Belum lama ini kita digemparkan dengan tindakan kepala daerah yang melakukan perselingkuhan. Dalam berita terbaru diketahui bahwa Bupati Kantingan Ahmad Yantenglie di Kalimantan Tengah (Kalteng) tertangkap basah berselingkuh dengan istri anggota Polri. Sang Bupati tersebut setelah tertangkap basah langsung menjalani pemeriksaan di Markas Polisi Reserse Kantingan. Adapun diketahui pula bahwa perselingkuhan antara sang Bupati Kantingan Ahmad Yantenglie langsung diketahui oleh suaminya si wanita tersebut. Tak pelak kondisi ini pula turut mencoreng wajah perpolitikan Indonesia, karena bagaimanapun juga kepala daerah adalah tokoh panutan rakyat dan merupakan hasil dari proses pemilihan langsung (Pilkada langsung). Terkait dengan hal ini, bagaimanakah dari sisi Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan peraturan-peraturan lainnya?
Ditinjau dari Sumpah/Janji Kepala daerah
Sebagaimana diketahui pula, kepala daerah adalah pejabat negara. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 122 huruf m Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu pejabat negara adalah bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil Walikota. Sehingga dalam hal ini sama sepertihalnya gubernur dan wakil gubernur yang juga disebutkan dalam pasal yang sama. Kemudian sebagaimana lazimnya, sebelum menjalani jabatan maka tiap kepala daerah pun mengucapkan sumpah/janji. Adapun terkait hal tersebut, dalam Pasal 61 UU Pemda diatur bahwa kepala daerah sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus- lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa".
Dari rumusan sumpah/janji di atas dapat dipahami bahwa seorang kepala daerah (dalam konteks ini Bupati Kantingan), ketika dilantik menjadi bupati telah mengucapkan sumpah/janji bahwa dia akan memenuhi kewajibannya sebagai Bupati Kantingan dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak dapat dipisahkan antara kewajiban sebagai pribadi maupun kewajiban sebagai Bupati. Dengan demikian maka kewajiban Ahmad Yantenglie untuk hidup berkeluarga termasuk melakukan pernikahan dan perceraian pun harus sebaik-baiknya dan seadil- adilnya. Sehingga atas perilakunya
Hal yang kedua dari bunyi sumpah/janji jabatan bupati tersebut di atas adalah “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Dalam kaitannya dengan kasus Bupati Kantingan tersebut, undang-undang yang dimaksud antara lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Melihat ketentuan dalam KUHP, perselingkuhan atau perzinahan adalah orang yang melakukan perzinahan di mana salah seorang dari pria atau wanita atau keduanya dalam status sudah kawin. Artinya, zina dalam hukum positif dianggap sebagai suatu tindak pidana karena ia menodai sucinya perkawinan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Bupati Kantingan dalam hal ini tidak menjalankan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP dengan selurus-lurusnya. Sehingga dalam hal ini pula maka adalah jelas bahwa Ahmad Yantenglie dapat dinilai melanggar Pasal 61 UU Pemda terkait dengan sumpah jabatan.
Ditinjau dari Pasal-Pasal Lainnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam kaitannya dengan pelanggaran sumpah/janji dari seorang bupati dalam kejadian perselingkuhan ini, kiranya terkait pula dengan Pasal 76 ayat (1) huruf g UU Pemda, yang menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: ...g. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya”.
Lebih lanjut pula terdapat Pasal 78 ayat (2) huruf c UU Pemda, yang menyatakan:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: ... c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah; Sehingga berdasarkan Pasal 76 ayat
Selanjutnya terkait dengan proses dan mekanisme pemberhentian, diatur dalam Pasal 80 UU Pemda dengan ketentuan yakni pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Menteri, karena untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun pendapat DPRD tersebut diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
Implikasi Pemberhentian Kepala Daerah
Bilamana terjadi kondisi di mana kepala daerah diberhentikan dengan mekanisme yang telah dijelaskan di atas, maka selanjutnya untuk menghindari kekosongan posisi kepala daerah tersebut, berlakulah Pasal 173 dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015 (UU Pilkada). Dalam pasal 173 dinyatakan bahwa bilamana kondisi ini terjadi maka kekosongan posisi kepala daerah ini diisi oleh wakilnya, dalam konteks di Kabupaten Kantingan ini maka Wakil Bupati Kantingan. Polanya adalah DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Gubernur untuk
Saran kedepan
Perlu kiranya ada gagasan untuk membentuk Peraturan Perundang- undangan mengenai etika bagi setiap pejabat negara. Undang-Undang ini guna menghindari kondisi-kondisi seperti ini terjadi ke depannya. Dibentuknya undang-undang mengenai etika bagi setiap pejabat negara diperlukan karena kondisi ini banyak terjadi bukan hanya di Kabupaten Kantingan tapi juga di wilayah/daerah lain di Indonesia. Diharapkan kejadian yang serupa tidak muncul lagi dan kehidupan berdemokrasi tidak semakin tercoreng dengan adanya kejadian ini.
Achmadudin Rajab ( Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Tarra Kadita Dewanti
Jubair
Yusuf Randi
Rizka Khanzanita