Alinea empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 disebutkan, “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia…” frasa ini mengisyaratkan bahwa Indonesia akan berdasarkan UUD sebagai hukum tertinggi, artinya Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Undang- Undang merupakan salah satu wujud dari hukum. Ada dua pasal yang berhubungan dengan pembuatan undang-undang yang berhubungan dengan pokok bahasan yaitu: Pasal 20 UU NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 22A UU NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Undang-undang organik sebagai pelaksanaan amanat Pasal 22A tersebut adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menghapus Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang- undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Artinya cara dan metode pembuatan undang-undang sudah pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, termasuk juga mengikat DPR dan Presiden.
Berdasarkan situs resmi DPR RI (http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas) diketahui pembahasan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2015-2019. Tulisan ini akan membahas ketidaksesuaian pemberian nama RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.
Sejarah KUHP
KUHP merupakan peraturan peninggalan kolonial Belanda yang masih berlaku. Berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa segala peraturan perundang- undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Nama asli KUHP adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dirubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau disebut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
Awalnya KUHP hanya berlaku untuk pulau Jawa dan Madura, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 73
Ketentuan pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang- undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. Artinya pengelompokkan KUHP dalam buku, bab, bagian, dan paragraf sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Ketentuan Nama Undang-Undang
Pasal 64 Undang-Undang Nomor
(5) Pada nama Peraturan Perundang- undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah; (6) Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya; (7) Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah; (8) Pada nama Peraturan Perundang-undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang dicabut; dan (9) Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang yang ditetapkan menjadi Undang- Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang.
Nama RUU KUHP
RUU tentang KUHP telah disampaikan Presiden kepada Ketua DPR RI dengan surat nomor R-35/Pres/06/2015 tanggal 05 Juni 2015. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam kata pengantar Draft Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatakan bahwa pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik. Kebijakan pembaharuan hukum pidana yang baru salah satunya bertujuan dekolinisasi KUHP warisan kolonial. Artinya RUU KUHP akan menjadi undang-undang baru, bukan hanya perubahan undang-undang sebelumnya. Sehingga berlaku ketentuan pembuatan nama undang-undang baru.
Penulisan judul RUU KUHP sudah sesuai dengan ketentuan yaitu ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca dan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan. Namun terdapat satu hal yang menarik untuk dibahas yaitu tentang penyebutan namanya. Ketentuan tentang nama Peraturan Perundang-undangan baru adalah dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan satu kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan
Nama lengkap RUU KUHP adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penggunaan frasa “Kitab Undang-Undang” tidak sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dengan penjelasan sebagai berikut: Pengunaan frasa “Kitab Undang- Undang” menjadikan nama undang- undang tersebut menjadi tidak singkat karena dengan dihilangkan frasa tersebut tidak menghilangkan maknanya. Agar namanya singkat cukup dinamakan “Hukum Pidana” saja karena secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isinya.
Alasan penghilangan kata “Kitab” maupun kata “Undang-Undang” adalah sebagai berikut. Kata kitab mempunyai arti yang sama dengan buku, sedangkan penggunaan buku dalam pembuatan peraturan perundang-undangan adalah untuk mengelompokkan muatan materi undang-undang, bukan untuk namanya. Secara historis Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 menyebut Wetboek van Strafrecht dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun nama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 adalah Peraturan Hukum Pidana, tidak mengunakan kata “Kitab”. Pengunaan kata kitab merupakan terjemahan dari wetboek yang merupakan peningalan kolonial Belanda, sedangkan tujuan pembuatan undang-undang hukum pidana yang baru adalah dalam rangka dekolonisasi KUHP warisan kolonial.
Kata undang-undang tidak tepat digunakan untuk nama karena undang- undang berdasarkan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah jenis peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dan diatas peraturan pemerintah. Selain itu dalam judulnya, sebelum nama, juga sudah disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan ini adalah undang-undang, bukan peraturan yang lain, kemudian nomor dan tahun diundangkannya.
Menurut penulis, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan nama RUU KUHP tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena kata atau frasanya tidak singkat. Selain itu, pengunaan kata “kitab” bukan untuk nama sebuah undang- undang tetapi untuk mengelompokkan muatan materi. Kata “undang-undang” adalah jenis peraturan perundang- undangan dan tidak perlu disebutkan karena judul, selain nama sudah terdiri dari jenis peraturan, nomor, dan tahun diundangkan. Sehingga diusulkan nama yang sesuai ketentuan bukan RUU KUHP tetapi RUU tentang Hukum Pidana.
Agus Suharsono (Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal