Berbagai literatur dengan jelas menunjukkan bagaimana perbedaan tarif pajak menjadi insentif perusahaan multinasional dan mendorong terjadinya penghindaran pajak (Hines & Rice, 1994; Huizinga & Laeven, 2008; Clausing, 2016). Penelitian terbaru oleh Delis et al. (2025) menemukan pengaruh terbesar perbedaan tarif pada laba perusahaan yang memiliki afiliasi di negara surga pajak (tax havens). Perusahaan multinasional, melalui penetapan harga transfer (transfer pricing) di antara anggota afiliasinya, dapat menyusun dan melakukan transaksi untuk mengeksploitasi perbedaan tarif sehingga keuntungan dari anggota grup perusahaan tersebut dapat dialihkan ke entitas yang berada di negara dengan tarif pajak lebih rendah yang berujung pada penghematan pajak. Oleh otoritas pajak, praktik seperti ini direspon dengan menerbitkan berbagai instrumen anti penghindaran pajak untuk memastikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) dalam setiap transaksi afiliasi. Secara sederhana, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha mensyaratkan harga dalam sebuah transaksi afiliasi seharusnya tetap ditentukan dalam kondisi seandainya transaksi tersebut adalah transaksi antar pihak yang independen. Dengan demikian apabila harga dari suatu transaksi afiliasi tidak memenuhi prinsip ini maka otoritas pajak dapat melakukan koreksi dan penyesuaian untuk kepentingan perpajakan.
Dalam praktiknya, penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat menimbulkan perbedaan pendapat antara otoritas pajak dengan para Wajib Pajak sehingga sengketa administratif seringkali tidak dapat dihindarkan sampai pada tingkat pengadilan pajak. Dalam berbagai sengketa transfer pricing, argumentasi yang mengkaitkan antara perbedaan tarif pajak dengan risiko penghindaran pajak sering digunakan para pihak. Argumentasi ini umumnya berupaya mencari justifikasi bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dibenarkan apabila terdapat risiko penghindaran pajak yang berasal dari transaksi dengan entitas yang berada di negara dengan tarif yang berbeda dengan Indonesia. Justifikasi ini tentunya akan sangat mudah dipahami apabila lawan transaksi dari entitas domestik adalah entitas yang berada di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah dari Indonesia. Dalam kasus ini risiko penghindaran pajak akan lebih mudah dijelaskan karena ada rasionalitas dari pelaku transaksi untuk memanfaatkan rendahnya tarif pajak di negara lawan transaksi. Dengan demikian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha mendapatkan justifikasi untuk dapat diterapkan dalam transaksi ini.
Lalu bagaimana apabila ternyata lawan transaksi entitas domestik berada di negara dengan tarif pajak lebih tinggi dari Indonesia? Dalam berbagai sengketa transfer pricing seringkali muncul argumentasi dari Wajib Pajak bahwa tidak ada risiko penghindaran pajak dalam transaksi afiliasi yang dilakukannya karena lawan transaksi berada di negara dengan tarif lebih tinggi dari Indonesia (misalnya Jepang dan Korea Selatan). Karena tidak ada risiko penghindaran pajak maka penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha oleh otoritas pajak tidak lagi memiliki pijakan logis sehingga koreksi transfer pricing seharusnya dibatalkan.
Ada beberapa argumentasi bahwa prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tetap dapat diterapkan meskipun lawan transaksi berada di negara dengan tarif pajak lebih tinggi dari Indonesia. Pertama, dari sisi regulasi, Pasal 18 ayat (3) UU PPh sebagai dasar hukum utama penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak mengatur mengenai parameter tarif pajak dari negara lawan transaksi. Kalimat pertama dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa”. Sangat jelas dalam rumusan kalimat ini bahwa syarat penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah adanya hubungan istimewa dan tidak ada kaitannya dengan tarif pajak negara lawan transaksi.
Memang terdapat beberapa regulasi yang mengkaitkan risiko penghindaran pajak dengan tarif pajak yang lebih rendah dari negara lawan transaksi. Sebagai contoh pada Pasal 16 ayat (3) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 yang mengatur kewajiban penyelenggaraan dan penyimpanan dokumentasi transfer pricing jika pihak afiliasi berada di negara dengan tarif lebih rendah. Demikian pula pada lampiran Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 yang mengatur analisis risiko penghindaran pajak dalam kegiatan pemeriksaan pajak. Meskipun demikian, regulasi tersebut tidak menyebutkan bahwa apabila terjadi kondisi sebaliknya (lawan transaksi berada di negara dengan tarif lebih tinggi) maka prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak dapat digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa secara regulasi keberadaan perbedaan tarif pajak antara kedua negara tidaklah menjadi penentu penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha karena yang menentukan penerapan prinsip ini adalah adanya hubungan istimewa dari para pihak yang melakukan transaksi.
Kedua, dari sisi definisi, argumentasi penghindaran pajak melalui pengkaitan dengan perbedaan tarif perlu ditinjau kembali. Apabila penghindaran pajak selalu dikaitkan dengan perbedaan tarif maka akan menghadapi tantangan argumentasi apabila misalnya negara lawan transaksi memiliki tarif pajak yang lebih tinggi dibandingkan negara sumber penghasilan. Apabila argumentasi ini dibenarkan bukan tidak mungkin entitas domestik tidak membayar pajak penghasilan atau membayar pajak penghasilan yang sangat kecil di negara sumbernya.
Penggunaan Teori Manfaat
Mempertimbangkan kelemahan argumentasi perbedaan tarif tersebut maka konsep penghindaran pajak dapat lebih dilekatkan dengan teori manfaat. Berdasarkan teori manfaat, hak negara untuk memungut pajak timbul karena manfaat yang diberikan kepada Wajib Pajak. Pajak dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk seluruh pelayanan negara. Manfaat tersebut dapat bersifat umum berupa pendidikan, keamanan, serta ketertiban maupun bersifat khusus misalnya terkait dengan pembentukan regulasi yang menunjang aktivitas ekonomi (Pinto, 2003). Dengan pendekatan ini maka argumentasi berupa tidak ada risiko penghindaran pajak karena lawan transaksi berada di negara dengan tarif lebih tinggi menjadi tidak relevan karena penghindaran pajak akan selalu dipandang sebagai upaya untuk mengurangi atau meniadakan basis pajak di negara sumber yang telah memberikan manfaat bagi entitas untuk mendapatkan penghasilan. Hal ini juga sejalan dengan OECD yang dalam publikasinya berjudul Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy menyatakan bahwa adaptasi atas prinsip-prinsip perpajakan internasional harus tetap menjaga kedaulatan fiskal (fiscal sovereign) dari masing-masing negara dalam rangka mencapai keadilan dalam membagi basis pajak (fair sharing of the tax base).
Ketiga, argumentasi tidak ada penghindaran pajak ketika lawan transaksi berada di negara dengan tarif pajak lebih tinggi juga bertentangan dengan asas kepentingan nasional. Pasal 1 ayat (1) huruf e UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyatakan bahwa undang-undang ini diselenggarakan berdasarkan asas kepentingan nasional. Asas ini didefinisikan sebagai pelaksanaan perpajakan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Berdasarkan asas kepentingan nasional maka ketika menterjemahkan sebuah penghindaran pajak tidaklah relevan melihat tarif pajak di negara lawan transaksi namun yang diutamakan adalah apakah penetapan harga transfer dari entitas domestik telah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam rangka menjamin kepentingan nasional Indonesia akan basis pajak yang berkeadilan.
I Wayan Agus Eka
Penulis
Caecilia Aletheia
Natasya Ayu Savira
Krisna Bayu Aji
Riza Fathoni Mulyoto