Pendahuluan
Pada era pandemi Covid-19 dewasa ini, sejak pertamakali muncul di Indonesia pada awal tahun 2020, memaksa warga Indonesia melakukan beberapa penyesuaian terhadap kegiatan kesehariannya. Pada sektor perkantoran misalnya terdapat kegiatan pergantian shift kerja dengan istilah work from home (WFH) atau bekerja dari rumah. Walapun bekerja dari rumah, adapun dari mereka yang mendapati jadwal untuk masuk ke kantor dengan kapasitas kehadiran sesuai dengan kebijakan masing-masing instansi. Terdapat keunggulan dan kekurangan terhadap metode WFH ini, selain terhindar dari kerumunan hal ini juga membuktikan bahwa nyatanya untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan itu tidak harus datang ke kantor dan dapat menghemat biaya opersaional kantor. Fenomena WFH ini juga mengakibatkan marak diselenggarakannya webminar (seminar berbasis online) dengan berbagai tema, termasuk juga di dalamnya mengenai ilmu hukum. Dengan kondisi saat ini, tentu menyelenggarakan sebuah webminar mendatangkan banyak keuntungan baik dari pihak penyelenggara maupun peserta, karena tidak perlu merogoh ongkos terlalu dalam untuk bepergian menuju ketempat diselenggarakannya seminar tersebut. Cukup dengan bermodalkan sebuah smartphone, laptop ataupun perangkat elektronik lainya yang sejenis.
Apabila melihat lebih jauh, tema yang dibawakan dalam sebuah webminar di bidang hukum sangat bervariasi. Pada perguruan tinggi misalnya, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), pada bulan November 2021 mengadakan sebuah webminar yang membahas seputar hukum pidana, tepatnya mengenai “Efektivitas Penerapan Hukuman Mati terhadap Koruptor Kelas Kakap”. Lalu setelah itu terdapat webminar lagi yang membahas mengenai “Quo Vadis Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, yang diselenggarakan bekerjasama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (IKAFH Undip). Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada November 2021 juga menyelenggarakan webminar yang membahas mengenai “Urgensi Permendikbud No. 30 Tahun 2021”. Pada ranah umum, terdapat juga media seperti Heylaw (heylaw.id), yang merupakan startup company untuk membantu dan mengedukasi soal hukum kepada masyarakat maupun praktisi, juga turut serta menyelenggarakan webminar maupun pelatihan. Hal ini dapat terlihat pada halaman Instagram Heylaw yang mengadakan webminar membahas mengenai “Trik Menghadapi Pidana Waris”. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas tema yang diusung pada penyelenggaraan webminar di bidang hukum, di dominasi dengan pembahasan yang sifatnya praktis pragmatis. Hal ini dinilai sangat wajar, mengingat keseluruhan tema yang disebutkan sebelumya merupakan hal yang pada waktu itu merupakan permasalahan yang mengemuka dan sedang tren dibicarakan oleh khalayak umum. Maka baik perguruan tinggi maupun umum menilai perlu untuk dibicarakan dan dikupas secara tuntas dalam diskusi yang bergizi secara akademik dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Namun disisi lain berdasarkan hal tersebut, bahasan mengenai hal yang sifatnya lebih keilmuan dan abstrak dirasa kurang diminati baik dari pihak perguruan tinggi maupun penyelenggara umum. Khususnya mengenai hukum tidak tertulis. Hal yang sering menjadi hambatan untuk membahas mengenai hukum tidak tertulis adalah karena bentuknya yang relatif abstrak (tidak terlihat) atau tidak tertulis. Sehingga orangpun sering merasa kesulitan untuk memahami dan mengerti terkait hukum tidak tertulis. Padahal peran hukum tidak tertulis dalam sistem hukum nasional kita tidak kalah penting untuk dibahas. Pada kesempatan ini akan membahas sekilas mengenai proyeksi hukum tidak tertulis dalam kerangka sistem hukum nasional di indonesia pada masa yang akan datang.
Pengakuan Hukum Positif terhadap Hukum Tidak Tertulis di Indonesia
Secara normatif pengakuan terhadap hukum tidak tertulis tersebar ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2019 Badan Pembinaan Hukum Nasional telah melakukan analisis dan evaluasi hukum tentang pemberdayaan hukum tidak tertulis, menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat 5 (lima) peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan dan keberlakuan hukum tidak tertulis di Indonesia, seperti (BPHN: 2019, 2-3):
Hukum Tidak Tertulis dalam Artian Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan
Setelah mengetahui bahwa ternyata dalam hukum positif kita mengakui adanya hukum tidak tertulis yang berlaku dan dipercaya oleh masyarakat kita, maka selanjutnya perlu mengetahui beberapa istilah yang sama padananya dengan hukum tidak tertulis, seperti hukum adat dan hukum kebiasaan. Sunaryati Hartono yang disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional ke-VI tahun 1994 Buku I, bahwa hukum kebiasaan disini diartikan lebih umum daripada hukum adat itu sendiri. Hukum kebiasaan muncul atau berasal dari perstiwa-peristiwa hukum yang terjadi sehari-hari, berdasarkan sebuah pengambilan keputusan yang diakui oleh masyarakat, sehingga lambat laun menjadi hukum, yang biasa disebut dengan gewoontrecht atau customary law (BPHN, 1994: 243). Bahwa hukum kebiasaan paling banyak sebenarnya berasal dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh para notaris, pengacara atau konsultan hukum. Hal ini didasarkan karena sesungguhnya kontrak berasal dari praktik dalam hukum asing, yang tanpa sengaja pengertian-pengertian hukum asing tersebut masuk ke dalam hukum kebiasaan di Indonesia (BPHN, 1994: 245). Pendapat lain seperti Moh. Koesnoe yang membedakan hukum adat kedalam 4 (empat) paham, yaitu (Sukirno, 2018: 110-111):
Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut, setidaknya dapat dipastikan bahwa memang terdapat paham yang membedakan bahwa hukum adat itu berbeda dengan hukum kebiasaan. Kemudian apabila membandingkan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang melihat dari aspek sejarah perkembangan hukum, bahwa pada dasarnya masyarakat itu mendahului adanya sebuah negara. Oleh karena itu, hukum (peraturan perundang-undangan) yang ideal adalah hukum yang sebagian besar dirumuskan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya (Rahardjo, 2014: 110). Beranjak dari pendapat Fitzgerald bahwa “kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum bagi negara”, Satjipto Raharjo menguraikan bahwa perbedaan antara hukum negara (peraturan perundang-undangan) dengan kebiasaan adalah, apabila hukum negara membadankan asas melalui kekuasaan negara yang berdaulat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan kebiasaan membadankan asas melalui penerimaan dan persetujuan pendapat umum masyarakat keseluruhan (Rahardjo, 2014: 110).
