Pendahuluan
Seringkali kita mengetahui di berbagai media baik cetak maupun elektronik pemberitaan mengenai adanya suatu sengketa atau permasalahan hukum di bidang medik, yang terjadi antara pasien dan tenaga medik maupun dengan manajemen rumah sakit. Adapun beberapa contoh pemberitaan yang menggambarkan adanya permasalahan hukum di bidang medik, antara lain (merdeka.com):
Beberapa berita di atas menunjukan adanya kemungkinan terjadinya suatu peristiwa hukum antara pasien dan tenaga medik, maupun rumah sakit yang berujung pada sengketa atau tuntutan pidana. Dalam tulisan ini akan berfokus terhadap dinamika yang terkait dengan sengketa medik.
Jika kita pahami pengertian “sengketa” secara etimologi yaitu sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan (kbbi.kemdikbud.go.id). Jika dihubungkan dengan hukum kontrak menurut Nurnaningsih Amriani yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan, atau dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak (Nurnaningsih, 2012).
Sengketa medis sangat mungkin terjadi dalam berbagai hubungan yang terkait dengan pelayanan kesehatan, jika kita lihat tipologi sengketa yang timbul antara lain terjadi diantara: a) Pasien/Keluarga Pasien dengan Tenaga Kesehatan yang menangani, atau b) Pasien/Keluarga Pasien dengan Manajemen Rumah Sakit. Dari tipologi tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 29 disebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Ketentuan ini menunjukan bahwa proses hukum terhadap kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga medik tidak dapat langsung di bawa dan diproses secara pidana, namun ditempuh melalui mekanisme mediasi, namun dengan adanya pengaturan ini bukan berarti meniadakan proses pidana jika memang terbukti terdapat adanya unsur tindak pidana di dalamnya, sehingga proses hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remedium atau sebagai upaya akhir dan bukan merupakan primum remedium. Sedangkan sengketa Pasien/Keluarga Pasien dengan Manajemen Rumah Sakit tidak terdapat pengaturan khusus di dalam UU Kesehatan.
Memahami Relasi Sengketa Medik dalam Transaksi Teurapeutik
Sengketa medik merupakah sengketa yang khas. Sengketa ini timbul akibat adanya transaksi terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. Pengertian transaksi teraupetik juga dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 434/MenKes/X/1893 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran bagi Para Dokter di Indonesia. Menurut peraturan tersebut transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. Berdasarkan uraian definisi transaksi terapeutik di atas, dapat dipahami bahwa transaksi terapeutik menyangkut hubungan hukum (hak dan kewajiban) antara dokter dan pasien, terutama mengenai kewajiban dokter mengupayakan semaksimal mungkin untuk melakukan penyembuhan bagi pasien dan kewajiban pasien membayar biaya penyembuhan (Suprianto, 2021).
Sengketa medik yang timbul dari transaksi teurapeutik acapkali muncul dari adanya gap informasi antara kedua pihak, seperti Pasien yang memandang bahwa hasil pengobatan yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasinya, atau adanya efek samping yang tidak diharapkan dari sebuah pengobatan, padahal jika dicermati perjanjian terapeutik merupakan sebuah perikatan “upaya”, sehingga upaya terbaiklah yang diberikan, bukan hasil terbaik yang diperjanjikan.
Pentingnya Mediator Bidang Kesehatan
Jika sengketa yang timbul lebih kepada adanya perbedaan pemahaman atau penafsiran atas suatu kejadian/peristiwa, maka lebih tepatnya dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, hal berbeda ketika memang adanya unsur pidana di dalamnya. Terhadap upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa tentu membutuhkan mediator yang mampu memfasilitasi proses mediasi, menerjemahkan perspektif medis kepada pasien, dan menerjemahkan perspektif hukum kepada dokter, sehingga proses mediasi dapat berjalan lebih baik. Namun proses tersebut harus tetap dilaksanakan secara netral, dan mediator hanya fokus pada proses dan biarkan para pihak yang menentukan hasil mediasi yang akan disepakati (Ninis, dkk, 2020: 282).
Oleh sebab itu dibutuhkan pengaturan yang ada saat ini harus di dukung dengan pengaturan yang lebih bersifat operasional untuk mengatur lebih lanjut Pasal 29 UU Kesehatan. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan pada pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ataupun mengandalkan pada kesepakatan para pihak dalam menunjuk seorang mediator, karena hubungan terapeutik menempatkan kedudukan pasien secara sosiologis, psikologis dan pengetahuan terhadap tindakan medis lebih rendah dibandingkan dengan dokter yang menanganinya.
Dengan adanya pengaturan lebih lanjut maka seorang Mediator harus memiliki pengalaman, keterampilan, pengetahuan dan kepekaan budaya untuk situasi konflik tertentu. Mediator harus dianggap objektif, tidak memihak dan berwibawa serta menjadi orang yang berintegritas (Ninis, dkk, 2020: 280). Indikator objektifitas antara lain harus bebas dari masalah benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor yang diketahuinya menjadikan pertimbangannya cenderung kepada salah satu pihak (Ninis, dkk, 2020: 280).
Apri Listiyanto (Analis Hukum Ahli Madya, BPHN)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA