Kemajuan teknologi dan informasi dengan berkembangnya berbagai situs dan media sosial menimbulkan berbagai respon positif maupun negatif. Pergaulan secara virtual kini semakin mudah melalui adanya Twitter, sebagai salah satu media sosial terpopuler di Indonesia. Berbagai isu dengan mudah dihembuskan agar dapat tersiar di berbagai sudut dunia virtual ini. Mulai dari berita kebenaran COVID-19, pertarungan buzzer politik, hingga isu suatu perbuatan kriminal. Namun kemudahan penyebaran suatu isu juga dapat membuat berbagai informasi menjadi bias bagi para pembaca. Demi mendapat spotlight, tidak jarang dengan sengaja menghembuskan isu yang tidak dapat dinilai kebenarannya. Berbagai isu kepentingan praktikal di tataran politik-ekonomi, berita apapun, termasuk yang nyata bohong, diproduksi, direproduksi, disebarluaskan, bahkan kadang dibela seolah “kebenaran”, tak jarang kebohongan terbalut sempurna sebagai kebenaran alternatif atau yang tertunda.
Era dimana segala informasi yang membanjiri kehidupan digital manusia dengan nihilnya batasan tegas yang membedakan antara fakta dan simpangsiur adalah era post-truth. Post-truth menurut yang disampaikan Ralp Keyes dalam buku yang berjudul "The Post Truth Era" adalah masa dimana kaburnya batas-batas kabur antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan nonfiksi yang terjadi di antara manusia yang dapat berakibat pada hate speech dan hate crimes. Secara umum oxford dictionaries mendefinisikan post-truth sebagai istilah yang berkaitan dengan atau merepresentasikan suatu keadaan yang mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih memegang pengaruh besar dalam pembentukan opini masyarakat dibanding fakta yang bernilai objektif. Lucunya, berefek pada media konvensional yang dianggap biasa menyebar berita inkredibel kini harus bersaing dengan media sosial dalam menyebar berita dan kebenaran. Padahal media sosial lebih tidak ketat dalam menyortir dan memverifikasi suatu kebenaran faktual sehingga dengan sendirinya media sosial menjadi platform penyebaran opini-opini cepat, hoax bahkan berita-berita bohong.
Salah satu bukti terjadinya era ini adalah munculnya fenomena diantara warganet Twitter yang gemar men-spill (menceritakan) suatu perbuatan kriminal seseorang yang masih belum jelas validitasnya. Warganet berbondong-bondong menceritakan suatu perihal tertentu yang dinantikan warganet lainnya yang “haus akan teh” dengan aroma gosip yang tak teruji kebenarannya. Menceritakan/mendengarkan perbuatan kriminal yang bahkan tidak dialami secara langsung telah menjadi budaya manusia di era digital ini. Hal ini berdampak pada terbentuknya budaya masyarakat yang seakan menjadikan Twitter sebagai the street trial bagi para terduga pelaku yang dihujat khalayak ramai. Pengungkapan peristiwa dugaan tindak pidana beserta pelakunya biasanya hanya akan menjelaskan kronologi versi sosok yang menjadi "korban" disertai mengekspos identitas dan kehidupan pribadi terduga pelaku (disebut terduga pelaku karena tidak jarang peristiwa tersebut tanpa ada pelaporan ke pihak berwajib sehingga belum dimulainya penyidikan). Subjektivitas cerita yang disampaikan melahirkan adanya ketimpangan informasi akan fakta dan kabar burung namun tetap bertendensi pada hasil memojokkan si pelaku yang disebutkan.
Perilaku kelompok yang akhirnya membentuk opini publik yang gemar judging terhadap seorang yang belum terbukti kebenarannya menimbulkan suatu budaya hukum main hakim sendiri (eigenrich), baik secara daring maupun dapat berakibat pada perbuatan fisik secara langsung. Sistem hukum nasional, merespon fenomena dengan kriminalisasi melalui 2 corong hukum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Eigenrichting yang biasa dikenal dengan aksi sepihak atau perbuatan main hakim sendiri adalah tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang. Pada hakekatnya eigenrichting atau perbuatan main hakim sendiri merupakan pelaksanaan sanksi yang dilaksanakan secara perorangan atau gerombolan orang. Apabila perbuatan main hakim dilakukan secara langsung dan bergerombol yang mampu membuat si korban terpojok, dapat dikenakan Pasal 170 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dan bersama-sama dengan ancaman pidana penjara paling lama lima (5) tahun enam (6) bulan”.
Apabila perbuatan merugikan tersebut terjadi dalam spektrum cyber, terdapat UU ITE yang memberi batasan perilaku manusia, yang dianekdotkan sebagai UU segala masalah di dunia digital. Rangkaian cerita yang kadang berujung pada hoax menimbulkan keresahan dan membuat sebagian masyarakat merasa terancam dan bahkan memunculkan ancaman perpecahan bangsa. Terkait penyebaran berita terkait perbuatan dan pengungkapan identitas seseorang yang validitasnya dipertanyakan, terdapat instrumen Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00”.
Budaya masyarakat yang gemar mengeksploitasi kabar burung menguatkan budaya masyarakat kita yang mengarusutamakan emosi sesaat diatas kebenaran, dapat berdampak pada terderogasinya hak seorang terduga pelaku pidana. Budaya hukum sebagai satu diantara tiga komponen penting sistem hukum yang digaungkan Lawrence M. Friedman, mengarah pada bahasan bagaimana suatu masyarakat menilai, merespon, mematuhi, maupun pengetahuan masyarakat akan suatu aturan hukum dan kultur inilah yang mempengaruhi berjalannya penegakan hukum dan keadaan hukum di masyarakat. Kultur hukum ini mencerminkan rendahnya legal awareness para pihak berdampak pada pincangnya penegakan hukum di masyarakat. Masyarakat yang senang menyebarkan gosip, yang gemar memuja kebohongan, dan yang gemar main hakim sendiri menunjukkan adanya suatu ketimpangan penegakan hukum, yang diperparah dengan inkompentensi para penegak hukum yang masih terkesan santai akan adanya suatu laporan/pengaduan masyarakat. Layaknya becak beroda tiga, ketika kedua roda rusak tentu akan menyulitkan satu roda lainnya untuk dapat berfungsi maksimal. Hal ini yang menjadi narasi akan tidak bergunanya aturan hukum yang ada tanpa diimbangi aparat penegak hukum dan masyarakat yang cerdas.
Ketika hak seorang terduga pelaku terampas oleh publik tanpa adanya mekanisme yang jelas dan tanpa pertanggungjawaban, maka keadilan niscaya lenyap dan tak mampu dirasakan. Hal itu yang hendaknya harus disadari bersama bahwasanya apa yang kita lakukan dengan tanpa akuntabilitas, terlebih melalui media sosial di era post-truth saat ini, dapat merugikan orang lain yang mungkin tidak mengetahui apa yang disangkakan bahkan bukan sebagai pihak pelaku. Cara menghadapi arus informasi yang bias, menurut Cahyowati dalam artikel berjudul “Menemukan Kebenaran Pada Era Post-Truth dalam Bingkai Negara Hukum di Indonesia”, diperlukan suatu pola berpikir secara koheren dan konsisten. Koherensi merujuk pada berpikir menurut kaidah logika. Sedangkan konsistensi merujuk pada tidak adanya kontradiksi. Keduanya, koheren dan konsisten, merujuk pada kemampuan berpikir secara runtut atau runut.
Pola pikir tersebut dapat menyaring dan mempertajam keyakinan akan adanya suatu truth sehingga dapat terhindar dari pribadi yang gemar mengonsumsi suatu informasi secara mentah, yang padahal dapat merugikan diri maupun orang lain. Hendaklah budaya masyarakat yang gemar melakukan amuk massa di dunia nyata tidak turut dibawa di dunia virtual demi terbentuknya kesadaran hukum akan pentingnya hak dan kewajiban hukum dalam bersosialisasi melalui media sosial, sehingga mampu menciptakan ekosistem hukum yang baik, mampu menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan dan pemenuhan hak asasi yang kontinyu. Selain itu, hendaknya juga warganet perlu kedewasaan hukum dalam menghadapi banjirnya informasi yang tak jelas asalnya agar tidak terperangkap dalam jeratan hoax yang sama kejamnya dengan fitnah.
Lefri Mikhael (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA