Bagi masyarakat Tionghoa, pergantian tahun selalu dikenal bersamaan dengan pergantian shio hewan yang mengiringinya. Seperti misalnya untuk tahun 2015 ini akan diiringi oleh Shio Kambing Kayu. Shio-shio yang dikenal dalam masyarakat Tionghoa ini mempunyai arti masing-masing. Namun yang pasti, pergantian tahun dapat juga diartikan dengan adanya harapan baru yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Demikian juga dengan dunia hak kekayaan intelektual (selanjutnya disingkat HKI), tahun 2015 berarti tahun yang baru yang akan membawa perubahan, salah satunya perubahan yang diharapkan adalah pada sistem pendaftaran mereknya. Salah satu poin Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 terkait dengan HKI adalah dengan berlakunya Protokol Madrid pada tahun 2015 di negara-negara ASEAN. Protokol Madrid adalah suatu sistem pendaftaran merek internasional, dimana dengan sistem ini memudahkan pemohon dalam mengajukan aplikasi permohonan pendaftaran merek (cukup 1 aplikasi) untuk kemudian menunjuk di negara mana merek tersebut hendak memperoleh perlindungan hukum. Sistem pendaftaran merek internasional pada dasarnya ditetapkan berdasarkan dua perjanjian yaitu The Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks dan The Protocol Relating to the Madrid Agreement. Kedua sistem ini dikelola oleh International Bureau-nya WIPO (World Intelectual Property Organization). Setiap negara anggota Konvensi Paris dapat menjadi anggota dari The Madrid Aggreement atau The Madrid Protocol atau kedua-duanya.
Mengenai rencana Indonesia untuk meratifikasi Protokol Madrid menjadi isu tersendiri karena adanya pro-kontra mengenai keikutsertaan Indonesia ke dalam sistem tersebut. Namun sejatinya rencana Indonesia untuk meratifikasi Protokol Madrid sudah tidak perlu dipertentangkan lagi, tidak perlu lagi dipertanyakan untung ruginya dari penggunaan sistem tersebut, karena suka tidak suka, mau tidak mau pada tahun 2015 Sistem Protokol Madrid sudah harus diterapkan pada sistem pendaftaran merek internasional negara kita karena sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebagai kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN yang tertuang dalam cetak biru MEA 2014-2015 bahwa Protokol Madrid akan mulai diberlakukan di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia di tahun 2015.
Beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam rangka aplikasi sistem Protokol Madrid diantaranya adalah perlunya revisi undang-undang (UU) tentang merek, di mana UU yang berlaku sekarang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek) belum mengatur mengenai pendaftaran merek internasional melalui sistem Protokol Madrid. Dalam sistem Protokol Madrid perlu diketahui mengenai jangka waktu proses pengajuan permohonan dimana diatur mengenai batas waktu pemberitahuan penolakan kepada International Bureau-nya WIPO adalah sekitar 12 bulan s.d 18 bulan (dapat dilihat pada Guide to the International Registration of Marks Published by WIPO page No B.III.22). Untuk menyesuaikan dengan ketentuan ini, maka prosedur pendaftaran merek yang sekarang berlaku harus diperbaiki mengingat sistem pendaftaran merek dalam UU Merek adalah setelah permohonan masuk dan dilakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan pendaftaran merek (Pasal 13 UU Merek) selanjutnya dalam waktu 30 hari akan dilakukan pemeriksaan substantif yang diselesaikan dalam waktu paling lama 9 bulan (Pasal 18 UU Merek) untuk kemudian hasil pemeriksaan tersebut diumumkan dalam berita resmi merek (3 bulan). Jika dilihat dari ketentuan UU tersebut, dalam jangka waktu kurang dari 12 bulan seharusnya pemilik merek sudah dapat mengetahui apakah mereknya dapat didaftar atau ditolak. Namun kenyataannya pemilik merek rata-rata baru dapat mengetahui apakah mereknya dapat didaftar atau ditolak setelah lebih dari 12 bulan. Oleh karena itu, pada draft Rancangan Undang-Undang tentang Merek (RUU Merek) yang ada sekarang terhadap permohonan masuk (setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan pendaftaran merek) akan dilakukan Pengumuman dalam Berita Resmi Merek (Pengumuman berlangsung selama 5 bulan) baru kemudian setelah itu dilakukan pemeriksaan substantif merek dalam waktu paling lama 6 bulan. Jika ketentuan dalam draft RUU Merek akan dilaksanakan, maka dalam jangka waktu kurang dari 12 bulan pemilik merek akan dapat mengetahui status permohonan pendaftaran mereknya.
Hal lainnya yang menjadi catatan atas UU Merek adalah belum mengakomodir unsur atau jenis merek baru atau yang disebut dengan nontraditional marks (dalam Pasal 1 ayat (1) UU Merek hanya dikenal merek yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut). Beberapa negara telah mengenal perlindungan terhadap nontraditional marks tersebut. Nontraditional marks meliputi merek-merek selain yang telah dikenal sebelumnya, yaitu Appearance (Penampilan/kemasan), Motion (termasuk gambar bergerak, hologram dan gerakan), Shape (termasuk gambar 3 Dimensi), Sound (Suara seperti Jingle atau potongan musik atau jenis lainnya), Scent (Bau-bauan), Taste (rasa) dan Touch (Sentuhan). Dari beberapa jenis nontraditional marks diatas, beberapa perlu segera dimasukkan dalam draft revisi UU Merek (mengingat bentuk atau unsur merek tersebut sudah mulai dikenal secara luas sebagai bagian dari merek) yaitu gambar 3 dimensi, hologram, kemasan atau packaging suatu produk, jingle atau potongan musik.
Selain ketentuan-ketentuan dalam draft RUU Merek ada juga beberapa hal teknis yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan penggunaan sistem Protokol Madrid, diantaranya yaitu mengenai Klasifikasi Vienna dan juga ketentuan mengenai barang atau jasa sejenis. Kedua hal ini dirasa penting dalam membantu pemeriksa merek dalam melaksanakan tugasnya. Selain NICE Classification (klasifikasi untuk jenis-jenis barang atau jasa), terdapat pula apa yang disebut dengan Vienna Classficiation (Klasifikasi Vienna). Klasifikasi Vienna ini didasarkan pada Perjanjian Vienna (1973) yang merupakan klasifikasi internasional atas elemen gambar yang digunakan pada suatu merek. Sebagaimana NICE Classification, Klasifikasi Vienna ini membantu pemeriksa merek dalam memeriksa unsur-unsur gambar yang terdapat pada merek yang dimohonkan pendaftarannya apakah mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu (Pasal 6 UU Merek).
Lebih lanjut, adalah ketentuan mengenai barang dan/atau jasa sejenis yang sampai saat ini belum dibuat petunjuk teknisnya atau petunjuk pelaksananya (juknis atau juklak). Padahal penentuan jenis barang atau jasa sejenis ini berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan pemeriksa merek untuk mendaftarkan ataupun menolak suatu permohonan merek. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Merek yang merupakan salah satu dasar penolakan merek adalah “jika suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu atau merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.”
Selain revisi UU Merek, upaya lain yang harus segera dilakukan adalah peningkatan kemampuan sumberdaya manusia terutama yang berkenaan langsung dengan pendaftaran internasional melalui sistem Protokol Madrid. Beberapa catatan yang perlu diketahui dalam pendaftaran internasional dengan sistem Protokol Madrid ini adalah bahwa sistem ini bertujuan untuk menyederhanakan pendaftaran merek bagi para pemohon yang hendak mendaftarkan merek miliknya ke beberapa negara lain hanya dengan satu aplikasi, satu bahasa dan satu mata uang. Sebelumnya, pemilik merek yang hendak mendaftarkan merek di negara lain harus mendaftarkan langsung ke negara yang dituju tersebut. Hal ini tentunya akan merepotkan dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dengan sistem protokol madrid pendaftaran yang berliku dan mahal tersebut dibuat lebih sederhana. Pemilik merek yang hendak mendaftarkan merek miliknya, cukup menunjuk negara tujuan lain dimana merek tersebut hendak didaftarkan (designated country) lalu mengajukan permohonan pendaftaran merek internasional ke International Bureau-nya WIPO melalui Kantor HKI di negara asalnya (Country of Origin). Permohonan dengan sistem Protokol Madrid akan menggunakan 3 (tiga) pilihan bahasa yaitu Inggris, Perancis atau Spanyol. Oleh karena itu kemampuan bahasa asing (terutama ketiga bahasa yang digunakan dalam pendaftaran dengan sistem protokol madrid) bagi sumberdaya manusia yang akan berhubungan langsung juga harus dipersiapkan.
Selain itu, untuk menghindari terjadinya backlog (mengingat jumlah permohonan merek yang terus meningkat berdasarkan statistik yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal HKI (Ditjen HKI) dalam lamannya: http://www.dgip.go.id/statistik-merek) dirasa ada baiknya jika dibuat struktur baru berupa Divisi baru pada Ditjen HKI yang khusus meng-handle permohonan merek internasional baik Indonesia sebagai country of origin ataupun sebagai designation country. Selain perlu dibentuk divisi baru, hal lain yang perlu dilakukan oleh Ditjen HKI adalah menambah jumlah pemeriksa merek (saat ini hanya berjumlah kurang lebih 40 orang), pemanfaatan sistem komputer dengan optimal (misalnya dimungkinkannya pendaftaran online atau dengan elektronik) dan pembuatan sistem administrasi yang terintegrasi dan user-friendly (hal ini telah dilakukan oleh Ditjen HKI melalui uji coba penggunaan aplikasi sistem IPAS (Industrial Property Automation System untuk penerimaan permohonan merek di tahun 2012).
Jadi, ketika tahun 2015 tiba maka kini saatnya kita melaksanakan apa yang telah menjadi komitmen kita sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam rangka menciptakan ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce.
Dwi Agustine Kurniasih (Staf pada Sub.Bidang Penelitian Hukum Tidak Tertulis di BPHN)
Penulis
Tarra Kadita Dewanti
Jubair
Yusuf Randi
Rizka Khanzanita