanggar ketentuan UU yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam UU ini” sebagaimana telah diformulasikan dalam Pasal 14.
Menarik sekali dengan mencermati uraian di atas, berarti dapat dikatakan bahwa ketentuan yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap
Analisis berikutnya terkait masalah “kesalahan”, maka kita bisa melihat dalam formulasi kata “sengaja” pada Pasal 21. Adapun yang dimaksud dengan “sengaja“ tidak dijelaskan dalam Undang-Undang, akan tetapi berdasarkan pengertian Ilmu Hukum Pidana sebagaimana yang dituangkan dalam MvT bahwa yang dimaksud sengaja adalah pelaku menghendaki dan mengetahui (WILENS EN WETENS). Selanjutnya bahwa “menghendaki” artinya adalah terdapat akibat yang diharapkan atau diinginkan dari tindakan yang dilakukannya itu, dan “mengetahui” artinya bahwa sipelaku sebelum melakukan suatu tindakan sudah menyadari bahwa tindakan tersebut seandainya dilakukan akan membawa
Sementara itu, jika kita melihat formulasi (sanksi) pidana dalam ketentuan Pasal 21 UU PTPK dapat dianalisis sebagai berikut:
1) Strafsoort (jenis pidana): penjara dan denda;
2) Strafmaat (berat ringannya pidana/ volume pidana): penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun dan atau denda minimal Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
3) Sistem perumusan ancaman pidana:
· Sistem kumulatif-alternatif (gabungan): terlihat dari frasa
· Sistem minimum khusus: terlihat dalam frasa … dipidana dengan pidana penjara paling singkat …. dan atau denda paling sedikit …..
Sehubungan dengan dianutnya model minimum khusus dalam perumusan ancaman pidana pada Pasal 21 UU PTPK ini, yang menarik adalah bahwa ancaman pidana minimum khusus dalam pasal tersebut diakumulasikan dalam 2 (dua) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan denda.
Kendatipun demikian, hakikinya penggunaan model minimum khusus yang demikian juga dapat dipandang sebagai pemberatan pidana. Dengan sistem ini, undang-undang bukan hanya menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan hakim, tetapi juga minimumnya. Hal ini untuk membatasi kemerdekaan hakim yang memang dirasakan terlalu leluasa untuk menjatuhkan pidana antara minimum umum dan maksimum umumnya. Namun demikian, yang patut digaris bawahi adalah bahwa pengaturan dan penggunaan pidana minimum khusus dimaksudkan untuk menghindari disparitas pidana.
Sementara itu, secara umum dalam KUHP (WvS) sebenarnya juga telah diatur perbuatan yang berkaitan erat dengan “perbuatan merintangi penyidikan dalam perkara korupsi”, yakni terlihat dalam formulasi Pasal 216 KUHP (WvS). Adapun Pasal 216 termasuk dalam Buku II Bab VIII Tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum, yang berbunyi:
Mencermati berbagai uraian dalam tulisan ini, akhirnya yang patut diperhatikan adalah bahwa dalam penerapan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 harus dengan cermat memperhatikan unsur-unsur yang telah diformulasikan dalam pasal tersebut, yang menentukan apakah suatu delik dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan merintangi penyidikan dalam perkara korupsi atau tidak. Karena pasal tersebut merupakan pasal yang cukup krusial, sehingga dalam penerapan juga harus hati-hati agar tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal