Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) merupakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang kemudian diterjemahkan secara lebih detail dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang LPP, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang LPP RRI, dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI.
Wacana permasalahan terhadap keberadaan LPP RRI dan LPP TVRI saat ini adalah: pertama, UU Penyiaran maupun Peraturan Pemerintah tersebut dianggap belum dapat mengakomodir kebutuhan lembaga penyiaran publik dalam menjawab perkembangan dan tantangan dengan lembaga penyiaran yang lain. Kedua, bentuk kelembagaan LPP RRI dan LPP TVRI sebagai badan hukum dianggap tidak jelas sehingga mengalami kesulitan dalam dukungan APBN. Ketiga, adanya pandangan tentang pendanaan LPP RRI dan LPP TVRI yang masih menggunakan mata anggaran 99 yang merupakan mata anggaran lain-lain sehingga tidak ada kewenangan bagi LPP RRI dan LPP TVRI untuk mengelola anggaran secara tersendiri mengingat LPP RRI dan LPP TVRI bukan merupakan satuan kerja secara tersendiri. Ketiga, manajemen Dewan LPP RRI dan LPP TVRI dirasakan sangat dominan dalam pengelolaan LPP RRI dan LPP TVRI serta lemah dalam mewakili kepentingan publik. Keempat, adanya fenomena Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak ditindaklanjuti dengan peraturan mengenai kepegawaian di lingkungan LPP RRI dan LPP TVRI sehingga sudah lebih dari 15 tahun belum dapat melakukan recruitment SDM kreatif.
Berdasarkan wacana permasalahan di atas, terdapat beberapa alasan yang menyatakan bahwa LPP RRI dan LPP TVRI harus dikeluarkan dari substansi dalam UU Penyiaran dan diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur tentang penggabungan antara LPP RRI dan LPP TVRI yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI). RUU RTRI merupakan luncuran dari revisi RUU Penyiaran yang bersifat kumulatif terbuka di luar daftar Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) lima tahun (tahun 2010- 2014) dan merupakan RUU usul inisiatif dari Komisi I DPR RI.
Urgensi pembentukan UU RTRI, antara lain: Pertama, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) merupakan lembaga penyiaran publik yang ditunjuk oleh UU Penyiaran dan peraturan perundangan lainnya masih belum memberikan ruang dan kepastian hukum yang jelas dengan keberadaan LPP TVRI dan LPP RRI sebagai lembaga penyiaran publik.
Kedua, esensi lembaga penyiaran publik tentu berbeda dengan lembaga penyiaran yang menganut market model yang mengutamakan economic determinism, di mana seolah-olah semua aspek tingkah laku institusi penyiaran ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi. Karena lembaga penyiaran publik diharapkan mampu menjadi media intermediary yang keberadaannya diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan.
Ketiga, tidak dipungkiri bahwa wacana penggabungan RRI dan TVRI menjadi RTRI memang sangat diperlukan. Peranan RTRI dirasakan sangat penting bagi bangsa Indonesia yakni sebagai salah satu media informasi dan juga sebagai alat pemersatu bangsa. Dapat dikatakan bahwa RTRI dipandang sebagai jembatan penghubung antar berbagai kalangan. Sebagai lembaga penyiaran publik, RTRI dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan jati diri ranah penyiaran sebagai ruang simbolik kultural di tengah trend komersialisasi dan komodifikasi. RTRI bertujuan untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai, budaya, dan jati diri bangsa, memberikan kontribusi pada pembangunan demokrasi, mengembangkan masyarakat yang informatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan citra dan daya saing bangsa. Keempat, kehadiran RUU tentang RTRI diharapkan menjadi landasan normatif bagi pengaturan mengenai Lembaga RTRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dalam rangka meningkatkan kinerjanya serta mengatasi sejumlah kendala seperti pengelolaan organisasi, pengembangan SDM, sumber pembiayaan, program siaran, dan pemancarluasan isi siaran.
Kajian terhadap Pembentukan RUU RTRI
Pembentukan RUU RTRI ini sebagai landasan penggabungan antara LPP RRI dan LPP TVRI akan berdampak ketidakkonsistenan dalam kelembagaan karena landasan filosofi dari penyiaran publik, antara lain: menyerukan suara hati nurani (calls for inner voice); menyerukan musyawarah untuk mencapai mufakat (calls for deliberation to reach a consensus); menyerukan kebebasan dalam kendali kearifan (calls for freedom with wisdom driven); menyerukan merawat peradaban bangsa (calls for caring human civilization); dan menyerukan peningkatan derajat kemuliaan umat manusia (calls for dignifying the ultimate noble of human being).
Dengan demikian bentuk kelembagaan dari LPP RRI dan LPP TVRI tidak dapat berubah menjadi bentuk lembaga lain karena kekhususannya. Misalnya diubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka kelembagaan tersebut akan bertentangan dengan landasan dari filosofi penyiaran publik.
Selain bentuk lembaganya yang khusus, pembentukan RUU RTRI sebagai dasar hukum untuk revitalisasi bagi LPP RRI dan LPP TVRI, apabila dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menyebabkan anggaran negara membengkak. Penyelenggaraan revitalisasi tersebut membutuhkan dana yang sangat besar untuk perbaikan sarana dan prasarana LPP RRI dan LPP TVRI yang sudah tua, tidak layak pakai dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Tujuan dari revitalisasi sarana dan prasarana LPP RRI dan LPP TVRI agar bisa bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta.
Oleh karena itu, revitalisasi sarana dan prasarana LPP RRI dan LPP TVRI agar bisa bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta tidak dilakukan dengan cara membentuk suatu Rancangan Undang- Undang yang akan digunakan sebagai dasar penyerap anggaran APBN secara berlebihan. Setiap undang-undang yang ideal harus memperhitungkan biaya dari suatu undang-undang apabila undang- undang tersebut akan diberlakukan. Jangan sampai suatu undang-undang dijadikan sebagai alat bagi kekuasaan dalam memanfaatkan anggaran negara secara legal untuk kepentingan kekuasaannya. Untuk itu, LPP RRI dan LPP TVRI harus bisa mandiri dalam menangani masalah intern dari LPP RRI dan LPP TVRI. Kemandirian tersebut dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat, menyewakan aset- aset, iklan layanan masyarakat dan sumbangan dari masyarakat setempat, tanpa harus membentuk undang-undang baru yang membuat lembaga baru dan struktur baru bagi LPP RRI dan LPP TVRI.
Perubahan lembaga dan struktur baru bagi LPP RRI dan LPP TVRI belum tentu sesuai dengan peruntukan dari LPP RRI dan LPP TVRI. Selain itu akan menimbulkan permasalahan baru yaitu mengenai ketidakjelasan bentuk lembaga dari LPP RRI dan LPP TVRI yang tidak sesuai dengan mata anggaran di Kementerian Keuangan, sehingga menimbukan permasalahan dalam proses penggajian SDM yang ada di LPP RRI dan LPP TVRI. Dampak lain yang ditimbulkan yaitu terhambatnya mekanisme kerja dari SDM yang ada di LPP RRI dan LPP TVRI dalam menjalankan tugasnya. Apabila hal itu terjadi maka revitalisasi terhadap sarana dan prasasarana di LPP RRI dan LPP TVRI dengan menghabiskan dana APBN yang tidak sedikit akan terbuang dengan percuma.
Eka Martina Wulansari (Perancang Undang-Undang Bagian Polhukham, Deputi Perundang-undangan, Sekretariat Jenderal DPR RI)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA