Ekonomi kreatif menjadi salah satu sektor yang paling dinamis dan berkembang pesat di Indonesia, terutama di tengah gelombang digitalisasi global. Musik, film, seni rupa, dan bentuk ekspresi kreatif lainnya kini tidak hanya menjadi bentuk hiburan, tetapi juga komoditas ekonomi yang berharga dan menghasilkan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu figur sentral dalam ekosistem ini adalah Agnes Monica atau yang biasa dikenal sebagai Agnez Mo, penyanyi dan produser asal Indonesia yang berhasil menembus pasar global.
Namun demikian, meningkatnya popularitas juga membawa risiko, seperti karya-karya kreatif yang dihasilkan pelaku industri kreatif seperti Agnez Mo sangat rentan terhadap pembajakan, plagiarisme, dan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Di sinilah peran hukum menjadi sangat penting, seperti salah satu butir dalam Asta Cita menekankan pentingnya pelindungan hukum terhadap kekayaan intelektual sebagai upaya membangun ekonomi berbasis inovasi dan teknologi. Oleh karena itu, artikel ini mencoba mengupas bagaimana peran pelindungan hukum dalam konteks Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya dalam industri musik dan seni pertunjukan dengan mengangkat kasus yang baru-baru ini terjadi yang melibatkan Agnes Monica sebagai studi empirik.
Pembahasan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak eksklusif yang timbul dari usaha intelektual manusia yang diberikan kepada satu orang atau sekelompok orang yang mengembangkan ciptaan yang telah didaftarkan dan dapat memperoleh keuntungan finansial dari ciptaannya (Musahib, 2022). Di Indonesia, pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual tersebar dalam berbagai undang-undang, dengan fokus pada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang meliputi karya musik, lagu, dan pertunjukan. Hak cipta memberikan hak moral dan hak ekonomi kepada pencipta atau pemegang hak (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, 2014). Hak moral yang diberikan dapat berupa pengakuan sebagai pencipta dan tidak dilakukan hal-hal yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi pencipta, sedangkan hak ekonomi yang diberikan berupa royalti.
Di era digital, pelindungan hak kekayaan intelektual semakin kompleks karena karya dapat didistribusikan, diubah, dan dikomersialkan dengan cepat melalui media digital, termasuk oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Di sisi lain, pada Asta Cita ditekankan pentingnya membangun ekonomi nasional berbasis inovasi dan kreativitas, yang harus didukung dengan sistem hukum yang tangguh, adil, dan berpihak kepada warga negara yang berkarya. Dengan demikian, ekonomi kreatif bukan hanya sekadar sektor ekonomi, tetapi juga merupakan bagian integral dari identitas dan budaya bangsa serta dapat mewujudkan cita-cita untuk menjadi bangsa yang berdaya saing dan sejahtera di masa yang akan datang (Saputra, 2025).
Pada Juni 2024, pertama kali mencuat ke publik dugaan pelanggaran hak cipta oleh Agnez Mo yang dilaporkan oleh Ari Bias sebagai pemegang hak cipta atas lagu “Bilang Saja” ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri (Gabriela et al., 2025). Kuasa hukum Ari Bias, Minola Sebayang, menyampaikan Agnez Mo membawakan lagu ciptaan kliennya dalam tiga acara konser berbayar tanpa izin resmi dari pencipta lagu maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sebelum sampai ke jalur hukum, Ari Bias sempat menyampaikan penolakannya secara terbuka terhadap penggunaan lagunya oleh Agnez Mo melalui akun media sosial pribadinya dan mengirimkan surat somasi kepada pihak penyelenggara konser, yaitu HW Group dan PT Aneka Bintang Gading, sebagai bentuk peringatan dan upaya mediasi. Namun pihak Ari Bias tidak memperoleh tanggapan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak Ari Bias akhirnya melayangkan gugatan dan mengklaim bahwa kerugian yang dialami akibat penggunaan tanpa izin atas lagu tersebut mencapai sedikitnya Rp 1,5 miliar berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 9 ayat (2) dan (3).
Setelah proses hukum yang berjalan sejak gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada akhirnya memutuskan bahwa Agnez Mo terbukti melakukan pelanggaran hak cipta dan majelis hakim menyatakan bahwa lagu “Bilang Saja” digunakan oleh pihak tergugat tanpa izin yang sah dalam tiga konser yang digelar pada Mei 2023. Melalui akun media sosial pribadinya, Agnes Mo menegaskan posisinya dan mengatakan akan terus memperjuangkan kebenaran. Ketua Komisi Hukum DPR buka suara mengenai putusan majelis hakim dalam sengketa tersebut, “Padahal dia cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah event.” Ketua Komisi Hukum DPR pun meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran atau pedoman ihwal penerapan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta beleid lain sehubungan dengan hak kekayaan intelektual lain.
Hasil putusan tersebut banyak menimbulkan perdebatan publik, terutama karena mempertimbangkan posisi Agnez Mo yang hanya sebagai penyanyi, bukan penyelenggara acaranya langsung. Namun, menurut Pasal 9 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
Penggunaan karya dalam konser berbayar tanpa izin dari pencipta atau LMKN dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak eksklusif yang melekat pada pencipta dan Agnez Mo sebagai pihak yang membawakan lagu di ruang publik dengan keuntungan ekonomi termasuk dalam cakupan larangan tersebut. UU Hak Cipta tidak mengecualikan pelaku pertunjukan dari kewajiban hukum, terutama jika mereka memperoleh keuntungan dari penggunaan karya tanpa izin. Ini sesuai dengan asas umum dalam hukum kekayaan intelektual, yaitu “Siapa pun yang memanfaatkan secara komersial suatu ciptaan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.”
Dari sisi Ari Bias tentu saja ini merupakan langkah positif dalam penegakan pelindungan hak cipta dan memberikan bukti kuat bahwa penggunaan tanpa izin akan berdampak hukum. Namun, dari sisi Agnes Mo yang merupakan pelaku pertunjukan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah penyanyi wajib mengecek lisensi setiap lagu yang akan dinyanyikan dalam acara yang dikelola oleh pihak ketiga dan apakah tanggung jawab tersebut seharusnya dibebankan pada penyelenggara acara. Karena setelah adanya kasus Agnes Mo, mulai banyak pencipta lagu lain yang ikut melakukan gugatan terhadap lagu ciptaannya.
Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas, studi kasus tersebut menjadi dasar pertimbangan yang penting dalam penegakan hukum hak cipta di Indonesia. Putusan tersebut menunjukkan bahwa pengadilan konsisten dalam melindungi hak pencipta, namun juga menunjukkan perlunya regulasi teknis yang lebih jelas mengenai batas tanggung jawab antara penyanyi, penyelenggara acara, dan pemilik hak cipta agar penegakan hukum berjalan adil, proporsional, dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku pertunjukan. Serta dalam setiap pertunjukan, penting adanya perjanjian tertulis antara penyelenggara acara dan penyanyi terkait siapa yang bertanggung jawab atas lisensi lagu-lagu yang akan dibawakan. Dengan hal itu juga menunjukkan bahwa masih banyak pelaku industri kreatif belum memahami bahwa membawakan lagu di ruang publik termasuk aktivitas komersial yang wajib mendapatkan izin. Oleh karena itu, upaya dari pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN), dan komunitas terkait perlu untuk aktif melakukan edukasi publik agar pelindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual dapat berjalan secara menyeluruh.
Natasya Ayu Savira
Penulis
Caecilia Aletheia
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji
Riza Fathoni Mulyoto