Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK
Oleh :
Ahmad Jazuli*
Naskah diterima: 18 Februari 2016; disetujui: 10 Maret 2016
Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar sehingga diperlukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif, dan fokus. Sesuai amanat Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut, KPK mengambil peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi dengan melibatkan institusi penegak hukum lainnya serta lembaga pemerintah ditambah lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya. Dalam rangka optimalisasi pemberantasan korupsi maka perlu dilakukan koordinasi secara intensif. Koordinasi akan berjalan secara optimal ketika semua pihak memiliki Road Map masing-masing namun tetap merupakan bagian dari upaya nasional terkait pemberantasan korupsi secara terintegrasi. (roadmap KPK tahun 2011-2023)
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memasuki jilid II setelah pernah digulirkan oleh pemerintah pada tahun 2015,dan pada tahun 2016 UU ini telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas), Setidaknya, ada 6 fraksi (Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura) yang mengusulkan revisi UU KPK
Jika Mengacu pada roadmap KPK tahun 2011-2023, maka eksistensi KPK diarahkan agar terwujud Sistem Integrasi Nasional yang dimplementasikan pada Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Namun fakta yang mengemuka terjadi semacam “gugatan” tentang eksistensi KPK dan segala kewenangannya sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU KPK tersebut. Usaha revisi UU KPK ini tentu saja menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan. Pihak yang pro mengatakan bahwa revisi dilakukan untuk memperkuat kinerja KPK, namun pihak yang kontra beranggapan bahwa revisi justru akan melemahkan kinerja KPK. Jika melihat pada realita yang ada mengapa revisi UU KPK menimbulkan pro-kontra antara pemerintah-DPR dengan sebagian masyarakat (ICW, pemerhati masalah korupsi, dll), karena beberapa sebab, antara lain: revisi yang dilakukan tidak disertai dengan naskah akademik, padahal Undangundang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan mengatur penyertaan naskah akademik dalam pengajuan rancangan peraturan, keberadaan naskah akademik bisa menjadi koridor pembahasan revisi UU. Sebagai contoh saat DPR mengajukan revisi UU KPK dengan membatasi masa kerja selama 12 tahun. Saat itu, dalam naskah akademik dijelaskan kajian yang mendukung atau menjadi dasar hal tersebut yaitu belum rampungnya penyelesaian RUU KUHP dan KUHAP, padahal KUHP dan KUHAP adalah acuan
Ada beberapa catatan mengenai pasal-pasal mana yang akan direvisi, yaitu : pertama aturan penyadapan yang diatur dalam Pasal 12A-12F. Aturan tersebut terkait dengan mekanisme dalam melakukan penyadapan beserta perizinan. Dengan keberadaan dewan pengawas setidaknya dapat mengontrol kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan.Kedua, keberadaan dewan pengawas diatur dalam Pasal 37A hingga 37F. Pasal tersebut mengatur pembentukan Dewan Pengawas, pengangkatan dan pemberhentian anggota, hingga tugas pokok fungsi dan kewenangannya.Ketiga, ketentuan yang mengatur pengangkatan penyidik dan penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 43, 43A, 43B, 45, 45A, dan 45B. Intinya, penyelidik berasal dari Polri yang diperbantukan pada KPK dengan masa tugas minimal 2 tahun.Pasal 40 menjadikan payung hukum KPK dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pasal 40 menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Terlepas dari pro-kontra, maka hendaknya revisi UU KPK harus dilakukan secara utuh dan komprehensif karena keberadaannya yang dinilai sangat bermanfaat bagi pemberantasan korupsi di tanah air. Tidak ada satu pun naskah akademik yang dapat dirujuk dan dijadikan dasar untuk mempertukarkan gagasan pasal yang direvisi mengindikasikan revisi UU KPK hanya untuk melemahkan KPK.
Dalam pandangan Indonesia
Terkait dengan penyadapan, maka dikhawatirkan akan menghambat operasi penyelidikan dan penyidikan jika dilakukan secara terbuka dan orang yang ditengarai terlibat tindak pidana bakal melarikan diri.Revisi yang dilakukan harus mengarah pada soal struktur organisasi, khususnya penambahan deputi di bidang supervisi monitoring dan koordinasi antar lembaga untuk mendorong Kepolisian dan Kejaksaan menjadi lebih maju.
Persoalan penyadapan sebenarnya bukan hanya dilakukan KPK, namun juga kejaksaan dan kepolisian. Oleh karenanya aturan penyadapan mestinya tidak saja diatur khusus untuk KPK, tetapi semua lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Ini berarti ada UU khusus yang dapat diterapkan bagi semua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan, seperti di Belanda. Dilihat dari sudut pidana, tindakan penyadapan masuk dalam tahap penyelidikan dan bersifat tertutup. Sementara pencegahan belum masuk dalam tahap penyelidikan sehingga KPK sejatinya tak menginginkan adanya operasi penangkapan, sepanjang tidak ada perbuatan korupsi/terindikasi korupsi. Namun begitu, perlu diperjelas siapa pihak yang melakukan pengawasan. Yang pasti, bila terdapat lembaga dewan pengawas, mesti terbebas dari intervensi manapun, khususnya pengawasan di bidang penyadapan.
Terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sebenarnya ada strategi lain yang bisa dilakukan untuk menghentikan perkara dengan tidak melanggar UU, misalnya, ketika seorang tersangka sakit keras dan tak dapat dilanjutkan perkaranya, maka dapat diminta penetapan penghentian perkara melalui pengadilan atau koordinasi antar lembaga penegak hukum (Kepolisian atau Kejaksaan). Artinya kepolisian atau kejaksaanlah yang dapat menghentikan perkara dengan menerbitkan SP3. Seharusnya revisi UU KPK dilakukan secara terbatas, mulai keberadaan dewan pengawas, prosedur penyadapan, kewenangan menerbitkan SP3 dan pengangkatan penyidik independen. [http://www.hukumonline.com]
KPK mensyaratkan untuk mengharmonisasikan UU KPK dengan yang lainnya apabila ingin dilakukan revisi, karena hal ini juga sejalan dengan Intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Ada hal yang menarik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam berbagai media, bahwa revisi yang dilakukan selama untuk memperkuat kinerja KPK, maka pemerintah akan terus mendukung, namun jika revisi yang dilakukan hanya untuk memperlemah kinerja KPK, maka pemerintah akan menarik diri. Hal ini menunjukan komitmen Jokowi sebagai representatif pemerintah dan harapan dari rakyat yang mendukungnya untuk terus menegakan hukum terhadap tindakan korupsi.
Walaupun usaha untuk merevisi UU KPK saat initerus berjalan, namun ada upaya yang terus dilakukan oleh KPK agar kinerjanya dalam penegakan hukum kasus korupsi terus meningkat, seperti: membangun sinergi dengan Kejagung RI, melalui fungsi koordinasi dan supervisinya dan juga dengan Komisi Yudisial (KY). KPK dapat mem-backup Kejaksaan tatkala penanganan perkara yang ditangani Kejaksaan mengalami kebuntuan atau menghadapi perlawanan balik para koruptor (corruptor fight back). Sebagai tindak lanjutnya, maka Memorandum of Understanding (MoU) antar institusi penegak hukum (Kejaksaan, KPK, dan
Melihat pada fenomena tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu kita cermati agar revisi UU KPK tidak sampai kebablasan apalagi sampai melemahkan kinerja KPK, yaitu: adanya konflik kepentingan antara fraksi di DPR pemerintah dengan KPK itu sendiri; masih belum ada kesepakatan dan kesepahaman mengenai pasal-pasal yang akan direvisi; serta belum adanya naskah akademik yang menjadi bahan kajian agar revisi tersebut didukung selama dilakukan untuk layak dilakukan. Dan revisi UU KPK perlu memperkuat kinerja KPK.
*
Peneliti Pertama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Balitbang Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
Ahmad Jazuli (Peneliti Pertama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Balitbang Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI)
Penulis
Raden Mas Dimas Pangestu
Justisia Aura Najwa
Pahotan Gultom
Faisal