Berbeda dengan Sunaryati Hartono, Satjipto Rahardjo dapat dikatakan bahwa hukum kebiasaan itu juga termasuk di dalamnya adalah hukum adat berdasarkan pendekatan sejarahnya. Secara etimologi, istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda adatrecht, yang pertamakali dikemukan oleh Snouck Hurgronje dan dipopulerkan oleh Van Vollenhoven (Sukirno, 2018: 18). Para pakar hukum adat dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta, 15-17 Januari 1975 menyimpulkan hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama (Hadikusuma, 2014: 31). Sukirno dalam kegiatan Seminar Pembangunan Hukum Nasional yang di selenggarakan oleh BPHN pada tahun 2019 menyatakan bahwa hukum adat dalam arti sempit adalah hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota (Sukirno, 2019: 18).
Setelah membandingkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum kebiasaan maupun hukum adat termasuk golongan hukum tidak tertulis. Hukum kebiasaan belum tentu hukum adat namun hukum adat sudah pasti hukum kebiasaan.
Hukum Tidak Tertulis dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional
Telah diketahui sebelumnya bahwa secara hukum positif telah diakui mengenai keberadaan hukum tidak tertulis di Indonesia. Apabila melihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XI/2013 bahwa Pancasila menjadi dasar penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, dan merupakan materi yang penting dan mendasar, untuk diketahui dan diamalkan oleh komponen bangsa. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, menjadikan pada hakikatnya seluruh hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sukirno dalam kegiatan Seminar Pembangunan Hukum Nasional tahun 2019 yang diselenggarakan oleh BPHN, menyatakan bahwa memang terdapat interaksi antara hukum positif dengan hukum tidak tertulis khususnya hukum adat. Berdasarkan hasil penelitian AMAN, ICRAF dan Forest People Programme pada tahun 2002-2003 menyimpulkan bahwa masyarakat adat ingin diakui secara otonomi komunitasnya, termasuk tanah dan sumber daya alam dalam kerangka NKRI (Sukirno, 2019: 10-11). Pada dasarnya apabila negara mau dan mengakui masyarakat hukum adat, maka secara tidak langsung pun kita mengakui hukum adat yang dijunjung oleh masyarakat adat itu sendiri.
Usaha-usaha untuk melindungi dan melestarikan hukum adat terlihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai contoh Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menentukan hutan adat bukan lagi hutan negara, dan Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010 yang membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dimana pasal ini dinilai mengkriminalisasi masyarakat hukum adat yang mempertahankan tanah adatnya dari perusahaan perkebunan (Sukirno, 2019: 12). Adapun Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 yang memberikan ruang kepada penghayat kepercayaan untuk memiliki KTP dan KK dengan identitas kepercayaan, dan sudah ditindak lanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri khususnya Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil dengan SE No. 471.14/10666/DUKCAPIL tentang Penerbitan Kartu Keluarga (KK) bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tertanggal 25 Juni 2018 (Sukirno, 2019: 13). Seperti yang telah disampaikan dimuka bahwa, secara ius constutendum Pasal 2 RUU KUHP juga memasukan sebuah pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Terlepas pro dan kontra terkait adanya Pasal 2 RUU KUHP, hal ini tentunya patut di apresisasi, karena pembentuk RUU KUHP menilai ternyata di masyarakat kita, masih terdapat nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat adat, dan perlu digali dan dipertimbangkan ketika mengadili perkara pidana. Tentunya hukum yang hidup dan dapat menjadi acuan dalam mengadili harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, HAM dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat.
Walaupun sudah terdapat usaha-usaha untuk menguatkan hukum adat dalam kerangka sistem hukum nasional, diperlukan penelitan lebih lanjut yang secara khusus membahas mengenai hal ini. Karena tidak semua hukum tidak tertulis terutama hukum adat dan hukum kebiasaan itu sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang pada masyarkaat Indonesia. Diperlukan sebuah jalan keluar sebagai sebuah solusi atas permasalahan ini. BPHN dalam fungsinya untuk pembinaan hukum nasional, memiliki peran yang sangat besar terhadap hal ini. Karena bagaimanapun juga hukum adat atau hukum kebiasaan masyarakat Indonesia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa yang patut kita jaga dan lestarikan. Tentunya pelestarian dan integrasi dalam sistem hukum nasional diperlukan dukungan dari banyak pihak. Hal ini sulit terwujud apabila dalam pembahasan pada kegiatan akademis sangat sedikit peminatnya, baik pada kalangan akademis, praktisi hukum dan masyarakat.
Odie Faiz Guslan (Analis Hukum Ahli Pertama, BPHN)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA