Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, dan professional serta berkesinambungan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan lembaga negara yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan apapun.
Namun dalam perkembangannya, kinerja dari KPK dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang berbeda dengan ketentuan Hukum Acara Pidana, kelemahan koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, permasalahan penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK.
Politik Hukum RUU KPK
RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) sudah masuk dalam Prolegnas sejak Tahun 2011 melalui keputusan DPR RI No.02B/DPR/II/2010-2011. Kemudian masuk kembali pada Prolegnas Tahun 2015-2019, prioritas Tahun 2016 pada urutan 37 dimana Draft RUU dan Naskah Akademiknya disiapkan oleh DPR RI.
Selanjutnya DPR RI melakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dibahas secara intensif dan mendalam oleh PANJA dalam konsinyering tanggal 8 Februari 2016.
Hal-hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian disepakati dalam Rapat PANJA, secara garis besar adalah berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilaksanakan pada tanggal 10Februari 2016, disetujui oleh 8 fraksi terdiri atas PDIP, GOLKAR, PAN, PKB, PPP, PKS, NASDEM, DEMOKRAT dan satu fraksi yang menolak yaitu fraksi GERINDRA.Direncanakan akan di Paripurnakan sebagi usul inisitif DPR RI.
Paripurna di DPR dengan salah satu agenda dalam rapat tersebut adalah pengesahan RUU UU KPK mengalami penundaan atau tidak jadi dibahas sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini oleh Pimpinan DPR menyatakan bahwa Pimpinan DPR memang bertemu Presiden di Istana untuk membahas kelanjutan revisi UUKPK. Hasil pertemuan Presiden Jokowi dan DPR sepakat pembahasan revisi UU KPK ditunda. Pertimbangannya, materi revisi UU KPK harus disempurnakan dan disosialisasikan kepada publik.
Kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan revisi ditunda karena masih ada penolakan publik terkait dengan revisi empat poin revisi masih perlu sosialisasi. Keberadaan badan pengawas, penyidik independen, penyadapan, semua perlu pematangan berpikir, perlu sosialisasi,
RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) merupakan momok yang menakutkan bagi setiap partai politik yang ingin merubahnya. RUU KPK merupakan jantung bagi lembaga KPK untuk bekerja, jadi setiap partai politik yang ingin merubah/merevisi RUU tersebut akan selalu dibayang-bayangi adanya prasangka untuk melemahkan lembaga KPK. Apabila RUU KPK dipandang perlu untuk diubah/direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka untuk kedepan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Draft RUU dan Naskah Akademik disiapkan oleh Pemerintah dan disusun oleh KPK itu sendiri yang mengusulkan materi muatan apa yang perlu diubah untuk menunjang kinerja dari lembaga KPK tersebut agar lebih optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Apabila kesepatakan politik tersebut dapat dilaksanakan maka keberadaan RUU KPK sudah sesuai dengan peruntukannya dan tidak ada unsur-unsur yang dapat melemahkan kinerja lembaga KPK. Selain itu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga harus disesuaikan dengan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Eka Martina Wulansari (Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI dan Tenaga Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (UNPAM))
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal