Setumpuk pekerjaan rumah menunggu Nusron Wahid yang dikabarkan akan diangkat Jokowi menjadi ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2TKI) (Kompas 21 November 2014) menyusul Hanif Dhakiri yang telah terlebih dulu diangkat menjadi Menteri Ketenagakerjaan. BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan adalah dua lembaga yang paling bertanggung-jawab memanggul banyak harapan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang tak kunjung terwujud dari satu rezim ke rezim yang lain. Keduanya diharapkan dapat berkolaborasi menyelesaikan banyak ekses yang timbul dalam proses pengiriman TKI, seperti transaksi perdagangan manusia pada saat perekrutan dan penempatan; proses penempatan secara illegal, yang cenderung mengarah pada praktik perdagangan manusia; pelecehan seksual dan kekerasan pada masa pra- penempatan; perlakuan yang tidak manusiawi selama masa penampungan; ketidakpastian tentang upah yang akan diterima; hingga kekerasan dan penipuan pada saat pulang menuju ke daerah asal. Ekses tersebut terjadi sebagai akibat dari tidak jelasnya lembaga atau institusi yang harus bertanggung-jawab terhadap nasib para TKI.
Sejak 1970-an, secara resmi pemerintah melakukan pengerahan TKI dengan Program Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Pada 1979, pemerintah melakukan upaya-upaya langsung dan serius terkait TKI, baik pengurangan tenaga kerja tidak terdidik dan secara bertahap peningkatkan pendidikannya. Pemerintah saat ini melakukan kebijakan kuota untuk pengiriman tenaga kerja tidak terdidik selama Repelita VI. Pada 1983, pemerintah memberikan izin kepada perusahaan-perusahan untuk untuk merekrut dan mengirimkan TKI ke luar negeri. Perusahaan-perusahaan tersebut tergabung dalam organisasi yang disebut Indonesian Manpower Supplier Association (IMSA) yang dibentuk pada 1984 yang dikeal juga dengan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI). Sebelum 2004, tiada Undang- undang yang mengatur khusus mengenai TKI. Kebijakan Pemerintah yang mengatur tentang TKI diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja, yaitu: Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja; Peraturan Menteri No.5 Tahun 1988 tentang Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri; Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 44 Tahun 1994 dan Peraturan No. 5 Tahun 1995 tentang Penempatan Buruh; Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.204 Tahun 1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri; Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.104 Tahun 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.
Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri meskipun termasuk dalam hubungan ketenagakerjaan secara umum diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi memiliki perbedaan mendasar karena sudah menyangkut dengan hubungan antarnegara, sehingga TKI yang bekerja di luar Negaranya tersebut merupakan warga pendatang atau orang asing di Negara tempat bekerja. Oleh karena hal tersebut, sehingga pengaturan mengenai TKI di Luar Negeri diatur dalam peraturan perundangan-undangan tersendiri yang sebelumnya pengaturan TKI sebatas dilindungi dalam Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblaad Tahun 1887 No.8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaanya. Kemudian, Pemerintah dan DPR menetapakan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri yang ditetapkan pada 18 Oktober 2004.
Sayangnya berbagai regulasi tersebut masih belum cukup kuat mengatur mengenai tanggung jawab lembaga pengerah tenaga kerja serta mekanisme palaksanaan, serta pengawasannya. Dengan masih lemahnya bentuk regulasi yang mengatur mengenai kewajiban lembaga pengerah tenaga kerja ini maka sering terjadi penyimpangan yang pada akhirnya sangat merugikan calon tenaga kerja. Penyimpangan ini terjadi karena sanksi yang diberikan tidak terlalu jelas dan tegas.
Selain Pemerintah, Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS) adalah salah satu yang harus bertanggung-jawab atas nasib TKI. PPTKIS mempunyai kewajiban baik pada tahap pra penempatan, penempatan, maupun pasca penempatan. Dari tanggung jawab yang demikian banyak ini, terdapat beberapa tanggung jawab PTKIS yang masih bermasalahan dan perlu segera diselesaikan sebagaimana dapat diidentifikasi dalam pengkajian yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 2012 sebagai berikut:
|
|
Tanggung Jawab
dalam |
Masalah |
|
1 |
Informasi Pasar Kerja |
1. Info mengenai potensi resiko, hukum di negara setempat, kultur masyarakat negara tujuan tidak valid. 2. Informasi tidak proporsional dan hanya diberikan informasi yg menguntungkan. |
|
2 |
Pelatihan Kerja |
1. Dilakukan oleh lembaga pengerah tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga tidak memenuhi persyaratan pengguna. 2. PPTKIS tidak wajib memiliki unit pelatihan. 3. Kurikulum tidak memadai. |
|
3 |
Penempatan TKI |
Sistem penempatan membuat potensi CTKI terjerat hutang. Setiap step penempatan mengandung biaya, sementara tidak ada transparansi pembiayaan. |
|
4 |
Penampungan TKI |
1. Tempat penampungan tidak layak 2. Diekerjakan selama dalam penampungan PJTKI dengan alasan pelatihan. 3. Akses keluar ditutup 4. Kekerasan dan pelanggaran HAM. 5. Tempat penampungan menumpuk di Jakarta. |
|
5 |
Kelengkapan Dokumen TKI |
1. Pengurusan dokumen CTKI terpusat di Jakarta, sehingga memunculkan pemalsuan dokumen. 2. CTKI kurang memahami pengurusan dokumen untuk bekerja keluar negeri. 3. Suburnya eraktek percaloan dokumen CTKI |
|
6 |
Perjanjian Kerja |
1. CTKI tidak memahami isi perjanjian kerja termasuk konsekuensi hukumnya 2. Perjanjian kerja ditandatangani oleh PPTKIS dan tenaga kerja. 3. Perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna menggunakan bahasa negara setempat. 4. Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam perjanjian kerja
tidak jelas.
|
|
7 |
Perlindungan di Luar Negeri |
1. Rendahnya pengawasan terhadap TKI di Luar Negeri. 2. Kurangnya tanggung jawab PPTKIS terhadap TKI yang |
|
|
|
telah ditempatkan. 3. Kurangnya tidak ada komunikasi antara PPTKIS dengan pengguna TKI, perwakilan pemerintah RI, selama penempatan. 4. Data informasi tentang TKI yang berada di LN tidak akurat. |
|
8 |
Sertifikasi BLK Dan uji kompetensi |
Seringkali BLK memanipulasi serifikat TKI |
|
9 |
Kesehatan |
1. Terjadi pemalsuan surat keterangan sehat 2. Standar medical chekup ganda. 3. Hasil chekup di Indonesia tidak falid di negara tujuan. |
|
10 |
Asuransi dan rekening Bank |
1. TKI tidak mengetahui bahwa dirinya terdaftar dalam asuransi TKI. 2. TKI tidak memahami cara pengajuan klaim. 3. Mekanisme klaim asuransi TKI berbelit-belit. 4. Penunjukan lembaga asuransi tanpa tender, dan hanya menunjuk satu konsorsium, |
|
11 |
Kantor Pembentukan di luar negeri |
1. PTKIS tidak membuat cabang di luar negeri. 2. TKI tidaki terawasi dari kekerasan maupun hak-hak TKI yang tidak dipenuhi. 3. PPTKIS tidak ada komunikasi dengan penguna, TKI, dan perwakilan pemerintah. |
|
12 |
Melaporkan kepulangan |
1. Data kepulangan TKI tidak akurat. 2. Penanggung jawab kepulangan TKI tidak jelas. |
Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditegaskan pada Pasal 92 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini, Instansi yang melaksanakan pengawasan tersebut wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri (Pasal 93 ayat (1)). Dalam ketentuan tersebut tidak ditegaskan apakah penyelenggaraan penempatan yang dimaksud diartikan mulai dari pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan, atau diartikan secara khusus pada penempatan dalam arti ketika TKI sudah berada di negara tujuan pengiriman.
Berdasarkan ketentuan di atas, pemberian ruang bagi pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini sangat bergantung kepada kehendak politik pemerintah pusat. Kontradiksi antara kewajiban pemerintahan daerah sebagai sub sistem penyelenggara Negara dengan ketentuan-ketentuan tersebut memunculkan suatu ambiguitas mengenai peran pemerintahan daerah terhadap urusan TKI merupakan kewajiban atau pilihan. Di satu sisi pemerintahan daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai pelayan publik yang terdekat dengan masyarakat. Di lain pihak, pemerintahan daerah menghadapi batas-batas kewenangan.
Pengawasan terhadap PPTKIS oleh Pemerintah bisa dilakukan baik pada aspek administrasi maupun pidana. Aspek perlindungan hukum administrasi di sini adalah meliputi pembinaan administratif, pengawasan administratif dan sanksi administratif. Pembinaan Administratif diatur dalam Pasal 86 s/d Pasal 91, sedangkan Pengawasan Administratif diatur dalam Pasal 92 dan 93 Undang-undang No. 39 Tahun 2004. Aspek hukum pidana dalam kaitannya dengan sanksi pidana dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri adalah asas kepastian hukum (legalitas), asas pencegahan (The Precautionary principle), dan asas pengendalian (principle of restraint). Aspek hukum pidana dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, diatur dalam Bab XIII Pasal 102 s/d 104.
Beberapa agenda kerja strategis yang dapat segera dilakukan adalah: pertama, pengalihan tanggung jawab memberikan Informasi pasar kerja, pelatihan kerja dan penempatan TKI kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas tenaga kerja di tingkat Kab/Kota; kedua, memperkuat pengawasan dengan memaksimalkan peran lembaga-lembaga pengawas publik, seperti misalnya Komisi Informasi Publik dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI); ketiga, mendorong Pemerintah/Pemerintah Daerah bersama DPR RI/DPRD mengalokasikan anggaran untuk pelayanan penempatan TKI; keempat, pengurusan dokumen TKI dilakukan CTKI dengan asistensi dari petugas Balai Latihan Kerja (BLK) Pemerintah tingkat Kabupaten/Kota; kelima, menguatkan kewenangan atase ketenagakerjaan; keenam, meningkatkan kualitas dan kuantitas atase ketenagakerjaan khusunya di negara penerima TKI; ketujuh, melakukan high diplomacy untuk menekan negara-negara penerima TKI (receiving country) meratifikasi Konvensi terkait perlindungan TKI.

Arfan Faiz Muhlizi (Analis Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN))
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA