Fungsi pengawasan dalam sistem self assessment yang dianut oleh perpajakan Indonesia sangat penting untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau mencapai target penerimaan negara dari sektor perpajakan. Pengawasan akan optimal jika didukung dengan akses yang luas bagi fiskus untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dengan database perpajakan yang lebih kuat dan akurat.
Mengatasi keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia dalam menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat menimbulkan hambatan bagi otoritas perpajakan dalam memperkuat database perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga efektivitas kebijakan pengampunan pajak serta memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment).
Keterbatasan tersebut terjadi karena dalam undang-undang di atas belum mampu menangkap data dan informasi keuangan wajib pajak Indonesia di berbagai negara. Sehingga melalui Automatic Exchange of Information (AEOI) merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bidang Perpajakan untuk mencegah wajib pajak Indonesia melakukan penghindaran pajak luar negeri, yang pada gilirannya akan berdampak pada upaya Pajak dalam mengumpulkan penerimaan negara dari sektor perpajakan
Fakta bahwa Indonesia telah mengadakan perjanjian internasional di bidang perpajakan wajib memenuhi komitmen untuk ikut melaksanakan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of financial account information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang tentang akses terhadap informasi keuangan untuk keperluan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017 dan apabila Indonesia tidak segera memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana illegal.
Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undanga dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU 9/2017). UU 9/2017 bertujuan untuk mengatasi keterbatasan akses otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan hambatan kepada otoritas pajak dalam memperkuat database perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga efektivitas kebijakan pengampunan pajak.
Dengan terbitnya UU tersebut, otoritas pajak memiliki amunisi tambahan untuk mengejar target penerimaan pajak, karena UU 9/2017 memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk meminta informasi dan bukti tambahan dari lembaga keuangan terkait dengan wajib pajak Indonesia yang memiliki kegiatan keuangan di luar negeri. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan mengenai akses informasi keuangan untuk keperluan perpajakan di Indonesia dalam konteks pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Information dan konsep pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara lain sesuai dengan standar internasional untuk kebijakan rahasia perbankan.
Indonesia sebagai negara berdaulat, memiliki yurisdiksi (wewenang untuk mengatur), termasuk yurisdiksi perpajakan terhadap orang, barang atau benda yang berada dalam kekuasaannya dalam hal apa yang diterima atau diperoleh warga negaranya baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia atau oleh warga negara asing yang bersumber dari Indonesia (Pohan, 2013). Yurisdiksi perpajakan tidak semata-mata karena kewenangan fisik tetapi berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan tidak terbatas pada wilayah tetapi dapat meluas kepada orang-orang yang secara fisik berada di luar kewenangan administrasi administrasi perpajakan.
Dalam hal perpajakan bagi Wajib Pajak Warga Negara Indonesia yang berada di negara lain, hal ini akan menimbulkan konflik dengan yurisdiksi perpajakan negara lain tersebut, yaitu antara lain potensi pengenaan pajak berganda bagi warga negara masing-masing negara di negara lain. Regionalisasi regional dan globalisasi ekonomi telah mendorong kerjasama ekonomi baik bilateral maupun multilateral, untuk memfasilitasi kegiatan dimaksud, diadakan perjanjian penghindaran pajak berganda/Tax Treaty (Fuady, 2013).
Secara umum, perjanjian penghindaran pajak berganda sebagai sarana untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda melalui penerapan dua aturan dasar. Pertama, hak sewa atas jenis penghasilan tertentu diberikan kepada negara sumber atau negara domisili. Hal yang sama berlaku untuk hak sewa atas kekayaan. Jadi jika berdasarkan perjanjian hak sewa sepenuhnya diberikan kepada satu negara, negara lain tidak akan mengenakan pajak sampai pengenaan pajak berganda dihindari. Terkadang negara domisili dan negara sumber berbagi hak sewa, tetapi jumlah pajak yang dipungut di negara sumber terbatas, seperti dividen, bunga, dan royalti. Kedua, jika berdasarkan perjanjian hak sewa suatu jenis penghasilan atau kekayaan tertentu sebagian atau seluruhnya diberikan kepada negara sumber, maka negara domisili harus menerapkan metode penghindaran pajak berganda yang disepakati dalam perjanjian tersebut (Surahmat, 2000)
Dalam Model PBB, pertukaran informasi dirumuskan dalam Pasal 26. Dibandingkan dengan model sebelumnya, model terbaru memiliki tambahan kata "dan khususnya untuk pencegahan penipuan atau penghindaran pajak semacam itu" di kalimat pertama. Sedangkan pada kalimat keempat dicantumkan kata “dan dimana semula dianggap sebagai rahasia di Negara pengirim”. Kata tambahan disisipkan atas permintaan negara berkembang yang ingin menegaskan bahwa pertukaran informasi dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan pajak. Ada banyak alasan kuat untuk memasukkan ketentuan mengenai pertukaran informasi dalam perjanjian internasional. Pertama, aparat perpajakan membutuhkan bantuan untuk memastikan berdasarkan data, ketentuan mana yang dapat diterapkan dalam perjanjian internasional. Kedua, dengan meningkatnya kegiatan ekonomi internasional, para pihak dalam perjanjian memiliki kepentingan yang semakin penting dalam memberikan informasi timbal balik, yang akan menjadi dasar pemungutan pajak.
Oleh karena itu, pasal yang memuat ketentuan tentang bagaimana pertukaran informasi itu mencakup seluas-luasnya dengan tujuan untuk digunakan sebagai dasar penerapan peraturan perundang-undangan dalam negeri yang tercakup dalam P3B. Wajib Pajak yang mempunyai hubungan dengan kewajiban perpajakannya di negara penerima informasi tersebut. Atau informasi tersebut dapat berupa transaksi yang terjadi antara mereka yang berada dalam satu kelompok di dua negara, yang dapat mempengaruhi kewajiban perpajakan di negara penerima sesuai dengan hukum domestik atau dengan ketentuan dalam P3B.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal Pajak melalui Pengumuman Nomor 05/PJ/2018 tanggal 4 Juli 2018 tentang Daftar Yurisdiksi Yang Berpartisipasi dan Yurisdiksi Tujuan Pelaporan Dalam Rangka Pertukaran Otomatis Informasi Rekening Keuangan menyebutkan ada 88 (delapan puluh delapan) negara yang menjadi Peserta Yurisdiksi. Integrasi data keuangan sangat penting terutama dalam meningkatkan tingkat kepatuhan pembayaran pajak, tujuannya untuk meningkatkan validitas data keuangan wajib pajak. Pihak-pihak yang terlibat dalam program ini adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ada dua poin penting yang menjadi indikator keberhasilan tindakan ini, yaitu: (1) pencatatan dan penyimpanan data keuangan wajib pajak berdasarkan Single Identity Number (SIN) dan (2) penerapan Automatic Exchange of Information (AEOI). Dengan penerapan database perpajakan berbasis SIN dan penerapan AEOI diharapkan potensi penerimaan pajak yang belum terealisasi dapat terealisasi.
Integrasi data keuangan telah dimulai pada tahun 2017 dengan Penerapan Usulan Rahasia Bank Terbuka (Akasia) di DJP dan Penerapan Rahasia Bank Terbuka (Familiar) di OJK. “Akasia” digunakan terbatas secara internal oleh pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mempercepat pengajuan proposal pembukaan data perbankan WP kepada Menteri Keuangan, sedangkan “Familiar” merupakan aplikasi internal OJK untuk mempercepat proses pemberian izin berdasarkan surat permintaan dari Menteri Keuangan. Selain aplikasi Acacia-Familiar ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional. Langkah ini merupakan bagian dari implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI) (Ditjen Pajak, 2016).
Pertukaran Informasi Otomatis di bidang perpajakan menerobos prinsip kerahasiaan bank, yang dalam beberapa hal dianggap menghambat terwujudnya keterbukaan informasi sesuai dengan kesepakatan negara-negara yang telah berkomitmen untuk bertukar informasi. Sejalan dengan komitmen tersebut, pemerintah Indonesia perlu merevisi beberapa undang-undang terkait keuangan, termasuk undang-undang perpajakan. Namun di sisi lain, pengungkapan rahasia bank juga dapat berdampak pada kepedulian masyarakat terhadap kepentingan pribadinya. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan juga merupakan elemen penting dalam perekonomian nasional. Sehingga pengungkapan rahasia bank harus dilakukan dalam koridor hukum yang ketat, dan hanya diberikan izin oleh yang berwenang dalam keadaan tertentu agar tidak mudah disalahgunakan.
Pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama AEOI dengan sejumlah negara lain. AEOI adalah perjanjian pertukaran informasi keuangan terkait pajak secara otomatis. AEOI merupakan program pertukaran informasi keuangan terkait perpajakan, yang dilakukan secara berkala, otomatis, dan menyeluruh (massal). Informasi keuangan yang dikirim adalah milik warga negara asing yang tinggal di satu negara dan dikirim ke otoritas pajak negara asal warga negara tersebut.
Dengan diberlakukannya AEOI, setiap negara dapat memperoleh informasi tentang kekayaan warganya di negara lain. Jika kemudian ditemukan harta kekayaan yang tidak dilaporkan, maka harta tersebut akan dikenakan denda yang jauh lebih besar, disertai penyidikan asal-usulnya. Kebijakan ini dinilai sebagai salah satu solusi terakhir bagi Pemerintah Indonesia setelah memberikan pengampunan pajak bagi warga negara Indonesia yang menyembunyikan hartanya di luar negeri. Dalam program ini, cakupan informasi yang dikirim telah disepakati di awal, misalnya bank di Swiss mengirimkan informasi keuangan WNI di bank tersebut ke lembaga perpajakan di Indonesia. Keberadaan AEOI akan sangat bermanfaat bagi negara-negara yang warganya banyak bekerja di luar negeri atau menyimpan kekayaan di luar negeri. Dengan sistem ini, wajib pajak didorong untuk melaporkan kekayaannya dengan benar. Jika tidak, maka AEOI akan menjadi salah satu bukti bagi negara untuk menjatuhkan denda dan sanksi terkait rekayasa kebohongan yang dilakukan warganya (Akmam, 2017).
Tjia Siauw Jan (Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung)
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji