Masyarakat hukum adat bukanlah hal baru dalam konteks pengaturan dalam hukum nasional. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Pada tahun 1960, negara bahkan telah menyinggung soal masyarakat hukum adat dan hukum adat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sampai saat ini persoalan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat baik dalam bentuk pengaturan khusus melalui undang-undang maupun dalam implementasi senantiasa terus mengemuka dengan berbagai perdebatan dan hambatan yang tidak kunjung usai. Pada tahun 2020 ini, DPR dan Pemerintah menyepakati RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2020. Menarik untuk kita kaji kembali sebetulnya bagaimana problematika pengaturan mengenai masyarakat hukum adat baik dalam level UUD NRI 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Sepintas seperti tidak ada persoalan dalam substansi pasal tersebut. Namun kita perlu cermati frasa “diatur dalam undang-undang”. Ada persoalan mengenai makna “diatur dengan” dan “diatur dalam”. Frasa “diatur dalam” bisa kita artikan bahwa pengaturan tentang masyarakat hukum adat tidak diatur dengan undang-undang tersendiri. Apabila frasa yang digunakan adalah “diatur dengan” maka tidak ada keraguan bahwa pengaturan mengenai masyarakat hukum adat akan diatur dalam suatu undang- undang khusus. Penggunaan frasa “dalam” berarti pengaturan tentang masyarakat hukum adat dapat tersebar dalam berbagai ketentuan undang-undang tetapi tidak dengan undang-undang khusus yang tersendiri. Menariknya adalah hal tersebut benar-benar tercermin dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mana pengaturan mengenai masyarakat hukum adat tersebar ke dalam berbagai ketentuan undang-undang yaitu diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Desa, UU Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal di sisi lain tidak kuatnya beberapa implementasi pengaturan mengenai masyarakat hukum adat di beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan justru karena tidak adanya satu payung hukum dalam undang-undang pokok tersendiri yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat sebagai suatu pedoman bersama.
Dalam UU Kehutanan diatur mengenai hutan adat yang mana pasca Putusan MK maka hutan adat terpisah dari hutan negara. Dalam UU Desa 2014 diatur pula mengenai keberadaan desa adat yang salah satu syaratnya adalah terdapat kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang secara nyata masih hidup. Diatur pula bahwa Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. UU Perkebunan 2014 diatur pula soal masyarakat hukum adat dan ada satu pasal yang cukup menarik dalam UU tersebut yakni Pasal 13 yang menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut menarik sebab sebagaimana kita ketahui bahwa pengaturan masyarakat hukum adat masih tersebar dalam berbagai ketentuan undang-undang/peraturan perundang-undangan dan lemah dalam implementasi, kemudian suatu undang-undang pokok yang khusus mengatur masyarakat hukum adat pun belum ada. Artinya, implementasi Pasal 13 tersebut tentu mengalami kendala dan tantangan yang besar khususnya bagipihak-pihak terkait yang akan melaksanakan pasal tersebut.
Dalam UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disinggung pula soal masyarakat hukum adat yang mana Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU Pokok Agraria bahkan sangat radikal yang mana mengatur bahwa hukum agraria nasional didasarkan atas hukum adat tentang tanah. Hak menguasai negara dalam konteks UUPA bahkan mengatur bahwa pelaksanaan hak menguasai negara dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat. Pasal 5 UUPA sangat radikal pula dengan menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku ialah hukum adat. Pasal 56 UUPA kemudian mengatur pula bahwa sebelum undang-undang mengenai hak milik belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya.
Dalam UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2007 yang belakangan diubah pada tahun 2014 juga mengatur mengenai
khusus sehingga perlakuannya pun harus khusus sehingga dianggap tidak perlu dipersulit/dibebani dengan perizinan. Kemudian dalam UU tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan Tahun 2013 maka masyarakat hukum adat hanya disinggung dalam penjelasan pasal. Hal tersebut terlihat tidak seperti undang-undang lain sebagaimana telah dibahas yang mana ketentuan yang menyinggung masyarakat hukum adat masuk pada batang tubuh. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam juga menyinggung mengenai penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai salah satu prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pengaturan dalam berbagai ketentuan undang-undang dan TAP MPR tersebut sebagaimana kita ketahui sangat lemah dalam level implementasi karena memang tidak adanya undang-undang pokok tersendiri yang mengatur khusus masyarakat hukum adat yang dapat mengilhami dan menjadi dasar pengaturan di berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun muncul pengaturan khusus di bawah level undang-undang seperti Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, tetap saja tidak terlalu banyak membantu apabila aturan dalam level undang-undang yang khusus/tersendiri mengalami kekosongan. Satu-satunya poin positif dari berbagai ketentuan peraturan perundang- undangan tersebut adalah bahwa telah ada kesamaan istilah yang dipakai yaitu “masyarakat hukum adat” sebagaimana juga yang dipakai dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, sebab ada beberapa istilah lain yang muncul seperti misalnya masyarakat adat, masyarakat lokal, masyarakat tradisional, dan masyarakat setempat yang bisa jadi memiliki substansi yang hampir mirip dengan “masyarakat hukum adat” apabila tidak hati-hati mencermatinya.
Negara haruslah memberikan kepastian mengenai pengakuan terhadap
Olsen Peranto (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Irfan
Oka Septa Tinambunan
Sayyida Nucha Aulia
BONDAN EKA NUGRAHA