Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi salah satu inovasi teknologi yang kini digunakan secara luas dalam proses penciptaan karya kreatif, seperti musik, desain, tulisan, bahkan video. AI memungkinkan produksi konten secara otomatis dan efisien, sehingga memberikan keuntungan produktivitas dan daya saing bagi pelaku industri kreatif, baik individu maupun korporasi.
Dalam konteks pembangunan nasional, visi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menawarkan delapan program strategis dalam Asta Cita, salah satunya: “Memperkokoh budaya serta memperkuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Misi ini sejalan dengan tujuan pengembangan ekonomi kreatif berbasis inovasi teknologi, seperti AI.
AI memungkinkan akselerasi proses penciptaan karya, otomatisasi produksi digital, dan peningkatan personalisasi konten. AI tidak hanya menjadi alat bantu teknis, tetapi juga aktor kreatif baru dalam ekonomi digital. AI saat ini mampu menghasilkan musik, video, gambar, puisi, bahkan naskah film tanpa intervensi manusia secara penuh.
Meski demikian, kemajuan teknologi AI juga menghadirkan tantangan serius, terutama dalam aspek hukum dan regulasi dikarenakan belum adanya regulasi spesifik yang mengatur tentang AI dan produk kreasinya menciptakan kekosongan hukum di Indonesia. Selain itu, tidak adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, belum optimalnya regulasi digital, serta belum meratanya akses infrastruktur dan literasi digital menjadi hambatan struktural yang perlu segera dijawab dengan mengkaji arah pengembangan hukum nasional dalam mendukung pelaksanaan Asta Cita yang mendorong inovasi berbasis teknologi.
Penulis akan menguraikan permasalahan hukum yang timbul dari pemanfaatan kecerdasan buatan dalam sektor ekonomi kreatif dan menelaah sejauh mana visi Asta Cita dapat menjadi landasan pembangunan hukum nasional yang adaptif terhadap teknologi.
Hingga saat artikel ini ditulis, regulasi terkait Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, masih menganut prinsip bahwa subjek hukum dari suatu ciptaan adalah manusia atau badan hukum, belum mengatur pencipta non-manusia, seperti AI sebagai subjek hukum. Sehingga karya yang sepenuhnya diciptakan oleh AI tidak memiliki kepastian hukum terkait perlindungan hak cipta. Hal ini menimbulkan beberapa persoalan mendasar:
Siapa yang dianggap sebagai pencipta (author)?
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan: “Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan.” Banyak kasus, tidak jelas apakah pencipta karya AI adalah pengembang sistem, pengguna AI, atau tidak ada sama sekali karena AI bukanlah manusia ataupun badan hukum yang menjadi subjek hukum dalam UU tersebut.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap karya AI?
Teori subjek hukum positif (positive law) berfokus pada pandangan hukum sebagai produk dari negara atau penguasa. Dalam teori ini, subjek hukum didefinisikan sebagai orang atau entitas yang diakui sebagai subjek hukum oleh hukum positif atau undang-undang yang berlaku. Artinya, subjek hukum adalah orang atau entitas yang diakui hukum positif dan diberikan hak dan kewajiban terkait status hukum mereka, dikarenakan hukum Indonesia belum mengakui AI sebagai pencipta, karya-karya tersebut berisiko dianggap sebagai public domain atau tidak memiliki perlindungan hukum. Ini dapat menimbulkan penyalahgunaan atau pengambilalihan tanpa dasar hukum yang jelas.
Bagaimana dengan hak ekonomi dan moral atas karya AI?
Berdasarkan Pasal 5 sampai 9 Undang-undang Hak Cipta, sudah mengatur terkait Hak Moral dan Hak Ekonomi suatu ciptaan. Hak moral melindungi diri pencipta sedangkan hak ekonomi memberikan kepastian hukum terkait hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Dalam konteks komersialisasi AI, tidak ada kepastian siapa yang berhak menerima keuntungan dari karya yang dihasilkan oleh AI dikarenakan masih belum adanya regulasi di Indonesia yang mengatur AI sebagai pencipta. Hal ini menciptakan kekosongan hukum dalam transaksi komersial maupun lisensi.
Apakah ada potensi tumpang tindih dengan hak cipta manusia?
Beberapa kasus, AI menghasilkan karya berdasarkan data yang mengandung karya cipta manusia lain. Hal ini memunculkan isu pelanggaran hak cipta, plagiarisme, atau pelanggaran hak moral pencipta sebelumnya. Hak ekonomi yang melekat pada pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta meliputi penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuk, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentranformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukan ciptaan, komunikasi ciptaan, dan penyewaan ciptaan. Setiap orang yang melakukan hak ekonomi pencipta tersebut wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Penggandaan secara komersial terhadap ciptaan dilarang apabila tidak ada izin pencipta. Beberapa kasus, AI menghasilkan karya berdasarkan data pelatihan yang mengandung karya cipta manusia lain. Hal ini memunculkan isu pelanggaran hak cipta, plagiarisme, atau pelanggaran hak moral pencipta sebelumnya.
Apakah kekosongan hukum dapat menghambat inovasi?
Ketidakpastian hukum atas karya AI dapat menjadi hambatan dalam pengembangan teknologi kreatif di Indonesia, karena pelaku industri tidak memperoleh jaminan hukum terhadap hasil investasinya dalam menciptakan atau menggunakan AI.
Bagaimana dengan Perlindungan Data Pribadi atas penggunaan AI?
AI dalam sektor kreatif sering menggunakan data pengguna untuk pelatihan atau personalisasi. Saat ini, pengguna internet selalu diminta untuk mengisi data-data pribadi seperti nama, tanggal lahir, email, no hp dan hal pribadi lainnya ke penyedia internet, sehingga data pribadi kita Hal ini harus tunduk pada UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat menimbulkan sanksi administratif hingga pidana.
Ketidakhadiran regulasi khusus mengenai AI tidak hanya menciptakan kekosongan hukum (rechtsvacuum), tetapi juga membuka ruang bagi ketidakpastian dalam pelaksanaan prinsip-prinsip hukum, seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dalam konteks global, sejumlah negara telah merumuskan kerangka regulatif yang komprehensif sebagai upaya untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan hukum yang memadai. Dalam artikel ini, Penulis mencoba memberikan gambaran singkat terhadap regulasi AI di berbagai yurisdiksi, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura, dan Jepang.
Berdasarkan beberapa komparasi di atas, Pemerintah Indonesia dirasa perlu merancang sebuah Peraturan Perundang-undangan, sebagai payung hukum nasional yang mengatur mengenai hak dan tanggung jawab pengguna dan pengembang AI, mekanisme sertifikasi etika AI, perlindungan konsumen terhadap konten yang dihasilkan AI, serta melakukan revisi dan penyesuaian UU Hak Cipta agar dapat mengakomodasi karya yang dihasilkan oleh kolaborasi manusia dan AI (co-creation), sehingga tidak terjadi kekosongan hukum dalam penetapan hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh AI.
Pemanfaatan AI dalam ekonomi kreatif memberikan peluang besar bagi kemajuan industri, namun di sisi lain memunculkan tantangan hukum yang harus segera direspons oleh pembentuk kebijakan. Hukum harus hadir untuk mengarahkan pemanfaatan teknologi secara etis, adil, dan bertanggung jawab. Pembentukan regulasi AI yang progresif akan menjadi langkah penting dalam menjamin keberlanjutan dan keadilan dalam ekosistem ekonomi kreatif digital di Indonesia.
Caecilia Aletheia
Penulis
Natasya Ayu Savira
I Wayan Agus Eka
Krisna Bayu Aji
Riza Fathoni Mulyoto