Studi mengenai “naskah otentik” terkait bukan hanya dalam konstitusi, melainkan juga mengenai keseluruhan kesejarahan dan cita kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Mengenai “Naskah Otentik”, masih sangat banyak yang perlu digali. Mengenai tulisan ini, sementara ini, masih banyak yang harus dilakukan oleh lembaga negara, kalangan sejarawan, kalangan hukum, kalangan akademisi.
Sejenak, saya perlu merujuk pada riset saya (sebagai visiting scholar di Norwegian Centre for Human Rigths (NCHR), Oslo University di tahun 2014) mengenai konstitusi dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Model judicial review membawa keseluruhan proses peraturan perudangan dan institusionalisasi semangat dasar kebangsaan dan kenegaraan dalam sistem dan pembangunan hukum di Indonesia. Banyak pendapat berbeda mengenai Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun, dalam tahun-tahun pertamanya, Mahkamah Konstitusi banyak melakukan tinjauan dengan mendasarkan pada konstitusi beserta ragam pemikiran pendiri bangsa. Sekaligus, Mahkamah Konstitusi ini “membuka ruang” bagi para pemohon untuk berargumen berdasarkan konstitusi berikut ragam pemikiran hukum yang terkait.
Dengan ini, apa yang disebut “naskah otentik” menjadi amat penting untuk digali, dipelajari, dan dikembangkan menjadi suatu pemikiran hukum yang penting.
Mengenai Naskah Otentik
Naskah Otentik, sebagaimana yang dikenal, merujuk pada naskah-naskah utama yang dihasilkan dalam proses pembentukan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Naskah ini mempunyai akar-akar pokok baik dalam genealogi pemikiran pendiri bangsa, nilai dan simbol yang hidup dalam kelompok- kelompok pembentuk Indonesia, dan visi ke depan yang diarah. Naskah ini kemudian membawa pada pembentukan Undang- Undang Dasar 1945, yang ditetapkan sebagai konstitusi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Konstitusi ini, secara lugas, menegaskan visi dan tujuan kebangsaan dan kenegaraan ini, yaitu “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Dalam proses menggali, menegaskan, dan membangun justifikasi terhadap visi dan tujuan tersebut, proses membaca dan mempelajari naskah otentik ini menjadi bagian yang sangat mendasar. Naskah otentik ini sediri harus ditelusuri. Dalam proses sejarah, naskah ini diasalkan pada beberapa pengampu (termasuk A.K. dan
A.G. Pringgodigdo). Proses pengampuan ini juga mengalami proses sejarah, yang hal ini membuat naskah ini beralih dari satu pengampu ke pengampu yang lain. Menentukan “keasalian” (dipilih kata “keasalian” dan bukan “keaslian”) merujuk pada pidato, naskah stenografi (short hand), verifikasi oleh para pendiri bangsa terhadap naskah di kemudian hari. Menjadi bagian dari hal tersebut adalah mempelajari semiotika, “simbolisme”, konstatasi pemikiran dunia, pilihan susunan pemikiran. Pada akhirnya, teks itu merupakan konteks yang mewakili pemikiran kebangsaan dan kenegaraan para pendiri bangsa.
Konteks Konstitusi Luas (thick constitutionalism).
Yang disebut sebagai konteks konstitusi luas adalah proses kebangsaan dan kenegaraan yang menimbang konstitusi tertulis maupun berbagai rujukan terhadap pemikiran yang mewarnai konstitusi tersebut, proses representasi dalam keputusan publik (yang kemudian membentuk pranata “ruang publik”), dan peradaban yang dibentuk dari proses konstitusi tersebut. (Lawannya adalah konstitusionalisme sempit/thin constitutionalism yang positivistik dan dengan ruang apresiasi atau “ketepatan muatan” yang lebih sempit). Proses menelusur dan menyarah naskah otentik adalah membaca naskah itu dalam konteks konsitusi luas. Naskah ontensik baik dalam teks yang dihasilkan maupun konteks yang dijangkau adalah sebuah lapangan yang amat luas yang perlu digali. Membaca yang tertulis membutuhkan ketepatan metodologi dalam melihat konteks yang lebih luas.
Genealogi pemikiran pendiri bangsa
Para pendiri bangsa yang hadir dalam sidang BPUK bukan hanya dalam kapasitasnya sebagai dirinya sendiri, melainkan juga mewakili generasi pemikiran dan komunitas epistemik mereka. Proses menentukan dan membaca naskah otentik perlu membawa pada pencermatan atas genealogi pemikiran pendiri bangsa. Hal ini akan lebih kuat jika dilihat jeda tahun dari tahun 1928 (Kongres Pemuda II, dimana rumusan kebangsaan Indonesia pertama kali dicetuskan) sampai pada tahun 1945. Dalam jeda tahun itu, sudah banyak organisasi, partai politik, lembaga pendidikan, dan kekuatan-kekuatan sosial- ekonomi yang turut membentuk pemikiran kebangsaan dan kenegaraan.
Dari kedua hal diatas, historiografi yang perlu ditimbang untuk membaca, memvalidasi, dan menyarah naskah otentik perlu mencakup: rumusan kemerdekaan dalam naskah otentik, pendekatan sosiologis terhadap kesejarahan naskah otentik, pembentukan kepranataan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, serta posisi sejarawan.
Rumusan kemerdekaan dalam naskah otentik
Naskah otentik mempunyai hubungan sebab akibat dengan kemerdekaan Indonesia. Rumusan kemerdekaan ini muncul baik dalam pidato, teks, notulasi stenografi. Dalam rumusan ini, dimuat pondasi kemerdekaan sebagai anti- perbudakan, anti-imperlisme (terutama dalam pemikiran Sukarno dan Hatta) yang telah berkembang sejak tahun 1930’an. Rumusan ini menempati posisi penting dimana leksikon yang ada dalam naskah otentik dan kemudian UUD 1945 mewakili kebaruan yang “tidak mau diikat oleh konteks “roman-dutch law” yang mengkerangkakan segala tindak kepranataan di wilayah kolonial.
Perlu dicermati misalnya catatan yang dimuat dalam “The Voice of the Law in Transition Indonesian Jurists and Their Languages, 1915-2000” oleh AB Messier (KITLV Press, 2008), maupun bahasannya. “Hukum” sebagaimana dimengerti saat itu masih mengalami evolusi sampai sekarang. Pencetusan UUD 1945 memberikan pendasaran penting bagi kebangsaan dan kenenegaraan dengan melihat kerangka “roman-dutch law” yang lebih dominan waktu itu, dan yang masih menjadi pengasalan terma-terma pokok hukum Indonesia.
Perlu juga dicermati bahwa rumusan ini juga banyak muncul dari dan dalalm komunikasi politik dimana jurnalisme memainkan peranan besar. Sebagian besar pendiri bangsa memanfaatkan jurnalisme sebagai proyeksi pemikiran kebangsaan dan kenegaraan, dan, kemudian, membakukan dalam proses pembentukan konstitusi. Naskah otentik ini menjadi lapangan komunikasi politik dan jurnalisme yang amat luas. Dalam hal ini, satu pemikiran tidak bisa diisolasi dari pemikiran yang lain.
Pendekatan sosiologis terhadap kesejarahan naskah otentik
Banyak yang telah ditulis dengan memakai pendekatan sosiologis terhadap sejarah (misalnya Sartono Kartodirdjo, Barrington Moore jr, etc). Naskah otentik ini perlu dilihat sebagai lapangan sejarah yang dicermati pergerakan sosial-nya. Dalam pendekatan ini pergerakan sosial perlu dicermati. Misalnya, kita bisa melihat perubahan panitia satu ke panitia lain. Perubahan perbaikan atas representasi yang perlu dalam membentuk pondasi kebangsaan dan kenegaraan. Demikian juga, dissent dan input menjadi bagian penting dalam memperbaiki representasi tersebut. Dalam hal ini, “digunakannya” pendekatan sosiologis dalam sejarah menjadi bagian yang penting.
Pembentukan kepranataan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
Kepranataan Indonesia mengambil yang terbaik dari dunia, sekaligus mengampu dan mentransformasi pranata pra-kemerdekaan. Dalam pranata ini, kita mendapati interaksi antar kelompok, simbol yang diproyeksikan, konsensus-konsensus pokok, kepemimpinan, dan tanggapan terhadap krisis-krisis. Naskah otentik mencerminkan bukan hanya optimisme, melainkan juga serangkaian krisis yang hendak dijawab oleh para pendiri bangsa – saa itu, dan di masa mendatang. Naskah otentik ini perlu dicermati atas apa yang hendak diproyeksikan dalam pembentukan pranata kebangsaan dan kenegaraan.
Posisi sejarawan
Posisi sejarawan turut didiskusikan untuk dapat lebih baik membaca (dan “memvalidasi”) naskah otentik. Mengenai hal ini, saya kutip saja pemikiran Soedjatmoko (dalam “Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Pilihan Karangan”, 1983) yang menyatakan: “…Bagi seorang sejarawan sangat pentinglah untuk menyadari bahwa wujud dan isi cita-cita sertai nilai-nilai bangsanya tidak bisa dimengerti tanpa referensi kepada sejarah dan pengalaman bangsa itu. Maka usaha untuk mengungkapkan secara bagaimana sejarah serta pandangan mengenai hari depan kait-mengait dalam usaha manusia mengartikan kenyataan hari ini, merupakan inti sari tanggung jawab para ahli sejarah.….. Kesadaran sejarah juga kita perlukan sebagai suatu cara untuk melihat realitas sosial yang kita hadapi dengan segala problemanya bukan saja sebagai masalah- masalah moral yang memerlukan jawaban ya atau tidak, putih atau hitam, melainkan supaya kita juga mampu melihat masalah- masalah sosial termasuk segi moralnya, sebagai masalah-masalah historis yang memerlukan cara-cara penghadapan yang historis pula.”